Kemarahan merupakan emosi manusia yang normal, terutama ketika menjadi orangtua. Semua orangtua pasti pernah marah. Kemarahan bisa jadi hal yang positif karena kadang kemarahan memberikan kita energi untuk melakukan sesuatu. Kondisi marah juga memberi kita kesempatan untuk menjadi contoh yang baik bagi si kecil yang sedang belajar dengan meniru. Bila Anda mengatasi kemarahan dengan cara yang positif dan sehat, misalnya dengan menarik napas panjang atau berjalan-jalan, bukan dengan emosi yang meledak-ledak, Anda menunjukkan pada anak bagaimana cara mengatasi rasa marah yang tepat.
Di sisi lain, kemarahan bisa juga bersifat negatif, terutama bila sering terjadi di luar kendali. Kehilangan kesabaran ketika marah bisa membuat masalah semakin buruk dan memicu konflik dengan orang lain. Kebiasaan kita berteriak-teriak saat marah dapat membuat anak takut dan ini berdampak buruk untuk rasa percaya diri mereka.
Mengenali tanda marah
Kita mungkin sering merasa kemarahan yang meledak-ledak datang begitu saja tanpa peringatan, tapi sebenarnya tubuh kita menunjukkan tanda-tanda awal kemarahan lho. Bila mengenali tanda-tanda ini, kita bisa melakukan sesuatu untuk menghentikan kemarahan dan mengontrolnya. Tanda awal kemarahan bisa berupa:
Detak jantung lebih cepat
Perut terasa teraduk-aduk
Napas lebih cepat
Bergejolak
Bahu menegang
Rahang dan tangan mencengkeram
Berkeringat
Yang dirasakan si kecil saat orang tuanya berteriak atau memukulnya
Coba deh bayangkan saat pasangan hilang kesabaran dan berteriak pada kita. Lalu bayangkan jika ukuran tubuh pasangan tiga kali lebih besar dari Anda. Bayangkan juga kita bergantung padanya untuk memperoleh makanan, rasa aman, dan perlindungan. Bayangkan ia yang jadi sumber utama cinta, rasa percaya diri, dan informasi tentang dunia. Jika sudah begini, lalu apa yang Anda rasakan? Perasaan itu jugalah yang mungkin terjadi di dalam diri si kecil ketika kita memarahinya.
Tentu, kita semua pernah marah ke anak. Tantangannya adalah bagaimana agar kita bisa mengontrol ekspresi saat marah ke anak, sehingga mengurangi efek negatif marah.
Kemarahan cukup menakutkan. Kekerasan verbal, yang orangtua lakukan terhadap anak, menyebabkan kerusakan personal yang lebih tinggi karena anak bergantung pada orangtua. Dan anak yang mengalami kekerasan fisik, termasuk menerima pukulan, terbukti memiliki efek negatif yang bertahan lama yang mempengaruhi tiap sudut kehidupan setelah dewasa, mulai dari IQ lebih rendah hingga hubungan yang lebih buruk.
Bila anak tidak terlihat takut pada kemarahan Anda, ini jadi indikasi kalau ia telah melihat kemarahan terlalu banyak dan bersikap defensif terhadap Anda. Kita pasti tidak ingin jika anak enggan berperilaku baik pada kita sebagai orang tuanya, tapi lebih terbuka dengan teman-temannya. Jika ini terjadi, berarti Anda punya tugas lebih berat. Baik anak menunjukkannya atau tidak, semakin sering kita marah, anak semakin defensif.
Cara mengendalikan kemarahan
Si kecil mungkin kadang membuat kita marah, misalnya saat kita pulang ke rumah setelah seharian sibuk bekerja, lalu di rumah menginjak mainan si kecil yang berserakan, atau melihat ia menumpahkan sesuatu ke lantai, rasa marah seolah tidak bisa kita tahan. Kadang kemarahan orangtua menjadi hal yang wajar. Yang terpenting, kita harus tahu bagaimana cara yang tepat untuk bereaksi saat mengalami emosi ini dan berusaha untuk tetap bersikap tenang.
