Keluarga

7 Cara Ampuh Menanggapi Body Shaming di Lingkungan Sekitar

7 Cara Ampuh Menanggapi Body Shaming di Lingkungan Sekitar

“Hai, lama nggak ketemu kok kamu gemukan? Nggak mau coba diet ala ala artis masa kini, biar badannya jadi bagus lagi?”.

Disadari atau tidak kita mungkin sering mengkritik atau mengomentari fisik seseorang seperti ini. Baik diungkapkan langsung maupun hanya bergumam dalam hati. Nyatanya, hal tersebut termasuk dalam perilaku body shaming yang memiliki dampak negatif.

Body shaming sendiri adalah perilaku mengkritik atau mengomentari fisik atau tubuh diri sendiri maupun orang lain dengan cara yang negatif. Entah itu mengejek tubuh gendut, kurus, pendek, tinggi, kulitnya terlalu hitam dan lainnya. Orang yang melakukan perilaku seperti ini biasanya justru merasa bahwa hal tersebut dilakukan atas dasar bercanda dan tidak sengaja.

Padahal, efek yang ditimbulkan justru sangat fatal. Menurut studi yang dimuat dalam Journal of Behavioral Medicine tahun 2015, ada banyak perubahan sikap yang akan terjadi akibat body shaming misalnya mudah tersinggung, minder, kerap menarik diri dari dunia luar, pendiam, malas makan, hingga depresi.

Perilaku body shaming ini ternyata belakangan kian disorot sejak Kepolisian RI menyatakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3. Undang-undang ini berisi penghinaan dan pencemaran nama baik, termasuk soal fisik seseorang yang dianggap ‘menghina’. Tak main-main, lho pelaku body shaming ini jika terbukti bersalah akan terancam masuk penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp750 juta. Waduh!

Untuk itu, agar efek dari body shaming tidak mengganggu psikis kita, maka sangat penting untuk mengelola tanggapan tersebut dengan baik. Intinya, kita harus lebih tebal kuping, nih jikalau bertemu teman yang ‘hobi’ melakukan body shaming meskipun maksudnya hanya bercanda.

Lalu apa saja sih cara ampuh lainnya untuk menanggapi body shaming disekitar lingkungan kita?


7 cara menghadapi body shaming 

  1. Pahami terlebih dahulu apa itu body shaming 

    Ibarat kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Orang tua harus paham betul mengenai makna sesungguhnya dari body shaming. Sebab, terkadang orang tua menganggap komentar seputar fisik adalah hal yang biasa sehingga tidak perlu di besar-besarkan. Padahal masalah ini harus ditanggapi dengan serius, lho Bu.

    Kebanyakan perilaku body shaming ini dialami oleh anak yang mulai beranjak remaja. Bahkan pelakunya bisa jadi adalah orang tua sendiri. Ketika anak merasa diserang karena kondisi fisiknya, sebaiknya ajak anak berdiskusi secara logis.

    Memasuki fase pra-remaja, mulai dari usia 13-17 tahun biasanya anak sedang mengalami konsep imaginary audience yaitu perasaan seperti selalu diperhatikan orang lain. Kondisi ini jelas mempengaruhi rasa percaya diri remaja.

    Dampaknya, anak bisa jadi malas sekolah, terhambat pergaulannya atau timbul stres. Akibatnya, eksplorasi anak berkurang dan menghambat kemajuan mereka.

    Untuk itu, sangat penting untuk menanamkan pikiran positif pada anak sejak dini. Terlebih lagi untuk membentuk pola pikir positif pada anak memang sangat sulit. Sehingga diperlukan ekstra kesabaran serta pentingnya berkomunikasi secara intim dengan anak setiap hari. Tidak hanya ketika anak mengalami masalah.

  2. Apa saja dampaknya

    Body shaming yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya ternyata memiliki dampak yang lebih parah dibandingkan ketika orang lain yang melakukannya. Hal ini dikarenakan, di mata anak orang tua merupakan figur yang paling dekat dan paling mengerti keinginan mereka.

    Nah, ketika orang tua dan anak mulai sering curhat sang anak menganggap bahwa orang tua merupakan zona nyaman yang terpercaya bagi mereka. Sehingga mereka dapat melepaskan semua beban pikirannya.

