Kenapa Pencernaan Sehat Bisa Bikin Anak Lebih Cerdas, Percaya Diri, dan Mudah Bersosialisasi
Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh kuat, ceria, dan punya keberanian untuk bereksplorasi. Kita sering memantau berat badan, tinggi badan, atau kemampuan berbicara mereka dari bulan ke bulan. Tapi ada satu hal penting yang jarang terlihat mata, padahal diam-diam menggerakkan semuanya, yaitu kesehatan pencernaan anak.
Dalam acara press launch Bebelac NutriGreat+ pada 11 November 2025, para ahli dan orang tua yang hadir berulang kali menyinggung hal ini. Lewat diskusi hangat bersama dokter anak, pakar medis, serta keluarga Jessica Iskandar dan Vincent Verhaag, satu pesan muncul berulang: kemampuan anak untuk tumbuh, belajar, dan bersosialisasi sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi di dalam tubuh mereka sendiri, tepatnya, di saluran cernanya.
Kenapa Pencernaan Sehat Menentukan Kecerdasan Sosial dan Tumbuh Kembang Anak?

Dokter Spesialis Anak, dr. Melia Yunita, MSc, SpA, membuka penjelasannya dengan sesuatu yang sebenarnya sederhana, tetapi sering terlewat: pertumbuhan dan perkembangan itu dua hal yang berbeda. “Pertumbuhan itu aspek kuantitatif, berat badan, tinggi badan, lingkar kepala. Sedangkan perkembangan adalah aspek kualitatif seperti motorik, bahasa, dan kemampuan intelektual,” jelasnya.
Meski berbeda, keduanya bertemu di satu titik yang sama, yakni saluran cerna. “Kalau mau tumbuh kembang anak optimal, pastikan dulu saluran cerna anak sehat. Satu-satunya pintu masuk nutrisi ya dari situ,” tegasnya.
Dan ketika bicara tumbuh kembang anak Indonesia, isu stunting memang tidak bisa dipisahkan. Menurut dr. Melia, stunting bukan hanya soal fisik yang lebih pendek dari seharusnya. “Prestasi akademik bisa terpengaruh, bahkan kemampuan sosial dan risiko bullying juga berkaitan,” ujarnya.
Ia kemudian mengutip salah satu jurnal dari Chibuye tahun 2024 yang membandingkan kondisi pencernaan anak-anak yang stunting dan yang tidak. Dari penelitian itu, ditemukan bahwa komposisi dan keberagaman mikrobiota usus sangat berhubungan dengan stunting. Pada anak yang tumbuh baik, bakteri baik di ususnya lebih beragam dan seimbang. Sebaliknya, pada anak stunting, bakteri jahat justru lebih mendominasi.
“Bakteri baik di saluran cerna itu punya peran masing-masing di tubuh anak. Kalau mikrobiotanya bagus, saluran cernanya sehat, tumbuh kembangnya juga bisa lebih optimal,” kata dr. Melia. Karena itu, menurut dr. Melia, perhatian orang tua tidak bisa hanya berhenti pada berat badan atau tinggi badan; kita perlu memastikan bakteri baik di usus punya “makanan” yang cukup, yaitu prebiotik.
Peran Prebiotik, Serat, dan Gizi Seimbang untuk Pencernaan Sehat

“Prebiotik itu makanan buat bakteri baik. Kita harus kasih bakteri baik makan supaya jumlahnya nggak kalah sama bakteri jahat,” jelas dr. Melia. Semakin beragam sumber serat dan prebiotik yang dikonsumsi anak, semakin beragam pula bakteri baik yang tumbuh di ususnya.
Ia menyebut berbagai sumber prebiotik yang bisa diberikan setiap hari:
- ASI yang secara alami mengandung prebiotik
- Buah-buahan seperti apel, pisang, dan buah beri
- Sayuran dan bawang-bawangan
- Makanan dan minuman terfortifikasi seperti susu pertumbuhan anak yang mengandung FOS, GOS, dan inulin. Kombinasi serat seperti ini membantu memberi “bahan bakar” bagi bakteri baik agar bisa bekerja menjaga pencernaan.
Dr. Melia mengingatkan bahwa yang perlu diperhatikan bukan hanya prebiotik saja, tetapi juga kualitas keseluruhan nutrisi anak. Anak juga tetap membutuhkan makronutrien (karbohidrat, protein, lemak) dan mikronutrien (vitamin dan mineral), serta dukungan lemak sehat seperti DHA, dengan asupan gula yang terkontrol. “DHA itu bagian penting dari komponen sel otak, yang mendukung kecerdasan, daya ingat, dan konsentrasi,” jelasnya.