Atasi kemarahan di masa lalu Anda
Menjadi orangtua adalah semacam terapi yang bisa menunjukkan di mana masalah kita dan memotivasi kita untuk mengatasinya. Bila masa lalu Anda penuh dengan kemarahan tak tersalurkan, lakukan sesuatu untuk menyembuhkan diri sendiri sebelum Anda membahayakan anak. Penelitian menunjukkan kalau anak yang ibunya sering mengekspresikan kemarahan, biasanya akan lebih sulit untuk didisiplinkan.
Coba cari tahu masalah di masa lalu kita yang bisa memancing kemarahan. Apakah Anda mengalami kekerasan atau dihukum berat saat kecil? Apakah Anda kesulitan mengontrol emosi? Apakah Anda tidak merasa damai? Cari tahu situasi di saat ini yang membuat Anda marah, misalnya tidak puas dengan pekerjaan, pasangan, diri sendiri, atau anak. Ingat Bun, bila anak sering melihat wajah marah dan mendengar kemarahan, ia akan menjadi pribadi yang seperti itu nantinya.
Tentang perspektif Anda
Tombol kemarahan tiap orang bisa berbeda. Beberapa orangtua lebih rentan marah ke anak. Kalau Bunda salah satunya, coba lakukan latihan ini, bagi perilaku anak yang tidak tepat menjadi kategori kecil, yang tidak perlu menimbulkan kemarahan, dan kategori besar seperti menyakiti diri sendiri atau orang lain, yang membutuhkan respon Anda. Lalu kondisikan diri agar Anda tidak merasa terganggu dengan kategori yang kecil.
Berikut beberapa kalimat yang bisa Anda ulang-ulang dalam pikiran saat anak melakukan kesalahan kecil, misalnya menumpahkan sesuatu ke lantai atau ke bajunya:
Saya marah, tapi saya bisa mengontrolnya.
Insiden seperti ini sangat wajar terjadi.
Saya yang jadi orang dewasa di sini.
Saya marah karena hal yang anak berantakinn, tapi tidak marah kepada si kecil.
Saya akan tetap tenang.
- Ulangi latihan ini berkali-kali dan Anda akan melihat perbedaan besar. Memang ini tidak semudah teorinya, namun hasilnya bisa luar biasa lho. Jika sudah terbiasa, lalu kita mendapati anak melakukan kesalahan kecil, kita akan lebih mampu mengontrol diri. Kita bisa menarik napas dalam, berjalan-jalan, tetap tenang, merencanakan strategi, dan kembali ke tempat kejadian.
Misalnya, saat anak mencoret-coret tembok, kita bisa saja langsung marah, dan anak bisa melihat wajah kita yang oenuh amarah. Tapi, jika kita mengafirmasikan diri dengan kata-kata positif di atas, kita bisa belajar untuk tidak dikontrol oleh kemarahan dan berteriak-teriak pada anak. Dalam kondisi tenang seperti ini, Ibu bisa memberikan time-out untuk anak. Setelah merasa tenang, ajak anak untuk membantu membersihkan coretan-coretan di tembok tadi.
Kemampuan kita untuk mengontrol rasa marah akan memberi pesan pada anak seperti ini, “Ibu marah. Ibu berhak marah, ia tidak suka apa yang aku lakukan, tapi ia tetap menyayangiku dan menganggap aku cukup mampu untuk membantunya membersihkan coretanku tadi.”
Kenali situasi yang bisa memicu kemarahan
Apakah kita ada di situasi yang bisa menimbulkan kemarahan? Bila ya, kita berisiko melampiaskan kemarahan pada anak. Situasi seperti kehilangan pekerjaan, mengalami masalah, atau banyak deadline pekerjaan berat bisa membuat kita lebih mudah marah. Kondisi ini membuat Anda mudah marah meski si kecil hanya melakukan kesalahan yang sepele. Ketika sudah marah ke anak, hal kecil bisa menjadi besar.