    Pada kondisi ini orang tua pun merasa sangat dekat dengan anaknya. Sayangnya, pola pikir orang tua bisa berbeda. Mereka menganggap kedekatan dengan anak justru dapat membawa mereka berbicara pada level yang paling menyakitkan sekalipun.

    Padahal, anak menganggap seharusnya orang tua mereka paham akan kondisi yang sedang mereka alami. Bukan malah asal berbicara frontal tanpa memikirkan perasaan mereka.

  3. Beri pujian di luar fisik

    Komunikasi yang baik memang dapat membuat anak terhindar dari body shaming, baik yang dilakukan oleh orang tuanya maupun dari orang lain. Melalui komunikasi orang tua bisa melakukan berbagai hal, misalnya saja memberikan pengertian untuk memilah pendapat orang agar tidak mudah tersinggung ketika mereka berkomentar soal fisik.

    Hal lain yang bisa diterapkan dengan metode komunikasi yang baik adalah dengan menanamkan kualitas diri manusia yang tidak hanya sebatas fisik. Mulailah untuk memberikan pujian di luar fisik. Contohnya, anak gemar manggambar dan mewarnai maka berikan pujian seperti, “Wah, gambar kamu bagus ya kak. Besok latihan lebih giat lagi, ya”.

    Orang tua juga dianjurkan menanamkan nilai keberagaman pada anak, bahwa setiap orang punya ciri fisik yang berbeda-beda. Ini berguna untuk mengajarkan anak untuk berhati-hati dalam mengomentari fisik seseorang. Terakhir, orang tua perlu menjelaskan pada anak untuk menyaring berbagai komentar yang muncul di media sosial.

  4. Body shaming dalam lingkungan keluarga 

    Ketika berkumpul bersama keluarga besar, seringkali mereka berkomentar tentang hal apapun mulai dari A-Z dari ujung kaki hingga ujung kepala. Excatly body shaming is the part of it! Mulai dari berkomentar seperti, “Hei, sepertinya kamu gendutan?”, “Eh, kok pipinya tirus gitu sih?”, “Model bajunya bikin kamu terlihat gemuk, deh” dan lain sebagainya.

    Well, kalau dipikir-pikir sepertinya omongan orang nggak bakal ada habisnya jika sudah berkomentar soal fisik. Ada saja hal yang bisa dibahas dan dijadikan bahan permasalahan.

    Sebagai orang tua, jika hal ini terjadi pada kita mungkin bisa saja kita hadapi dengan lapang dada. Namun, bagaimana dengan anak-anak? Hmm…mereka belum tentu bisa menerima, lho Bu.

    Untuk itu, apabila body shaming di dalam lingkup keluarga besar sudah terjadi seperti ini orang tua wajib untuk merangkul anak. Beritahu mereka agar tidak mudah tersinggung. Sesekali anak juga bisa membalas komentar pelaku body shaming dengan cara halus. Misalnya saja seperti, “Iya nih aku gendutan, tapi nggak tahu kenapa justru sekarang aku merasa lebih cantik saat gendut”.

  5. Sabar adalah koentji

    Berada di tengah-tengah keluarga yang memang memiliki sifat kritis dan sedikit pedas dalam mengomentari fisik seseorang, memang sangat sulit. Terutama sulit dalam mengontrol emosi. Seolah seperti sedang menguji kesabaran.

    Namun, masih ada cara yang bisa orang tua lakukan ketika anak menjadi korban body shaming dalam keluarga. Ajak anak untuk bersabar dan mengontrol emosi. Afirmasikan padanya bahwa ia harus percaya pada dirinya sendiri. Sebab menanggapi komentar negatif orang-orang sungguh tidak akan ada habisnya.

    Sehingga penting baginya untuk selalu percaya pada kata hati dan diri sendiri. Jika memang terpaksa berada dalam lingkungan keluarga yang ‘aktif’ melakukan body shaming, ajari anak untuk bersabar atau sesekali menghindar dari orang tersebut guna melindungi diri.