Sementara itu, konsumsi gula, terutama sukrosa, sebaiknya dijaga. “Gula kalau kebanyakan bisa menyebabkan karies, dan dalam jangka panjang juga bisa berpengaruh pada fungsi kognitif.”
Intinya, ketika anak menerima serat, prebiotik, DHA, serta nutrisi lengkap lainnya dalam jumlah yang tepat, bakteri baik tumbuh, pencernaan sehat, dan tumbuh kembang anak berjalan lebih optimal.
Mengapa DHA Penting, dan Bagaimana Mengetahui Anak Kekurangan DHA?

Menurut dr. Melia, kebutuhan DHA anak sangat tinggi pada tahun-tahun awal kehidupannya. “Dua tahun pertama itu periode emas. Bahkan 95% volume otak terbentuk di lima tahun pertama,” jelasnya. Karena itu, bayi, terutama bayi prematur, selalu mendapat dukungan DHA sejak dirawat di NICU.
Namun berbeda dengan zat besi atau vitamin D, kadar DHA dalam tubuh belum bisa diperiksa secara langsung di Indonesia. “Kita belum punya pemeriksaan spesifik untuk mengukur kadar DHA di darah. Jadi cara menilainya harus lewat hal lain,” ujarnya.
Cara dokter menilai kecukupan DHA dilakukan melalui beberapa indikator:
- Pertumbuhan lingkar kepala, karena ini menggambarkan pertumbuhan volume otak. Bila lingkar kepala melambat atau tidak sesuai kurva, bisa jadi kebutuhan DHA tidak terpenuhi.
- Milestone perkembangan, seperti kemampuan bahasa, motorik, atau interaksi sosial, yang semuanya terkait dengan fungsi otak.
- Fungsi kognitif anak, terutama di usia preschool, yang bisa dievaluasi lewat tes IQ atau kesiapan masuk sekolah.
“Kalau saya lihat lingkar kepala anak kok kurang berkembang, atau milestone-nya agak terlambat, biasanya saya pertimbangkan penambahan DHA,” tambahnya.
Sumber DHA sendiri tidak hanya dari satu tempat. ASI mengandung DHA, begitu juga makanan MPASI seperti ikan. Pada anak yang masih mengonsumsi susu, dr. Melia menekankan pentingnya memilih susu pertumbuhan yang mengandung DHA cukup untuk melengkapi kebutuhan hariannya.
Menariknya, ia juga menyampaikan bahwa sampai saat ini belum ada bukti ilmiah soal efek buruk dari kelebihan DHA. “Sejauh ini saya belum pernah membaca bahwa kelebihan DHA memberi dampak negatif. Semakin banyak DHA, semakin bagus untuk pembentukan sel otak,” kata dr. Melia.
Tetapi agar DHA bekerja maksimal, pencernaan harus dalam kondisi baik,karena nutrisi yang tidak tercerna dan terserap dengan optimal tidak bisa memberikan manfaat sepenuhnya kepada otak anak.
Gut–Brain Connection: Ketika Perut dan Otak Saling Mengirim Pesan

Kondisi saluran cerna anak juga bisa merembet ke banyak aspek lain, mulai dari mood, keberanian, kemampuan bersosialisasi, hingga kecerdasan. Hal ini dijelaskan dengan sangat komprehensif oleh Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, yang menyebut bahwa hubungan pencernaan dan otak sebenarnya sudah seperti dua sahabat dekat yang saling bertukar pesan setiap hari.
“Sistem pencernaan dan otak itu saling ngobrol. Pesan-pesannya dihubungkan oleh bakteri-bakteri baik,” jelasnya. Karena itulah, anak yang sedang mengalami masalah pencernaan, kolik, konstipasi, diare, biasanya tidak mau bermain, tidak mau berinteraksi, dan cenderung menarik diri. Padahal, justru di masa golden period, bermain dan bersosialisasi adalah stimulasi terbaik untuk membangun kemampuan kognitif dan sosial-emosional.
Dr. Ray juga memaparkan data menarik, sekitar 67% anak yang datang ke dokter anak di Indonesia datang karena keluhan pencernaan. Artinya, masalah ini bukan hal kecil atau sesekali saja terjadi, tetapi sesuatu yang sangat sering mengganggu tumbuh kembang harian anak.
