Ibupedia

Parenting Zaman Dulu vs Sekarang: Apa Bedanya?

Parenting Zaman Dulu vs Sekarang: Apa Bedanya?
Parenting Zaman Dulu vs Sekarang: Apa Bedanya?

Kalau kita flashback ke masa kecil dulu, rasanya orang tua lebih tegas bahkan cenderung otoriter. Anak diminta belajar ya harus patuh, tidak banyak ruang untuk berpendapat. Bandingkan dengan sekarang, di mana orang tua justru sering mengajak anak berdiskusi, bahkan mendengarkan opini mereka.

Nggak heran banyak yang bilang parenting zaman dulu bikin anak lebih tahan banting, sementara anak zaman sekarang dianggap gampang rapuh. Tapi sebenarnya, apakah benar pola asuh keras bikin anak lebih kuat? Atau justru anak sekarang sebenarnya punya kelebihan lain karena didampingi dengan cara yang lebih hangat?

Untuk lebih jelasnya, yuk kita lihat bagaimana pola asuh berubah dari masa ke masa.

Parenting 1990–2000-an: Anak Dianggap Rapuh, Orang Tua Super Terlibat

Di era ini, anak dianggap rentan dan mudah dipengaruhi oleh lingkungannya. Karena itu, orang tua merasa harus sangat terlibat dalam kehidupan anak. Gaya otoriter yang kaku dan konservatif mulai ditinggalkan, bergeser ke arah yang lebih ramah dan empatik, tetapi tetap intensif.

Dalam acara peluncuran kemasan baru Cussons Baby, psikolog klinis Ratih Ibrahim menjelaskan, “Orang tua zaman dulu sangat protektif, semua diatur, karena mereka percaya keberhasilan anak sepenuhnya tergantung pada orang tua.” Muncullah tren intensive parenting, di mana orang tua ikut campur dalam hampir semua aspek kehidupan anak, mulai dari sekolah hingga kegiatan ekstrakurikuler.

Tidak heran jika di masa itu banyak anak yang pulang sekolah langsung diarahkan untuk les tambahan atau ekskul tertentu, bahkan sampai lagu yang dipilih saat latihan musik pun ditentukan oleh orang tua. Namun, intensitas ini juga punya sisi lain. Sebagian orang tua jadi overprotective, terutama karena munculnya kekhawatiran terhadap dunia digital yang saat itu baru berkembang.

Parenting 2010-an: Sadar Bahwa Terlalu Intens Tidak Selalu Baik

Sejak akhir 2000-an, orang tua mulai menyadari bahwa keterlibatan yang terlalu intens bisa berdampak buruk. Banyak orang tua merasa kelelahan secara fisik maupun mental. Di sisi lain, anak justru menjadi lebih bergantung pada orang lain dan kurang percaya diri terhadap keputusan sendiri.

Karena itu, di era ini pola asuh lebih menekankan pentingnya kemandirian anak. Anak dilihat sebagai individu yang tangguh, diberi ruang untuk berpartisipasi, melatih pemikiran kritis, dan belajar mengambil keputusan. Ratih menambahkan, “Di 2010-an, orang tua lebih idealis. Mereka ingin dekat dengan anak, tapi kadang jadi terlalu ikut campur.”

Perbedaannya mulai terasa dalam kehidupan sehari-hari. Kalau di tahun 90-an anak otomatis dimasukkan les piano karena dianggap bagus, di era ini orang tua mulai bertanya pada anak, “Mau ikut teater, coding, atau olahraga” Anak diberi kesempatan menentukan sendiri pilihannya, sementara orang tua hadir sebagai pendukung.

Parenting 2020-an: Jadi Sahabat Anak, Komunikasi Dua Arah

Di era digital sekarang, pola asuh semakin responsif secara emosional. Anak tidak hanya diberi kebebasan, tapi juga dihargai ekspresi emosinya. Orang tua berusaha menyeimbangkan batasan yang jelas dengan komunikasi dua arah.

Berdasarkan survei IPSOS 2024, gaya pengasuhan yang paling banyak diterapkan adalah gabungan antara pendekatan hangat, suportif, tapi tetap dengan struktur yang jelas. Ada playful parent yang suka bermain dan menciptakan pengalaman indah, firm but fair parent yang menetapkan aturan tegas tapi adil, serta gentle parent yang mengutamakan empati dan komunikasi positif daripada hukuman.

“Sekarang banyak orang tua lebih memilih jadi bestie anaknya. Ada sisi positif, tapi juga ada tantangan, anak jadi lebih rapuh secara emosional,” jelas Ratih. Contohnya, ketika anak meminta waktu lebih lama bermain gadget, orang tua tidak lagi hanya berkata, “Main gadget cuma 1 jam,” melainkan duduk bersama anak untuk menjelaskan alasannya, bahkan ikut menonton konten yang sedang ia sukai.

Situasi serupa juga terjadi ketika anak ingin ikut membuat konten TikTok atau YouTube. Alih-alih langsung melarang, orang tua memilih berdiskusi soal batasan dan alasan keamanan.

Benang Merah yang Nggak Pernah Hilang Dari Pola Asuh Anak Lintas Generasi

Meski gaya parenting berubah-ubah, ada hal yang tidak pernah hilang, yaitu kasih sayang orang tua.

Ratih menekankan pentingnya emotional memory, “Anak mungkin nggak ingat persis dimandiin ibunya, tapi mereka ingat rasa hangat dan wanginya. Itulah emotional memory yang melekat.” Pola asuh boleh berbeda, tapi tujuan orang tua sebenarnya tidak pernah berubah.

