Kerja Tanpa Jeda: Realita Wellness Warriors di Balik Peran Ibu Indonesia
Kalau dipikir-pikir, siapa sih yang paling sering jadi andalan saat ada anggota keluarga sakit? Dari menyiapkan obat untuk anak, mengatur jadwal vaksin, sampai memutuskan rumah sakit mana yang harus dituju, jawabannya hampir selalu ibu.
Hal ini juga ditegaskan dalam Indonesia Health Insights Report 2025 yang baru saja dirilis Halodoc bersama YouGov. Dengan tema “Wellness Warriors in Silence: Realita, Tekanan, dan Harapan di Balik Peran Ibu dalam Kesehatan Keluarga,” laporan ini menggambarkan begitu besarnya peran ibu sebagai penopang kesehatan keluarga, meski sering kali tidak terlihat.
Menurut data, 74% ibu di Indonesia mengurus kesehatan tiga atau lebih anggota keluarga. Dari total waktu yang dimiliki, 80% tercurah untuk anak, suami, dan orang tua, sementara hanya 17% benar-benar tersisa untuk diri sendiri. Tak berlebihan jika mereka disebut Wellness Warriors, sosok yang berjuang dalam diam demi kesehatan keluarga..
Fibriyani Elastria, Chief Marketing Officer Halodoc, mengingatkan, “Meski terlihat kuat, ibu tetap manusia biasa yang butuh ruang istirahat, dukungan, dan perhatian. Kesehatan ibu berbanding lurus dengan kesehatan keluarga.”
Peran Ibu dalam Kesehatan Keluarga

Peran ibu dalam kesehatan keluarga ternyata jauh lebih luas daripada sekadar menyiapkan obat harian. Ibu yang disebut sebagai Wellness Warriors bertanggung jawab mengatur jadwal vaksin, memutuskan rumah sakit atau klinik mana yang dituju, hingga mengalokasikan dana kesehatan rumah tangga. Survei Halodoc-YouGov bahkan mencatat 53% ibu menjadi pengambil keputusan layanan kesehatan sekaligus pencari nafkah.
Situasi ini membuat ibu sering harus mengambil pilihan sulit, seperti apakah menunda kebutuhan pribadinya demi biaya kesehatan anak, atau membagi fokus antara pekerjaan dan caregiving. Pada saat yang sama, ibu juga berperan sebagai gatekeeper informasi, memastikan keluarga mendapat referensi kesehatan yang benar di tengah banjirnya hoaks.
Menurut Edward Hutasoit, General Manager YouGov Indonesia & India, “Peran ibu sebagai wellness warrior penuh dengan tekanan yang sering kali tidak terlihat.” Setiap keputusan yang diambil ibu bisa jadi sepele di mata orang lain, tapi dampaknya sangat besar bagi keluarga.
Tekanan yang Jarang Terucap

Tanggung jawab sebesar ini tentu membawa tekanan yang tidak kecil. Sebanyak 54% ibu menyebut caregiving sebagai pekerjaan tanpa jeda. Bayangkan, dari pagi hingga malam, rutinitas mengurus keluarga berjalan terus tanpa waktu istirahat. Bahkan di saat anak sakit, ibu tetap berjaga semalaman dan keesokan harinya harus melanjutkan rutinitas seolah tidak ada apa-apa.
Tekanan tidak hanya datang dari pekerjaan rumah, tetapi juga dari lingkungan sekitar. Sebanyak 66% ibu merasa ada ekspektasi masyarakat bahwa perempuan harus menjadi pengasuh utama anak. Ketika anak sakit, yang sering dipertanyakan bukan kondisi si kecil, tapi apakah ibunya sudah cukup perhatian.
Situasi ini semakin berat dengan 60% ibu yang mengaku masih mendapat desakan dari orangtua atau mertua untuk lebih fokus ke rumah tangga dibanding karier. Di satu sisi, ibu punya keinginan untuk berkembang, di sisi lain ada tuntutan sosial yang tidak pernah berhenti.
Kombinasi inilah yang membuat banyak ibu akhirnya merasa kelelahan.
Ketika Kesehatan Diri Ibu Jadi Nomor Sekian