Ia menjelaskan lebih jauh bahwa pencernaan anak rentan mengalami Functional Gastrointestinal Disorders (FGID), yang mencakup tujuh jenis gangguan fungsional seperti kolik, konstipasi, diare, hingga masalah lain yang membuat anak tidak nyaman. “Kalau anak kolik atau konstipasi tiga sampai empat kali dalam setahun saja, itu sudah cukup membuat mereka kehilangan banyak momen stimulasi penting,” ujarnya.
Setiap momen yang hilang itu berpengaruh langsung pada perkembangan otak. Anak yang tidak sempat bermain, tidak berani eksplorasi, atau terlalu rewel karena tidak nyaman, tidak mendapatkan kesempatan belajar yang seharusnya.
Dan di sinilah bakteri baik memegang peran vital. Bakteri baik membantu memproduksi mediator kimiawi yang menjadi “bahasa komunikasi” menuju otak. “Proses belajar pun butuh mekanisme ini. Kalau bakteri baiknya aktif dan seimbang, sinyal ke otak berjalan optimal,” jelasnya.
Masalahnya, setengah anak Indonesia konsumsi buah dan sayurnya masih rendah, sehingga bakteri baik tidak mendapat makanan yang memadai.
Karena itu, Dr. Ray menilai prebiotik seperti FOS, GOS, dan inulin adalah pendekatan yang efektif untuk membantu bakteri baik berkembang. Ia juga menjelaskan mengapa susu pertumbuhan dari protein hewani menjadi medium yang baik untuk prebiotik, “Susu pertumbuhan itu dari protein hewani, dan protein hewani adalah vehicle yang bagus untuk membawa nutrisi seperti prebiotik. Kalorinya dapat, mikronutriennya dapat, dan bakteri baik pun mendapatkan sumber makanannya.”
Pembahasannya kemudian merentang lebih jauh, menghubungkan kondisi pencernaan anak Indonesia dengan masa depan bangsa. “Kalau kita bicara Indonesia Emas 2045, kita bicara anak-anak yang sekarang masih toddler. Mereka yang akan menjadi pemimpin masa depan,” ujarnya.
Untuk bisa menjadi generasi berkualitas, Human Capital Index Indonesia harus diperkuat, dan salah satu fondasinya adalah kemampuan kognitif anak. Kemampuan kognitif tidak cukup dibentuk oleh stimulasi, sekolah, atau lingkungan saja; tetapi juga oleh kesehatan saluran cerna, yang memungkinkan komunikasi pencernaan–otak berjalan dengan baik.
Karena itulah berbagai inovasi nutrisi yang menekankan prebiotik, DHA, dan nutrisi lengkap dianggap sangat relevan bagi anak Indonesia saat ini. “Ini adalah pendekatan ilmiah yang memang dibutuhkan, supaya anak-anak kita bisa tumbuh optimal, jarang sakit, dan siap menyerap stimulasi yang mereka terima setiap hari.”
Ketika Kesehatan dari Dalam Membentuk Rasa Percaya Diri Anak

Setelah para ahli menjelaskan sisi ilmiah pencernaan dan perkembangan anak, sesi berlanjut ke pengalaman sehari-hari sebagai orang tua. Di bagian ini, Jessica Iskandar berbagi cerita tentang mendampingi tiga anaknya, El Barack, Don, dan Hagia, dengan Don yang saat ini berada di masa golden period dan menjadi sorotan utama dalam diskusi.
Bagi Jessica, fase 0–5 tahun adalah masa yang menentukan banyak hal dalam hidup seorang anak. “Golden period itu fase yang tumbuh kembangnya paling cepat. Delapan puluh persen perkembangan otak terjadi di usia ini,” ujarnya. Karena itu, Jessica selalu menaruh perhatian besar pada apa yang masuk ke tubuh anak dan bagaimana ia menstimulasi ketiga anaknya setiap hari.
Menurutnya, kepercayaan diri Don dalam mencoba hal baru, keberanian bersosialisasi, serta minatnya pada aktivitas kreatif bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. “Itu terbentuk dari diri yang sehat. Kalau tubuhnya nyaman, pencernaannya baik, dan nutrisinya cukup, dia lebih siap untuk belajar hal baru,” kata Jessica.
Ia menyebut bahwa peran orang tua adalah memastikan kebutuhan dasar anak terpenuhi, mulai dari nutrisi, stimulasi, hingga kasih sayang. “Saat kondisi dalam dirinya nyaman, dia bisa belajar, main, dan bersosialisasi tanpa hambatan.”