  6. Terima kekurangan fisik

    Tubuh kurus, gemuk, kulit hitam, rambut keriting dan lain sebagainya merupakan pemberian Tuhan yang sangat berharga. Ajarkan anak untuk bersyukur memiliki semua itu. Sebab, dengan bersyukur secara otomatis juga akan memudahkan kita untuk menerima kekurangan fisik masing-masing.

    Sehingga ketika bertemu dengan orang yang melakukan body shaming, otomatis kita bisa dengan mudah mengontrol emosi dan bersabar. Mungkin hal ini sedikit sulit dilakukan oleh anak-anak yang sedang beranjak remaja. Sebab, mereka belum tentu bisa menerima kekurangan fisiknya.

    Namun, di sinilah peran orang tua di mana mereka harus lebih sabar dalam menasihati anak-anak mereka secara perlahan. Yakinlah bahwa lama kelamaan mereka akan mengerti apa yang Ibu katakan, karena semata-mata demi membantu anak dalam melindungi diri dari tindakan body shaming.

  7. Marah? Wajar saja, kok

    Merasa tak terima dan marah atas komentar negatif seseorang tentang fisik anak kita, ternyata merupakan hal yang wajar kok. Sebaiknya jangan push diri anak untuk bertahan lama di sekeliling pelaku body shaming. Sebab, emosi remaja yang masih rapuh jika dipaksakan justru akan semakin merusak dirinya.

    Ajak anak untuk mencintai dirinya sendiri, sebab apapun yang dikatakan oleh orang-orang tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Sangat wajar bila anak merasa kesal. Jika mereka sudah mulai kehilangan ketenangan, ajak anak untuk sejenak menjauh dari orang-orang tersebut.

    Komunikasikan padanya apa yang sebenarnya dirasakan. Bersiaplah untuk menjadi sandaran baginya untuk mengungkapkan keluh kesah mereka. Jangan paksa mereka untuk bertahan dalam lingkup pelaku body shaming. Biarkan mereka meluapkan emosinya hingga merasa lega.

    Namun setelahnya, jangan lupa untuk selalu mengajak mereka bersyukur dengan apa yang dia miliki saat ini. Sebaiknya, jangan memanas-manasinya dengan kalimat seperti, “memang begitu, tuh si tante A. Ibu juga kesal,” sebab, hal ini hanya akan membuat anak menanamkan rasa dendam dalam dirinya yang jelas tidak baik bagi kehidupannya kelak.


Contoh body shaming


  1. “Ih, kulitmu kok hitam banget keturunan Ibuya?”.

    Sebenarnya tak ada yang salah dengan kulit hitam yang kita miliki saat ini. Baik itu faktor keturunan maupun akibat paparan sinar matahari. Sekali, dua kali hal ini mungkin tidak akan menjadi beban bagi anak kita.

    Namun rasanya akan sangat berbeda jika setiap kali ada perkumpulan keluarga, dan pelaku body shaming terus membahas hal ini di hadapan keluarga lainnya. Jika hal ini terjadi, katakan pada anak kita bahwa anggaplah bahwa hal ini hanya sekadar sapaan antar keluarga. Itu artinya mereka memiliki perhatian lebih pada anak kita.

    Jauhkan sifat mudah tersinggung serta sifat lain yang memancing emosi. Nah, kalau anak terlihat diam dengan raut wajah kesal seolah tidak bisa terima perkataan tersebut, segera ajak anak melipir ke tempat yang lebih aman untuk menenangkan diri. Temani dia, ajak berdiskusi apa yang ia rasakan.

  2. “Kamu tak suka olahraga, ya? Pantas saja tubuhmu semakin gendut”.

    Olahraga sejatinya merupakan cara agar badan kita bergerak supaya lebih sehat dan terbebas dari berbagai macam penyakit berbahaya. Meski anak kita memiliki tubuh yang gemuk, tak berarti dia tidak suka berolahraga, lho.

    Jika ada anggota keluarga yang berkomentar seperti ini, saatnya untuk mengeluarkan jurus “tebal kuping’. Anggaplah bahwa tubuh anak Ibu yang gemuk ini karena Ibu jago masak, sehingga membuat anak hampir tidak bisa menolak masakan Ibu.