Jika mengalami ini, kita harus memberi tahu si kecil tentang kondisi kita. Misalnya saat kita kehilangan pekerjaan, kita bisa mengatakan, “Ibu mau Kakak mengerti kalau Ibu mungkin akan mudah marah selama beberapa bulan ke depan karena Ibu baru saja kehilangan pekerjaan dan merasa sangat marah. Tapi Ibu akan cari pekerjaan baru kok, dan kita akan baik-baik saja. Tapi, bila Ibu marah nanti, Kakak harus ingat ya kalau itu bukan karena Ibu tidak sayang Kakak, tapi karena Ibu sedang mengalami kondisi yang sulit.” Minta maaflah pada anak bila kita marah padanya, “Maaf ya nak, tapi ayah marah karena sedang ada masalah, bukan salah kamu. Ayah tidak marah padamu.”
Akan sangat membantu bila kita jujur pada diri sendiri. Kenali sifat kita hingga masalah penyebab marah teratasi. Akan selalu ada masalah dalam hidup yang tidak bisa dikontrol. Ketika Anda menjadi orangtua dan pribadi yang lebih berpengalaman, Anda akan menyadari kalau hal yang bisa dikontrol hanyalah tindakan Anda.
Batasan sebelum Anda marah
Sering kali kita marah ke anak karena kita belum menentukan batasan. Apalagi jika kita sedang mengalami hari yang berat, perilaku si kecil yang tidak sesuai dengan harapan kita saja bisa memicu rasa marah kita.
Bila anak melakukan sesuatu yang sangat menyebalkan saat kkondisi kita sedang kacau, seperti bermain sampai ada yang terluka, mengulur waktu ketika diminta melakukan sesuatu, bertengkar dengan adiknya ketika Anda bicara di telepon, Anda mungkin perlu menghentikan apa yang Anda sedang lakukan. Setelah itu, ucapkan kembali apa yang Anda ingin anak lakukan, dan arahkan kembali mereka. Ini bisa menjaga situasi dan kemarahan Anda agar tidak semakin menjadi-jadi.
Tenangkan diri sebelum bertindak
Bila Anda merasa marah, Anda perlu cara untuk menenangkan diri Anda sendiri. Mindfulness akan membantu Anda mengontrol diri. Coba hentikan yang Anda lakukan selama beberapa menit dan tarik napas. Bernapas dalam itu ibarat tombol jeda Anda. Ini memberi pilihan apakah Anda ingin dikuasai oleh emosi itu atau tidak? Kemduian, ingatkan diri Anda kalau hal yang sekarang terjadi bukan situasi darurat. Hilangkan ketegangan Anda. Ambil 10 napas dalam lagi.
Anda mungkin perlu mencari cara untuk tertawa untuk mengurangi ketegangan dan mengubah mood. Tersenyum bisa mengirim pesan ke sistem syaraf dan membuat Anda jadi lebih tenang lho. Bila perlu mengeluarkan suara untuk merasa tenang, bersenandunglah. Hal ini terbukti membantu mengurangi kemarahan.
Bila Anda bisa luangkan waktu 15 menit sehari untuk berlatih mindfulness ketika anak di sekolah atau tidur, Anda sebenarnya bisa membantu kapasitas syaraf agar lebih mudah menenangkan diri saat sedang kesal. Tapi sebenarnya aktivitas bersama anak akan memberikan Anda banyak kesempatan untuk berlatih lho, dan setiap kali Anda menolak bereaksi ketika marah atas hal yang dilakukan anak, Anda melatih otak untuk mengontrol diri lebih baik.
Mungkin di antara kita masih ada yang mengikuti saran buat memukul bantal di saat marah. Jika mau melakukan ini, lakukanlah saat sedang sendirian karena melihat Anda memukul bantal bisa menjadi pemandangan yang menakutkan bagi anak.