Jessica juga berbagi kebiasaan kecil yang ia lakukan sejak MPASI: memperkenalkan makanan keluarga sejak awal. Saat rumah makan sayur asem, anaknya juga makan sayur asem. Saat keluarga makan ayam goreng, anaknya pun ikut. Menurut Jessica, membiasakan anak makan makanan rumahan sejak dini adalah cara paling efektif untuk membuat mereka terbiasa dengan rasa, tekstur, dan variasi makanan tanpa drama. “Kalau dikenalkan dari awal, ke depannya jauh lebih mudah,” katanya.
Dan ketika mood anak sedang naik turun—seperti Don yang sore itu terlihat mengantuk—Jessica selalu membiasakan satu hal, yaitu menghargai emosi anak. “Kita biasakan memberikan anak waktu. Emosi apa pun kita terima dan dampingi. Kalau dia marah atau capek, itu nggak apa-apa. Yang penting setelah itu kita bantu dia menemukan ritmenya lagi,” jelasnya.
Peran Ayah dalam Membangun Kemandirian dan Keberanian Anak

Jika Jessica menyoroti aspek nutrisi dan kelekatan emosional, Vincent Verhaag banyak berbicara tentang bagaimana ia menstimulasi keberanian dan inisiatif Don melalui interaksi sehari-hari.
Vincent percaya setiap anak punya karakter unik yang harus dipahami dulu sebelum memberi stimulasi apa pun. Ia memberi contoh Don, yang ia sebut sebagai anak yang “hyper” dan kurang sabar. Karena itu, Vincent sengaja memilih aktivitas yang bisa melatih kesabaran dan konsentrasi Don, salah satunya puzzle. “Kalau dia nggak bisa, dia langsung acak-acak. Dari situ aku masuk pelan-pelan. Aku kasih contoh, aku temenin, aku bilang ini butuh waktu dan otak,” ceritanya sambil tertawa.
Tak hanya puzzle, Vincent juga menjadikan berenang sebagai sarana melatih rasa percaya diri Don. Ia ingat betul bagaimana beberapa orang tua sering melarang anak masuk ke bagian kolam yang dalam karena takut. “Anaknya makin takut, makin nggak percaya diri,” ujarnya.
Yang dilakukan Vincent justru sebaliknya. Ia ikut masuk ke kolam, berdiri di air yang aman, lalu memberikan contoh. “Ayo Don, lihat Papa. Papa lompat, kamu bisa,” katanya sambil memperagakan.
Menurutnya, anak belajar dari role model. Ketika orang tua menunjukkan keberanian dan ketenangan, anak lebih mudah mengikuti. “Kadang otak kita ragu, tapi gut kita bilang ayo. Nah itu yang mau aku kenalkan ke Don,” ungkapnya.
Semua stimulasi ini, menurut Vincent, hanya bisa berhasil kalau anak dalam kondisi sehat dan nutrisinya terpenuhi. “Kalau nutrisinya kurang, mau kita ngomong seribu kali juga nggak masuk. Aku percaya sama Jessica untuk urusan makan, apa yang dimakan pagi, siang, snack, sampai malam. Kalau dia tidur nyenyak dan bangun ceria, itu artinya nutrisinya bekerja,” ujarnya.
Vincent juga menekankan bahwa ia dan Jessica selalu memberi ruang bagi anak-anak untuk mengekspresikan perasaannya, baik bahagia, marah, maupun lelah. “Kalau dia bilang ngantuk, ya sudah. Kita hargai. Dia sudah cukup cerdas untuk menyampaikan apa yang dia rasa,” kata Vincent.
Baginya, menerima emosi anak justru cara terbaik agar anak tumbuh punya awareness dan kemampuan sosial yang baik.
Tentang Bullying dan Menguatkan Kecerdasan Sosial Anak

Pembahasan pun meluas ke isu sosial yang banyak terjadi akhir-akhir ini, yaitu bullying. Vincent menjelaskan bahwa di rumah, ia dan Jessica membiasakan anak-anak untuk mengenali mana perilaku yang baik dan mana yang menyakiti orang lain.
Ia bahkan punya metode unik, sesekali “membully ringan” anaknya dalam konteks aman, supaya mereka tahu rasanya menjadi korban.
