Keluarga

Stop! Normalisasi 'Namanya Juga Anak-anak' Berdampak Negatif

Stop! Normalisasi 'Namanya Juga Anak-anak' Berdampak Negatif

Ayah dan Ibu mungkin secara tidak sadar pernah mengatakan, 'Namanya juga anak-anak' saat berusaha memaklumi perilaku si kecil. 

Tidak terkecuali saat si kecil melakukan kesalahan atau bahkan merugikan orang lain. Nah, ternyata kalimat sederhana itu bisa memberi dampak negatif pada si kecil.

Seperti cuitan seorang pengguna Twitter yang sempat viral beberapa waktu lalu, lantaran gundam koleksi miliknya diambil oleh keponakannya. 

Lebih dari itu, lewat postingannya ia juga membagikan screenshot percakapan pesan singkat dengan orang tua keponakannya tersebut. Ternyata sang orang tua justru memintanya untuk memaklumi tindakan si keponakan dengan dalih 'Namanya juga anak-anak'.

Padahal upaya normalisasi kesalahan si kecil dengan 'Namanya juga anak-anak' bisa berdampak negatif lho! Mengapa demikian? 

Yuk, simak penjelasan selengkapnya berikut ini.

Anak bagai selembar kertas putih

Mendidik anak-anak memang bukan perkara mudah. Anak-anak masih lugu dan polos, sehingga menjadi seperti apa 'warna' mereka kelak tergantung pola asuh dan pengaruh lingkungan di sekitarnya. 

Artinya, ketika anak-anak berbuat salah dan belum menyadari bahwa itu adalah sebuah kesalahan, maka di sinilah orang tua berperan penting. Alih-alih memaklumi 'Namanya juga anak-anak', Ayah dan Ibu bisa memberitahu mereka apa yang benar dan salah, sehingga anak-anak bisa mengerti nilai yang benar dari suatu perbuatan.

Dikutip dari hasil wawancara seorang pakar psikolog anak sekaligus penulis buku berjudul Raising Kids in the 21st Century, Sharon K. Hall, Ph.D., bersama Parents, anak-anak tahu perbedaan antara yang benar dan yang salah sebelum usia 2 tahun. 

Sharon juga mengatakan bahwa sejak usia 18 bulan, anak-anak bisa mulai diajarkan nilai-nilai terkait benar dan salah. Jadi, tidak lagi ada alasan bagi orang tua mengatakan 'Namanya juga anak-anak', sebab sejak dini anak sudah bisa diajarkan mana yang salah dan mana yang benar.

Anak akan beretika buruk

Menormalisasi kesalahan anak dengan kalimat 'Namanya juga anak-anak' justru akan membuat anak memiliki etika yang buruk. Pasalnya, anak akan merasa semua yang dilakukan atau diucapkan selalu benar. 

Hal ini tentu berdampak ketika ia mulai terjun ke lingkungan sosial. Anak akan terlihat liar dan tidak tahu sopan santun.

Pada satu kasus, anak bisa masuk ke rumah orang lain tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Bisa juga terjadi saat bertamu, anak justru berkeliaran kesana kemari di dalam rumah orang. Tentu saja, ini sesuatu yang salah. 

Bukan karena masih anak-anak sehingga kesalahan yang dilakukan adalah wajar, tetapi justru karena masih anak-anak mereka butuh diarahkan agar bisa memiliki etika yang baik.

Anak tidak tahu adanya ranah privasi

Mengajarkan ranah privasi termasuk dalam pendidikan karakter yang harus diberikan pada si kecil sejak dini. Mengenal konsep privasi orang lain akan menjadikan anak-anak lebih menghargai orang lain. 

Dengan begitu, anak-anak tahu batasan-batasan dalam berperilaku saat bersosialisasi dengan teman-teman atau lingkungan di sekitarnya.

Sebaliknya, jika Ayah dan Ibu selalu mengatakan 'Namanya juga anak-anak' saat si kecil membuka kotak mainan milik temannya, maka yang diterima oleh anak adalah membuka barang milik orang lain bukanlah sebuah kesalahan. 

Akhirnya, ketika tumbuh dewasa nanti, ia bisa saja memakai, meminjam, atau bahkan mengambil barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Meski tidak bermaksud untuk mencuri, bukankah mengambil sesuatu yang bukan milik sendiri tanpa izin termasuk dalam tindakan pencurian?

Anak sulit berempati dengan sekitarnya

Anak-anak yang tidak pernah diajarkan mana yang benar, mana yang salah, akan sulit berempati dengan orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Mereka akan bertindak semau gue, tanpa berpikir bahwa tindakannya mungkin menyakiti atau merugikan orang lain. 

Terlebih jika Ayah dan Ibu selalu melakukan pembelaan di hadapan si kecil secara langsung dengan dalih 'Namanya juga anak-anak'. Hal ini justru akan semakin memperburuk suasana.

Dikutip dari Psychology Today, empati bukan secara otomatis terbentuk dalam diri anak-anak. Meskipun pada dasarnya manusia terlahir dengan hati nurani yang memungkinkan manusia memiliki empati terhadap orang lain dan lingkungan di sekitarnya. 

Empati membutuhkan proses yang panjang, sejak anak berusia dini hingga tumbuh dewasa. Menumbuhkan empati perlu peran aktif orang tua dalam mendidik, melatih, dan memberikan contoh langsung pada anak

Apa yang harus dilakukan orang tua?

Nah, daripada menormalisasi 'Namanya juga anak-anak', ada beberapa hal yang bisa dilakukan Ayah dan Ibu dalam mengajarkan si kecil perihal mana yang benar dan mana yang salah. Antara lain;

1. Tetapkan aturan yang jelas

Anak-anak yang percaya bahwa mereka dapat melakukan apa pun yang mereka sukai, dan mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, cenderung menjadi orang-orang yang bertindak dengan merengek atau mengamuk ketika tuntutan mereka tidak dipenuhi. 

Sebaliknya, dengan menetapkan aturan maka anak-anak memahami bahwa ada batasan yang jelas. Selain itu, anak-anak akan belajar bagaimana mengatur diri sendiri dan mematuhi aturan yang berlaku.

2. Bantu anak melatih kesabaran

Pada dasarnya tidak ada yang suka menunggu, terlebih anak-anak. Itulah mengapa sangat penting bagi orang tua untuk mulai mengajarkan kesabaran di usia balita. 

Tujuannya agar anak-anak bisa mengembangkan toleransi, sehingga mereka tidak akan berperilaku buruk atau bertindak impulsif ketika harus menunggu dalam kehidupan sosialnya.

3. Berikan contoh langsung

Terakhir, berikan contoh secara nyata perilaku yang baik. Anak-anak adalah peniru ulung, sehingga segala sesuatu yang dilakukan orang tuanya akan dengan mudah mereka tirukan. 

Jadi, jangan harap anak-anak akan tumbuh dengan kepribadian yang baik jika sebagai orang tua, kamu belum memberikan contoh yang baik pula.

Tingkah perilaku anak-anak memang ada-ada saja, ya. Akan tetapi, sebagai orang tua bukan berarti harus diam saja menerima perilaku tersebut dengan dalih 'Namanya juga anak-anak'.

Justru karena masih anak-anak mereka harus mulai ditanamkan nilai-nilai yang benar. Diberikan arahan dan contoh yang baik dari kedua orang tuanya.

Editor: Dwi Ratih