Saat Anda bernapas dalam untuk mengatasi rasa marah, Anda mungkin akan merasakan perasaan lain di bawah rasa marah, seperti rasa takut, sedih, dan kecewa. Biarkan Anda merasakan perasaan ini. Jangan bepikir tentang kenapa Anda marah, cukup bernapas dalam, lepaskan ketegangan di tubuh. Kemarahan Anda akan hilang.
Rileks
Kenali kalau kondisi marah adalah hal buruk yang mengganggu di segala kondisi. Sebaiknya beri timeout untuk diri sendiri, lalu kembalilah ke si kecil ketika Anda sudah tenang. Menjauhlah dari anak secara fisik, agar Anda tidak tergoda untuk menyentuh anak dengan kekerasan. Cukup katakan setenang mungkin ke si kecil, “Ibu sedang terlalu marah sekarang. Ibu akan melakukan timeout dan menenangkan diri dulu ya.”
Bila anak cukup besar untuk ditinggal sendirian, Anda bisa pergi ke kamar mandi, basuhkan air ke muka dan atur napas. Tapi bila anak masih kecil dan tidak bisa ditinggal, ia mungkin akan mengikuti Anda sambil berteriak-teriak.
Bila Anda tidak bisa meninggalkan anak tanpa membuatnya menangis, pergilah ke dapur dan basahi wajah dengan air. Lalu duduk di sofa dekat anak selama beberapa menit, ambil napas dalam dan katakan mantra untuk mengembalikan ketenangan seperti, “Si kecil butuh cinta” atau “Hanya ada cinta hari ini.”
Tak apa mengucapkan ini dengan suara keras. Ini akan jadi contoh bagus ketika anak melihat Anda mengatasi emosi. Jangan terkejut bila anak mengingat mantra Anda dan mulai menggunakannya ketika ia marah.
Melampiaskan kemarahan ke orang lain justru bisa meningkatkan kemarahan
Jangan ikuti keinginan untuk mengekspresikan kemarahan. Tak ada gunanya melampiaskan kemarahan pada orang lain, khususnya anak. Penelitian menunjukkan kalau melampiaskan kemarahan ke orang lain di saat kita sedang marah, sebenarnya membuat kita lebih marah. Tidak heran, bukannya memecahkan masalah, ini justru bisa memperdalam celah dalam hubungan dengan anak.
Hindari kekuatan fisik
Sebanyak 85% orang dewasa pernah dipukul atau ditampar oleh orangtuanya. Dan penelitian membuktikan memukul dan semua bentuk hukuman fisik punya dampak negatif pada perkembangan anak dan efeknya bertahan sepanjang hidup.
Memukul bisa membuat Anda merasa lebih baik untuk sementara waktu karena cara ini mengeluarkan kemarahan Anda, tapi ini buruk bagi anak dan bisa menghambat hal positif yang Anda lakukan sebagai orangtua. Ada bukti kalau memukul bersifat adiktif karena ini bisa menjadi cara untuk mengeluarkan kemarahan dan orang tua akan merasa lebih baik. Sebenarnya ada cara lain untuk merasa lebih baik, yaitu dengan tidak menyakiti anak.
Lakukan apapun yang Anda butuhkan untuk mengontrol diri, termasuk meninggalkan ruangan di mana anak melakukan kesalahan. Bila Anda tidak bisa mengontrol diri dan melakukan kekerasan fisik, minta maaflah ke anak, lalu beritahu kalau memukul sebenarnya bukan hal yang baik, kemudian carilah bantuan, misalnya ke psikolog atau konselor.
Pertolongan pertama saat orang tua emosi
Jika pembahasan di atas dirangkum menjadi langkah-langkah sederhana, berikut ini adalah pertolongan pertama yang bisa kita lakukan saat sedang merasa marah ke si kecil menurut Sinta Mira, M.Psi, Psikolog Klinis Dewasa di Vida Rumah Konsultasi dan Layanan Psikologi.
