Ibupedia

Alasan Kenapa Anak Remaja Sekarang Lebih Rentan Secara Emosional?

Alasan Kenapa Anak Remaja Sekarang Lebih Rentan Secara Emosional?
Alasan Kenapa Anak Remaja Sekarang Lebih Rentan Secara Emosional?

Remaja masa kini tumbuh di tengah arus informasi yang tidak pernah berhenti. Dalam satu hari, mereka bisa melihat ratusan konten, menyerap berbagai opini, membandingkan diri, bahkan menghadapi tekanan sosial yang tidak selalu terlihat dari luar. Tidak heran jika banyak dari mereka tampak lebih mudah goyah, lebih cepat cemas, atau kesulitan mengatur emosi.

Berita tentang tindakan ekstrem, paparan konten berbahaya, hingga kasus bullying yang terus bermunculan membuat kita bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam dunia remaja Indonesia?

Dari penjelasan para pakar HIMPSI, PDSKJI, Komdigi, hingga ICT Watch dalam kegiatan YouTube Luncurkan Fitur dan Kolaborasi Baru untuk Kesejahteraan Digital, gambaran tentang kondisi remaja kita ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar “kecanduan gadget”.

Bagaimana Kondisi Emosi Remaja Kita Sebenarnya? Para Ahli Mulai Angkat Suara

Menurut Dr. Zulivia Oktanida Syarif, Sp.KJ dari PDSKJI, kunjungan remaja ke layanan kesehatan jiwa meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. Gejala yang banyak muncul bukan lagi sekadar stres ringan, tetapi kecemasan berlebih, depresi, impulsivitas, hingga disregulasi emosi yang cukup berat.

Temuan paling mengkhawatirkan adalah penurunan fungsi kognitif. Dalam penelitiannya, remaja menunjukkan penurunan pada daya ingat, fokus, kemampuan membuat keputusan, dan kontrol impuls.

Dr Zulivia menjelaskan, “Fungsi kognitif remaja menurun dan ini berhubungan dengan meningkatnya agresivitas, impulsivitas, dan kesulitan mengatur emosi.”

Temuan ini menjelaskan mengapa perilaku berisiko, perundungan, hingga tindakan ekstrem semakin sering terjadi. Lebih mengkhawatirkan lagi, sebagian besar remaja mencari jawaban atau pertolongan pertama melalui internet sebelum datang ke profesional.

Remaja Indonesia yang dikategorikan 13 hingga 18 tahun, atau sampai 24 tahun jika berbicara mengenai masa adolescence, berada dalam masa perkembangan otak yang sangat aktif. Tahapan ini membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh stresor lingkungan, termasuk paparan digital yang tidak terfilter.

Stresor Baru yang Diam-diam Menggerus Emosi Remaja Indonesia

Psikolog Samanta Elsener dari HIMPSI mengungkapkan bahwa kualitas koneksi dengan orang tua adalah faktor terbesar dalam ketahanan emosi remaja. Banyak remaja saat ini tumbuh di periode ketika orang tua terdistraksi oleh masalah ekonomi, pekerjaan, atau tekanan hidup lain.

Menurut Samanta, “Generasi ini mengalami perombakan digital. Orang tua terdistraksi, teknologi jadi pengasuh tambahan. Anak akhirnya mencari kenyamanan di internet.” Pola asuh permisif, minim kelekatan emosional, atau bahkan kurangnya empati dalam keluarga menjadi faktor yang memperlemah fondasi emosi remaja.

Selain hubungan dengan orang tua, ada beberapa stresor lain yang ikut berperan.

1. Konten mental health yang tidak kredibel

Topik mental health kini sangat populer di platform digital. Sayangnya, tidak semua dibuat oleh tenaga profesional. Banyak konten dibuat oleh figur non-profesional yang hanya berbagi pengalaman pribadi. Di mata remaja yang masih labil, konten seperti ini bisa menyesatkan.

Mereka mudah mengira diri mereka punya “trauma”, “bipolar”, “anxiety disorder”, atau “inner child wound” hanya karena merasa relate dengan video berdurasi 30 detik. Fenomena ini membuat banyak remaja melakukan self-diagnosis, sehingga mereka menganggap dirinya “rusak” atau “bermasalah”, padahal belum tentu.