    Jangan dimasukkan ke dalam hati, untuk menenangkan diri mungkin Ibu bisa membalasnya dengan kata-kata positif seperti, “Namanya juga sedang masa pertumbuhan, yang penting sehat hehe.. Sounds cliche, tapi sedikit mengurangi perasaan tidak enak akibat ‘kritik pedas’ tersebut, lho.

  3. Tak berhenti mengejek, sementara orang yang diejek terlihat makin tak nyaman

    Bagaimana jika pelaku body shaming adalah kita sendiri sebagai orang tua? Waduh, nggak kebayang deh. Actually, bercanda antar orang tua dan anak memang merupakan bonding yang baik, selama topik bercanda yang dipilih tidak saling menyinggung dan membuat sakit hati.

    Salah satu topik yang bisa memancing sakit hati memang body shaming. Hal ini sebenarnya sah-sah saja dilakukan asalkan keduanya tidak keberatan. Masalahnya, beberapa kasus ada yang tidak terima dan hanya bisa memendamnya atau bahkan ditunjukkan dengan mimic muka dan gestur tubuh.

    Sayangnya, komentar si pelaku body shaming hanyalah “ah, gitu aja lebay deh. Kamu baper banget, sih,”. Sejatinya kalau orang tersinggung, hendaknya kita harus meminta maaf bukan malah menertawakan dan menganggap orang tersebut baper. Bahayanya jika hal ini tidak lekas ditangani, orang yang tersinggung tidak bisa menerima bahkan memupuk dendam yang jelas tak baik bagi hubungan sesama keluarga.


Cerdas atasi body shaming dalam keluarga


  1. Jangan menyinggung

    Beritahu dengan cara baik-baik agar tidak menyinggung anak. Misalnya jika warna kulit anak berbeda dengan ibunya yang memiliki warna kulit putih. Sebaiknya jelaskan padanya bahwa cantik tidak bisa diukur dari warna kulitnya. Masih banyak orang yang berkulit sawo matang, namun tetap terlihat cantik. Tujuannya adalah untuk menanamkan pola pikir yang positif kepada anak

    Sementara itu, jika orang tua merasa memang ada yang harus diperbaiki dari fisik anak usahakan untuk menggunakan kalimat sederhana yang tidak menyinggung. Misalnya ketika bobot tubuh anak terlalu gemuk, ajaklah dia untuk berolahraga. Jelaskan padanya bahwa dari sisi kesehatan, olahraga sangat baik bagi tubuh terutama untuk mendapatkan berat badan yang ideal.

  2. Bentuk pola pikir positif

    Last but not least, membentuk pola pikir positif ini sangatlah penting. Dikarenakan hal tersebut bukanlah proyek satu malam, maka harus dilakukan sejak dini. Pola pikir positif berguna agar ketika anak mengalami kecemasan termasuk dalam hal body shaming, maka mereka akan segera reda dan kembali pada pola pikir positif.

    Pola pikir seperti ini memang perlu dilatih, maka orang tua harus rutin berkomunikasi dari hati ke hati secara rutin dengan anak. Dengarkan keluh kesahnya, berikan masukan dan saran kemudian mulailah untuk membentuk pola positif tersebut.

  3. Coba untuk bersimpati

    Terkadang rasanya memang sangat sulit untuk mencoba bersimpati dan merasakan perasaan orang lain. Ada sebuah gejolak dalam diri di mana disisi lain kita ingin mengomentari bentuk tubuh anak. Namun disisi lain, sang anak belum tentu menerima kritikan kita.

    Sulitnya diri kita untuk berempati diakibatkan oleh adanya sisi negatif yang sangat dominan. Untuk itu, cobalah untuk melawannya. Berpikirlah bagaimana perasaannya dan bagaimana jika Ibu yang menerima body shaming dari orang tua sendiri.

    Jika dirasa kritikan kita nantinya hanya akan menyinggung anak, ada baiknya untuk mengurungkan niat menegurnya. Sebaiknya lakukan cara lain untuk mengkritik tubuh anak. Misalnya saja lakukan pendekatan, berikan pengertian secara perlahan. Atur kalimat yang kiranya cukup dimengerti anak, namun tak bernada singgungan.

(Aprilia / Dok. Freepik)