Ambil jeda. Saat tersulut emosi, pergilah ke tempat lain selama 1-2 menit. Pastikan si kecil berada di tempat yang aman ya. Gunakan waktu tersebut untuk mengatur napas atau minum air putih.
Buka keran emosi kita dengan cara rutin olahraga. Hal ini bertujuan untuk mengubah energi marah menjadi energi buat berolahraga. Seperti yang kita bahas di atas, rasa marah tidak baik jika ditahan, tapi kita bisa menyalurkannya dengan cara lain. Misalnya, untuk orang yang energik bisa melakukan olahraga keras, seperti bela diri, tinju, dan aerobik.
Me Time. Hal yag satu ini mungkin terdengar klise, tapi ini sangat penting. Kita harus punya waktu untuk memikirkan diri sendiri dan ketemu teman sebaya (dewasa). Jadi kita nggak merasa lelah karena harus menyesuaikan diri untuk menghadapi anak terus menerus.
Ikuti acara yg berhubungan dengan perasaan marah yang kita rasakan. Aktiflah mencari kegiatan seperti intimate coffee talk, kuliah WhatsApp, atau event lain yang membahas topik tentang pengelolaan rasa marah. Di acara ini, kita bisa saling belajar dan tahu kalau kita sebenarnya tidak sendirian mengalami perasan ini.
Mencari pertolongan. Jika merasa sangat butuh, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional, seperti ke psikolog.
Efek kemarahan pada anak
Cara yang kita ambil dalam mengatasi rasa marah ke anak bisa memiliki efek jangka panjang pada si kecil. Sering kali faktor luar memiliki peran dalam kemarahan orangtua, dan banyak ahli mengatakan kalau orangtua yang pemarah perlu mengontrol emosinya sebelum berdampak pada anak. Berikut beberapa efek kemarahan orang tua yang sering terjadi pada si kecil.
Kekerasan pada anak
Marah sering berkaitan dengan kekerasan emosi yang bisa merusak seperti kekerasan fisik. Teriakan membuat anak marah, frustrasi, dan tidak membuat mereka berpikir tentang tindakan mereka. Sebaiknya, saat kita marah, beri peringatan dan pengingat terlbih dahulu, tanpa mengancam anak dan beritahu apa yang seharusnya anak lakukan.
Perilaku defensif
Bila Anda suka meneriaki atau memukul anak ketika marah, ia akan mulai mengadopsi perilaku defensif. Ia akan menutup diri dari Anda dan lingkungannya, lalu mulai mencari teman karena ia tidak mempercayai Anda. Ia tidak ingin menyenangkan hati Anda karena ia akan selalu berpikir bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.
Kehilangan perspektif
Bila anak sering menerima kemarahan orangtua, ia akan mulai kehilangan perspektif tentang kesalahan yang ia perbuat dalam hidupnya. Bila menumpahkan sesuatu atau salah dalam mengerjakan pekerjaan rumah, ia secara emosi akan merasa terpuruk, tapi ia tidak pernah tahu apa yang menyebabkan kemarahan diarahkan kepadanya. Kesalahan kecil memiliki peran besar dalam hidupnya. Ia akan mulai menyalahkan diri sendiri untuk tiap kesalahan, dan tidak tahu bagaimana mengatasi emosi negatif dengan tenang.
Masalah percaya diri
Bila Anda terus marah pada anak, ia akan mulai mengalami masalah rasa percaya diri untuk jangka waktu panjang. Ia akan tumbuh besar dengan rasa minder dan hidupnya akan dihantui dengan kemarahan yang selalu Anda tunjukkan. Jadi setiap Anda tkelepasan marah, selalu tekankan kalau Anda tidak marah pada anak, tapi marah kepada perilaku yang ia tunjukkan.
(Ismawati, Atalya, Ratih)