Menurut Samanta, pola ini membuat remaja kehilangan arah dan tidak tahu harus mulai dari mana ketika benar-benar membutuhkan bantuan profesional.

2. Tekanan body image dan perbandingan sosial

Remaja menghabiskan banyak waktu melihat tubuh orang lain, membandingkan kulitnya, bentuk tubuhnya, gaya hidupnya, dan pencapaiannya dengan apa yang diperlihatkan kreator. Masalahnya, mereka tidak selalu bisa membedakan mana realita dan mana konten yang diedit, diseleksi, atau dikurasi.

Perbandingan tanpa henti ini membuat mereka merasa tidak cukup. Tidak cukup cantik, tidak cukup kurus, tidak cukup sukses, bahkan tidak cukup bahagia. Tekanan ini perlahan mengikis harga diri dan membuat mereka sulit menerima diri sendiri.

3. Fenomena self-harm yang dipelajari dari internet

Selama pandemi, Samanta menangani banyak remaja yang melakukan self-harm setelah melihat konten serupa dari teman sebaya. Menurutnya, ada pola “contagion effect” di mana remaja mengulang perilaku yang mereka lihat karena ingin merasakan hal yang sama seperti teman-temannya.

Mereka tidak paham bahwa tindakan itu berbahaya. Mereka hanya merasa itu adalah cara “legit” untuk menunjukkan rasa sakit. Ini yang membuat paparan konten self-harm perlu dibatasi.

4. Kebutuhan validasi yang tinggi

Remaja yang tidak mendapatkan cukup validasi di rumah akan mencarinya di tempat lain. Mereka mencari “likes”, pujian, komentar positif, atau sekadar perhatian dari orang asing. Ketika validasi rumah lemah, internet menjadi tempat mereka mencari identitas. Padahal, validasi dunia digital tidak stabil dan sering kali kejam.

5. Kurangnya pengembangan social skills

Minimnya interaksi tatap muka membuat remaja semakin sulit memahami emosi orang lain. Mereka belum terbiasa membaca ekspresi, menangkap nada bicara, atau merespons perasaan seseorang dengan empati.

Akibatnya, mereka lebih mudah salah paham, cepat tersinggung, kesulitan membangun hubungan yang sehat, dan lebih rentan menjadi pelaku maupun korban bullying. Seperti yang dijelaskan Samanta, keterampilan sosial tidak bisa dipelajari hanya dari layar, tetapi perlu dibangun melalui interaksi langsung dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika Konten Berbahaya Mengambil Alih: Pelajaran dari Kasus SMA 72

Kasus remaja SMA 72 Jakarta yang merakit bom setelah terpapar konten ekstrem menjadi wake-up call besar bagi Indonesia. Menurut Irawati Tjipto Priyanti, Direktur Penyidikan Digital Komdigi, remaja tersebut mempelajari semuanya dari internet, termasuk simbol-simbol ekstrem, ideologi tertentu, hingga langkah teknis perakitan.

Beliau menyampaikan, “Fenomenanya terus bergerak, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian.” Kondisi keluarga yang rentan, pengalaman bullying, dan minimnya pendampingan emosional membuat remaja mudah masuk ke konten ekstrem tanpa disadari orang tua.

Kasus ini membuktikan bahwa radikalisasi kini tidak membutuhkan pertemuan fisik. Algoritma saja sudah cukup jika tidak ada pendampingan dari orang tua.

Yang Membuat Emosi Remaja Mudah Goyah Bukan Hanya Dari Sosial Media, tapi Suasana di Rumah

Indriyanto Banyumurti dari ICT Watch memberikan penjelasan yang sangat menggugah. Ia mengatakan bahwa banyak remaja saat ini “diasuh oleh algoritma.” Menurutnya, “Platform hanya alat. Sama seperti pisau dapur. Bisa dipakai untuk memasak atau menyakiti. Yang membedakan adalah pendampingannya.”

Jika anak menggunakan teknologi tanpa pendampingan, internet mengambil alih peran yang seharusnya dimiliki orang tua, yaitu menjadi sumber rujukan, validasi, dan tempat bertanya.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Samanta bahwa regulasi emosi orang tua akan menjadi inner voice anak. Jika orang tua mudah marah, tidak hadir secara emosional, atau kurang responsif, anak kehilangan fondasi yang mereka perlukan untuk memproses emosinya sendiri.

Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Remaja Kita?

Para ahli sepakat bahwa benteng pertama remaja bukanlah fitur digital, tetapi hubungan yang hangat, stabil, dan responsif di rumah. Ada beberapa hal penting yang dibutuhkan remaja agar lebih kuat menghadapi risiko digital.

1. Koneksi emosional yang aman

Remaja membutuhkan rumah yang terasa aman untuk berbagi cerita. Bukan tempat yang penuh kritik, sarkasme, atau perbandingan. Ketika mereka merasa diterima apa adanya, mereka lebih kuat menghadapi tekanan luar.

2. Komunikasi dua arah

Orang tua perlu bertanya apa yang mereka lihat, tonton, atau pikirkan, bukan hanya memberi perintah. Komunikasi dua arah membuat remaja merasa dihargai sebagai individu.

3. Contoh regulasi emosi

Remaja belajar dari apa yang mereka lihat. Jika orang tua mudah meledak, mereka akan menirunya. Jika orang tua bisa menenangkan diri, mereka mempelajarinya juga. Cara kita menyikapi stres menjadi blueprint bagi mereka.

4. Pendampingan digital yang adaptif

Tidak semua bentuk pendampingan dari orang tua harus berupa larangan. Remaja perlu diajak berdiskusi tentang apa yang mereka tonton, kenapa mereka suka konten tertentu, dan bagaimana memilah informasi. Pendampingan digital membantu mereka membangun critical thinking.

5. Pemahaman tentang boundaries dan empati

Ini penting untuk mencegah anak menjadi pelaku atau korban bullying. Anak yang paham batasan akan tahu kapan harus berhenti, kapan harus menjaga ucapan, dan kapan harus meminta maaf.

Langkah Sederhana yang Bisa Orang Tua Lakukan Setiap Hari

Setelah memahami berbagai stresor yang dialami remaja serta faktor penguat yang mereka butuhkan di rumah, pertanyaan berikutnya adalah: hal apa yang bisa kita lakukan dalam rutinitas harian?

Tidak perlu perubahan besar atau metode pengasuhan yang rumit. Justru langkah-langkah kecil yang dilakukan konsisten setiap hari yang paling membantu membangun ketahanan emosi mereka. Berikut beberapa kebiasaan sederhana yang direkomendasikan para ahli dan bisa mulai kita lakukan dari rumah.

1. Luangkan bonding time

Tidak harus selalu panjang, tetapi konsisten. Dua puluh hingga empat puluh menit sehari untuk ngobrol santai, makan bersama, atau sekadar jalan sore bisa membangun hubungan yang kuat.

2. Jadilah co-viewer

Sesekali tonton konten bersama. Tanyakan opini mereka. Tanyakan apa yang mereka suka. Ini membuat anak merasa ditemani, bukan diawasi.

3. Bangun family rules yang disepakati bersama

Aturan yang dibuat bersama lebih mudah dipatuhi. Misalnya, aturan penggunaan gadget sebelum tidur, jam belajar, atau waktu digital detox.

4. Biasakan membicarakan isi pikiran dan perasaan

Ajak anak berbicara tentang perasaan mereka. Emosi yang diberi nama akan lebih mudah diatur.

5. Upgrade pengetahuan digital parenting

Orang tua perlu tahu cara kerja fitur keamanan, filter konten, dan pengaturan batas pemakaian, khususnya di YouTube. Dengan begitu, kita tidak ketinggalan dari anak-anak kita sendiri.

6. Kenali teman-teman anak, baik online maupun offline

Tanyakan siapa yang sering mereka ajak main, baik di dunia nyata maupun di game atau media sosial. Ini membuat anak merasa diperhatikan tanpa merasa dikekang.

Dunia remaja memang berubah cepat, tetapi kebutuhan mereka tetap sama. Mereka butuh rumah yang hangat, keluarga yang hadir, dan orang dewasa yang mau mendengar. Para ahli sepakat bahwa hubungan emosional yang sehat antara orang tua dan anak adalah fondasi utama ketahanan remaja di era digital.

Follow Ibupedia Instagram