Semua tekanan yang menumpuk itu pada akhirnya berdampak langsung pada kesehatan ibu sendiri. Sebanyak 78% ibu mengaku menunda janji medis atau perawatan diri dalam 12 bulan terakhir, dan 74% tetap melanjutkan caregiving meski sedang sakit. Meski tubuh sudah memberi sinyal untuk berhenti, peran ibu membuat mereka tetap menomorduakan diri.
Masalah yang ditunda pun bukan hal sepele. Mulai dari perawatan kulit yang bisa berujung dermatitis, kesehatan gigi dan mulut yang kalau diabaikan makin parah, hingga kesehatan reproduksi yang sering dianggap tabu untuk dibicarakan. Bahkan kesehatan mental pun masuk daftar yang kerap diabaikan. Sebanyak 67% ibu menunda konsultasi mental health, padahal data Halodoc memperlihatkan layanan ini justru meningkat pesat, terutama untuk ibu pasca melahirkan.
Sering kali alasannya sederhana: tidak ada waktu, tidak ada biaya, atau merasa kesehatan diri kurang penting dibanding keluarga. Namun, ada alasan yang lebih dalam, yakni ibu takut dicap egois kalau mendahulukan dirinya.
Fibriyani menegaskan, tekanan itu kadang muncul dari suara internal ibu sendiri. “Sering kali suara terkeras justru datang dari dalam diri. Kita merasa harus jadi perfect mom. Padahal, kita cukup dengan menjadi #ImperfectMom.”
Hal ini terasa nyata, karena banyak ibu justru menuntut dirinya lebih keras dibanding orang lain. Ingin selalu ada untuk keluarga, ingin jadi “sempurna”, padahal justru di situlah sumber rasa lelah yang tidak terlihat.
Dampak Emosional yang Nyata

Ketika kesehatan fisik dan mental terus terpinggirkan, dampaknya tidak bisa lagi dianggap sepele. Burnout, rasa bersalah, bahkan depresi bisa muncul pelan-pelan tanpa selalu terlihat dari luar. Banyak ibu tetap menjalankan semua perannya, mulai dari mengurus anak, melayani suami sampai menjaga orang tua, meski tubuh dan pikirannya sudah lelah. Senyum tetap ditunjukkan, padahal di dalam hati ada rasa ingin berhenti sejenak.
Beban emosional ini diperparah oleh perasaan “tidak cukup baik”. Saat anak sakit, ibu sering menyalahkan dirinya. Saat rumah tidak rapi, ada rasa bersalah. Bahkan ketika merasa ingin punya waktu sendiri, muncul rasa takut dicap egois. Semua perasaan ini menumpuk menjadi lingkaran lelah yang jarang disuarakan.
Padahal, kalau ditanya apa yang sebenarnya dibutuhkan, jawabannya sangat sederhana. Sebanyak 39% ibu hanya berharap layanan kesehatan yang lebih terjangkau dan mudah diakses. 37% ingin diberi kesempatan untuk personal break. Dan 36% menginginkan dukungan emosional dari orang terdekat.
Fibriyani menegaskan, “Apa yang diminta ibu sebenarnya tidak berlebihan. Mereka hanya butuh empati, pengertian tanpa harus diminta, dan ruang untuk beristirahat.”
Pesan ini mengingatkan kita bahwa dukungan untuk ibu tidak harus selalu berupa hal besar. Kadang, cukup dengan suami yang mau ikut menemani anak vaksinasi, orang tua yang memberi kata-kata apresiasi, atau teman yang mendengarkan tanpa menghakimi. Dukungan kecil seperti itu bisa jadi sumber energi baru bagi ibu untuk terus melangkah.
Dinamika Kesehatan Keluarga

