Keluarga

Resmi Disahkan, Ini 7 Poin Penting UU TPKS

Resmi Disahkan, Ini 7 Poin Penting UU TPKS

DPR RI resmi mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022 tertanggal 12 April 2022. 

Pengesahan UU TPKS dilakukan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dan dihadiri oleh sejumlah pejabat terkait, termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Sejumlah anggota LSM terkait bidang perlindungan perempuan dan anak juga hadir dalam peresmian UU TPKS.

Melalui pengesahan UU TPKS tersebut, maka Indonesia kini memiliki perangkat hukum yang secara khusus menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual, serta memberikan perlindungan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Sebelum resmi disahkan sebagai undang-undang, RUU TPKS sudah diusulkan sejak tahun 2016 silam. Namun demikian, butuh perjuangan, proses dan waktu yang panjang untuk bisa mengesahkan UU TPKS tersebut.

Penasaran apa saja poin penting yang terdapat dalam UU TPKS yang baru saja disahkan tersebut? Berikut penjelasan selengkapnya. Yuk, simak dengan baik dan jangan sampai ada informasi yang terlewatkan, ya!

Segala pelecehan seksual termasuk tindak kekerasan seksual

Di dalam UU TPKS tertulis bahwa segala pelecehan seksual termasuk tindak kekerasan seksual. Hal ini meliputi pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).

Lebih lanjut, kekerasan seksual yang termasuk di dalam UU TPKS juga mencakup persetubuhan terhadap anak, perbuatan melanggar kesusilaan, pornografi anak, pemaksaan pelacuran, perdagangan orang untuk seksual, kekerasan seksual di rumah tangga, pencucian uang yang asalnya dari TPKS, dan tindak pidana lain.

Perlindungan korban revenge porn

Perlu diketahui, revenge porn merupakan tindakan menyebarluaskan foto, video, atau konten seksual tanpa seizin korban. Umumnya, pelaku tindakan revenge porn memiliki motif balas dendam terhadap korban. Melalui UU TPKS pasal 6 diatur bahwa pelaku yang terbukti bersalah melakukan revenge porn terancam pidana penjara paling lama 9 tahun dan/atau denda mencapai Rp200 juta. Selain itu, pelaku juga bisa dikenai hukuman berupa rehabilitasi dari lembaga terkait.

Hukuman pidana tambahan bagi pelaku

Pelaku kekerasan seksual juga akan memperoleh hukuman pidana tambahan, seperti yang tertulis di dalam UU TPKS pasal 11. Hukuman pidana tambahan tersebut antara lain, pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, serta pembayaran restitusi. Adanya hukuman pidana tambahan bagi pelaku ini diharapkan bisa memberi efek jera secara maksimal. Hukuman ini juga diharapkan bisa mengurangi angka terjadinya kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Pidana dan denda bagi pelaku korporasi

Tindak kekerasan seksual pada dasarnya tidak hanya dilakukan oleh pelaku secara individual. Faktanya, beberapa kasus kekerasan seksual juga terjadi di lingkup korporasi. Oleh karena itu, di dalam pasal 13 UU TPKS ditulis bahwa korporasi yang melakukan kekerasan seksual terhadap korban akan dikenakan denda antara Rp200 juta sampai Rp2 miliar.

Lebih dari itu, pelaku korporasi juga terancam hukuman pidana tambahan berupa pembayaran restitusi, pencabutan izin, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi, serta pembubaran korporasi tersebut. Hal ini dilakukan agar korban kekerasan seksual mendapat keadilan hukum secara maksimal, serta mencegah berulangnya kasus serupa di tingkat korporasi.

Tidak ada opsi Restorative Justice

Berbeda dari kasus pidana lainnya, dengan adanya UU TPKS maka pelaku tidak memiliki opsi Restorative Justice. Opsi ini biasanya diberikan untuk menyelesaikan perkara pidana dengan mengadakan pertemuan antara pelaku, korban, dan masyarakat untuk mencari solusi bersama. Artinya, dengan tidak adanya opsi Restorative Justice maka setiap perkara kekerasan seksual akan diproses sampai pengadilan dan pelaku mendapat vonis hukuman.

Alat bukti sah untuk menentukan terdakwa

Untuk menentukan terdakwa dalam suatu perkara kejahatan biasanya diperlukan alat bukti yang lengkap serta keterangan saksi dan/atau korban. Namun, pada kasus kekerasan seksual UU TPKS mengatur bahwa satu alat bukti saja sudah cukup untuk menentukan terdakwa. Beberapa alat bukti yang sah dan bisa dipakai untuk membuktikan TPKS, antara lain keterangan saksi, keterangan para ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, serta informasi maupun dokumen elektronik.

Hak-hak yang ditujukan untuk korban

Bagi korban kekerasan seksual, UU TPKS sudah memberikan hak restitusi dan layanan pemulihan. Dalam hal ini restitusi yang dimaksud yaitu ganti rugi atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti rugi akibat penderitaan yang berhubungan langsung sebagai akibat dari tindak pidana, biaya penggantian perawatan medis dan/atau psikologi, serta ganti rugi atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.

Di sisi lain, dalam UU TPKS juga tertulis bahwa korban kekerasan seksual memiliki hak untuk pendampingan. Layanan ini akan diberikan oleh UPTD PPAD setempat maupun lembaga penyedia layanan terkait. Dengan begitu, korban akan menerima perlindungan secara maksimal dan memperoleh hak-haknya dengan baik.


Pengesahan UU TPKS mendapat sambutan baik dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Semoga dengan adanya undang-undang ini kasus kekerasan seksual lebih bisa diminimalisir. Bagaimana menurut pendapatmu?

Editor: Atalya