“Misalnya El takut ketinggian, aku ejek-ejek sedikit. Pas dia marah, aku bilang: 'Itu lho namanya Papa ngebully El,'” ungkapnya. Menurut Vincent, anak harus memahami perasaan itu agar tidak mengulanginya kepada orang lain.
Namun, jika anak menjadi korban bullying, pendekatan Vincent berubah:
- Jika non-fisik → ajarkan bicara ke guru
- Jika fisik dan berbahaya → ajarkan anak melindungi diri dan menjauh
“Yang penting anak tahu kapan harus bicara, kapan harus lari, kapan harus minta bantuan,” tegasnya.
Jessica mengamini bahwa fondasi kecerdasan sosial bukan hanya datang dari stimulasi, tetapi juga dari kondisi tubuh yang sehat dan nyaman. “Kalau anak sehat dari dalam, dia lebih siap bersosialisasi, lebih percaya diri, dan lebih berani mencoba hal baru,” ujarnya.
Bekal dari Dalam: Fondasi Anak Tumbuh Bersinar
Dari seluruh rangkaian diskusi, mulai dari penjelasan ilmiah para dokter hingga pengalaman Jessica dan Vincent dalam mendampingi Don, ada satu benang merah yang terasa sangat kuat: anak hanya bisa menunjukkan potensi terbaiknya ketika tubuhnya merasa nyaman dari dalam.
Pencernaan yang sehat bisa membuat anak:
- lebih mudah fokus,
- lebih berani bersosialisasi,
- lebih siap mencoba hal baru,
- lebih stabil emosinya,
- dan lebih optimal menyerap stimulasi yang orang tua berikan.
Bukan hanya soal makan banyak atau tidak, bukan hanya angka di timbangan atau grafik pertumbuhan, tetapi kondisi dalam tubuh yang memungkinkan otak dan emosi bekerja harmonis. Ketika kita bicara tentang golden period, usia yang menentukan arah hidup anak, kesehatan saluran cerna, prebiotik, serat pangan, DHA, gizi seimbang, dan pola asuh yang responsif bekerja seperti satu tim yang saling melengkapi.
Jessica dan Vincent sudah merasakan sendiri bagaimana Don menjadi anak yang percaya diri, responsif, dan penuh inisiatif ketika kebutuhan dasar tubuhnya terpenuhi. Sementara dari sudut pandang medis, dr. Melia dan dr. Ray mengingatkan bahwa tumbuh kembang optimal tidak mungkin terjadi tanpa fondasi nutrisi dan pencernaan yang sehat.
Golden period bukan hanya tentang berapa banyak milestone yang anak capai, tetapi juga bagaimana ia merasa aman, tenang, dan nyaman dalam tubuhnya sendiri.
Upaya Bebelac Lewat Kampanye “Bekal Tumbuh Bersinar dari Dalam”

Melihat kebutuhan orang tua untuk memahami tumbuh kembang secara menyeluruh, bukan hanya fisik dan akademik, tetapi juga sosial-emosional, Bebelac menghadirkan kampanye “Bekal Tumbuh Bersinar dari Dalam”.
Head of Brand Bebelac, Anissa Ardiellaputri, menjelaskan bahwa kecerdasan sosial dan kemampuan anak mengekspresikan diri tidak bisa dilepaskan dari kondisi dalam tubuhnya. “Anak harus bisa responsif, bisa mengerti sekitar, bisa mengambil inisiatif. Kita percaya kecerdasan sosial itu dimulai dari dalam, dari saluran cerna yang sehat,” ujarnya.
Karena itu, Bebelac menghadirkan inovasi nutrisi NutriGreat+ 3-2-0, yaitu:
- 3 Serat Penting (FOS, GOS, Inulin) untuk mendukung keberagaman bakteri baik,
- 2x DHA + ALA & LA untuk perkembangan otak dan kemampuan berpikir kreatif,
- 0g Sukrosa sebagai pilihan yang lebih sehat untuk konsumsi harian anak.
Formulasi ini dikembangkan untuk membantu anak tumbuh sehat secara fisik, memiliki daya pikir kuat, serta berkembang menjadi anak yang percaya diri dan cerdas sosial. “Kami ingin memberikan fondasi yang utuh bagi orang tua—bukan hanya nutrisi, tetapi juga edukasi dan dukungan,” tambah Anissa.
Karena pada akhirnya, bekal terbaik yang bisa kita berikan pada anak bukan hanya stimulasi dari luar, tetapi juga kesehatan dari dalam yang membuat mereka berani bersinar dan mengekspresikan potensi terbaiknya.