Dulu studi menunjukkan tujuan utama pengasuhan adalah membuat anak merasa dicintai. Sekarang menurut survei IPSOS, orang tua ingin dilihat sebagai sosok yang pengertian dan bisa diandalkan.

Seperti saat anak belajar naik sepeda, mungkin ia lupa siapa yang pertama kali melepas sepedanya, tapi yang tertinggal adalah rasa percaya diri karena tahu ada orang tuanya yang siap menopang dari belakang.

Transformasi Cussons Baby Ikut Tumbuh Bersama Ibu

Perubahan gaya parenting dari generasi ke generasi membuat kebutuhan ibu juga ikut berevolusi. Apapun zamannya, satu hal yang tidak berubah adalah keinginan ibu untuk selalu memberi cinta terbaik pada anaknya. Salah satu bentuk cinta itu hadir lewat perawatan harian, mulai dari menjaga kebersihan hingga memastikan si kecil nyaman.

Seiring kebutuhan ibu yang terus berubah, banyak brand juga beradaptasi untuk tetap relevan, salah satunya Cussons Baby. Marketing Director PZ Cussons Indonesia, Eva Arisuci Rudjito, menyampaikan bahwa perubahan ini bukan sekadar tampilan visual tetapi bentuk komitmen agar brand tetap dekat dengan kebutuhan ibu masa kini. Logo dan kemasan Cussons Baby kini tampil lebih modern dengan warna pastel lembut serta karakter ilustrasi bayi Cuby yang menggemaskan.

Menurut Eva, setiap perubahan adalah ekspresi cinta. “Masa terus berubah, begitu juga kebutuhan ibu. Tapi ujung-ujungnya yang selalu sama, cinta ibu pada anak.”

Bukan hanya produk dengan formula triple nutrient blend yang dirancang sesuai kebutuhan si kecil, Cussons juga meluncurkan inisiatif #CussonsMOMen atau Mothers of Mindful Empowerment Network. Wadah ini menjadi safe zone untuk ibu lintas generasi agar bisa saling berbagi cerita, belajar, dan mendapat dukungan emosional di tengah derasnya arus informasi.

Transformasi ini sejalan dengan perjalanan para ibu yang terus belajar, beradaptasi, dan menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Sama halnya dengan pola asuh yang berubah, Cussons Baby pun ikut tumbuh bersama ibu, hadir bukan hanya sebagai produk perawatan bayi tetapi juga sebagai teman emosional dalam perjalanan panjang menjadi orang tua.

Cerita Para Ibu yang Beradaptasi dengan Zaman

Bagi ibu milenial, tantangan parenting punya cerita tersendiri. Merdianti Octavia, ibu dua anak sekaligus menantu Dewi Yul, berbagi pengalamannya. “Saya berusaha konsisten dan sabar, tapi juga terbuka pada anak. Sekarang anak-anak perlu diajak diskusi, bukan cuma diperintah.” Ia juga menekankan pentingnya komunikasi dengan pasangan supaya pola asuh tetap sejalan.

Sementara itu, Sophia Aljufri yang merupakan ibu Gen Z dengan dua balita mengaku sering merasa kewalahan karena banjir informasi. “Jadi ibu di era digital ini kadang bikin bingung. Informasi datang dari mana-mana, makanya butuh support system.”

Ia juga bercerita bahwa di awal perjalanannya sebagai ibu sempat ragu karena gaya pengasuhannya berbeda dengan orang tua dan mertuanya. “Awalnya overwhelming, tapi saya belajar untuk percaya diri dan tetap cari cara yang sesuai buat keluarga kecil saya.”

5K Rahasia Parenting Sehat Menurut Ratih Ibrahim

Kalau ditanya mana pola asuh yang paling benar, Ratih Ibrahim menegaskan tidak ada pola asuh yang sempurna. Setiap keluarga perlu menemukan keseimbangannya sendiri, tapi ada lima komitmen dasar yang bisa jadi pegangan.

Yang pertama adalah kasih, cinta tanpa syarat yang menjadi fondasi utama. Kemudian konsekuen, di mana orang tua harus selaras antara ucapan dan tindakan karena anak lebih mudah meniru perilaku dibanding sekadar mendengar kata-kata. Lalu ada konsistensi, yaitu aturan yang jelas dan tidak berubah-ubah agar anak merasa aman.

Selain itu, orang tua juga perlu kompak. Ayah dan ibu harus seirama, tidak saling bertentangan di depan anak. “Yang penting bukan siapa yang paling benar, tapi orang tua harus kompak. Harus ada pillow talk setiap malam,” tegas Ratih. Dan terakhir adalah kompromi. Anak terus berkembang, kebutuhannya juga berubah. Orang tua harus fleksibel, mau belajar hal baru, dan menyesuaikan diri dengan zaman.

Dengan lima komitmen ini, orang tua bisa menghadapi perbedaan pola asuh lintas generasi tanpa kehilangan nilai dasar yaitu cinta yang konsisten.

Gaya Parenting Akan Selalu Berevolusi

Dari generasi ke generasi, pola asuh anak terus berevolusi. Dari orang tua yang serba mengatur di tahun 90an, orang tua yang mulai memberi ruang di 2010an, hingga orang tua yang berusaha jadi sahabat anak di era 2020an. Masa boleh berganti, gaya parenting ikut berubah, tapi yang abadi adalah cinta ibu yang selalu jadi jangkar bagi anaknya.

Apapun gaya parenting yang kita pilih, yang terpenting anak merasa dicintai, didukung, dan ditemani. Karena pada akhirnya, anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna, tapi orang tua yang hadir, penuh cinta, dan mau belajar bersama mereka.

Follow Ibupedia Instagram