Kalau ditelusuri lebih jauh, kebutuhan kesehatan yang harus diurus ibu ternyata berubah-ubah seiring fase kehidupan keluarga. Saat anak masih newborn, konsultasi paling banyak berkaitan dengan edukasi umum dan masalah kulit. Wajar saja, karena di fase ini ibu masih belajar memahami sinyal tubuh bayi yang belum bisa bicara. Ruam popok, bintik merah, atau tangisan tanpa henti sering kali jadi alasan ibu panik mencari jawaban.
Memasuki usia toddler, tantangannya berbeda lagi. Anak mulai aktif bereksplorasi, sistem imunnya masih berkembang, sehingga gangguan pernapasan menjadi keluhan terbesar. Batuk pilek bisa bolak-balik, dan ditambah dengan risiko diare yang muncul karena anak senang mencoba berbagai makanan. Di fase ini, ibu bukan hanya pengasuh, tapi juga “dokter dadakan” yang sigap sedia termometer, obat penurun panas, sampai oralit.
Saat anak masuk usia sekolah, daftar tugas makin panjang. Aktivitas sosial membuat risiko tertular penyakit lebih tinggi. Ibu harus lebih waspada dengan penyakit menular seperti flu, masalah kulit, hingga gangguan mata. Anak yang mulai sering beraktivitas di luar rumah membutuhkan pengawasan ekstra, belum lagi tambahan urusan imunisasi lanjutan atau vaksinasi musiman.
Peran ibu juga meluas pada kesehatan pasangan. Data Halodoc menunjukkan banyak ibu melakukan konsultasi untuk suami terkait gangguan pencernaan seperti dispepsia, GERD, atau gastritis, serta keluhan muskuloskeletal. Tidak sedikit istri yang akhirnya menjadi “jembatan komunikasi” antara suami dan dokter, karena suami cenderung mengabaikan gejalanya sendiri.
Tanggung jawab itu semakin besar saat menyangkut orang tua. Sebanyak 51% ibu menjalani peran sebagai caregiver utama untuk orang tuanya, dengan keluhan kesehatan yang berbeda lagi, mulai dari nyeri sendi, sakit punggung, hingga penyakit metabolik.
Kadang, ibu menghadapi semua sekaligus, di mana anak sakit, suami butuh perhatian, dan orang tua yang juga memerlukan perawatan. Dari gambaran ini, terlihat jelas bahwa peran ibu sebagai Wellness Warriors memang tidak pernah berhenti.
Dari bayi yang baru lahir, pasangan yang sibuk bekerja, hingga orang tua yang menua, semua ada dalam lingkaran perhatian ibu. Mereka tidak hanya menjaga, tapi juga menyeimbangkan prioritas kesehatan setiap anggota keluarga, sering kali dengan mengorbankan dirinya sendiri.
Saatnya Ibu Juga Dijaga

Semua temuan dalam laporan ini membawa kita pada satu kesimpulan penting, yaitu kesehatan ibu adalah fondasi kesehatan keluarga. Kalau ibu terus menomorduakan dirinya, cepat atau lambat dampaknya akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Anak-anak mungkin tetap bisa tertawa, suami tetap bisa bekerja, tapi di balik itu ada seorang ibu yang diam-diam mengorbankan kesehatannya sendiri.
Halodoc melihat kenyataan ini bukan sekadar angka, tapi panggilan untuk menghadirkan solusi nyata. Melalui aplikasi Halodoc, waktu konsultasi yang biasanya memakan hingga empat jam kini bisa dipangkas menjadi sekitar 35 menit, termasuk mendapatkan obat.
Layanan yang tersedia pun lengkap, mulai dari vaksin anak, pembelian obat dan vitamin asli, tes kesehatan di rumah, hingga konsultasi mental health. Semua dirancang untuk membantu ibu agar tidak lagi harus memilih antara merawat keluarga atau menjaga dirinya sendiri.
Dengan dukungan lebih dari 20.000 tenaga medis terpercaya, Halodoc ingin hadir sebagai partner setia para ibu, Wellness Warriors yang setiap hari berjuang menjaga keluarga. Fibriyani menutup dengan pesan penuh empati, “Ketika ibu lebih sehat dan bahagia, keluarga pun akan lebih kuat dan sejahtera. Melalui kampanye #ImperfectMom, Halodoc ingin mengingatkan bahwa ibu tidak harus selalu sempurna. Cukup dengan merasa didukung, dihargai, dan punya ruang untuk menjaga dirinya sendiri, ibu sudah melakukan yang terbaik.”
Pesan ini mengingatkan bahwa ibu, dengan segala perannya, tetaplah manusia biasa yang butuh dijaga. Laporan Indonesia Health Insights Report 2025 menunjukkan kenyataan yang mungkin selama ini sudah kita rasakan, tapi jarang terucap yaitu ibu adalah garda depan kesehatan keluarga. Mereka manajer kesehatan rumah tangga, pengasuh tanpa jeda, sekaligus penjaga informasi yang memastikan keluarganya sehat.
Tapi semua peran itu seharusnya tidak membuat kesehatan ibu terpinggirkan. Karena ketika ibu sakit atau kelelahan, efeknya merambat ke seluruh keluarga.
Kini saatnya kita, baik pasangan, keluarga, maupun masyarakat, lebih memberi ruang bagi ibu untuk beristirahat, merawat diri, dan merasa didukung. Di balik keluarga yang sehat, ada seorang ibu yang rela mengorbankan banyak hal demi orang-orang tercinta.