Keluarga

Taat Pada Suami, Bermanfaat atau Merugikan?

Taat Pada Suami, Bermanfaat atau Merugikan?

Setiap pasangan pasti ingin memiliki kehidupan pernikahan yang harmonis dan awet. Untuk mewujudkan hal ini, suami-istri perlu menunaikan kewajiban masing-masing dan memenuhi hak pasangannya.

Namun, di balik hak dan kewajiban yang sering kita dengar dalam masyarakat Indonesia, tidak semua harus kita ikuti mentah-mentah tanpa mempertimbangkan kembali dampaknya untuk suami maupun istri.

Salah satunya adalah konsep taat yang wajib dilakukan istri kepada suami. Tahukah kamu bahwa salah kaprah konsep istri harus taat pada suami ini bisa berakibat fatal?

Bukan cuma bisa melemahkan hak-hak istri dalam pernikahan, para perempuan juga rentan mendapat kekerasan fisik, verbal, dan seksual dari pasangannya.

Saya sempat mengobrol dengan ulama perempuan Nur Rofiah untuk membahas lebih dalam tentang salah kaprah kewajiban taat pada suami.

Mengapa Istri Dianggap Harus Taat pada Suami?

Konsep kewajiban taat perempuan terhadap laki-laki berangkat dari asumsi superioritas laki-laki atas perempuan. Artinya, laki-laki merasa lebih unggul sebagai manusia dibandingkan perempuan.

Kondisi ini tidak semata-mata muncul ketika laki-laki dan perempuan lahir ke dunia, melainkan merupakan produk kebudayaan dan struktur sosial yang diwariskan turun-temurun.

Perempuan sering dianggap “kurang akal dan kurang agama” atau “akal dan agama perempuan bernilai separuh dari laki-laki”, sehingga perlu bergantung pada laki-laki untuk dibimbing dalam berbagai aspek kehidupannya.

Sebagai ganti kekurangan perempuan yang menyebabkan kebergantungannya pada laki-laki, maka perempuan diharuskan taat mutlak kepada laki-laki. Aturan untuk jadi mengekang hak-hak perempuan ini sudah terjadi berabad-abad, bahkan sebelum agama hadir.

Kultur ini biasa disebut patriarki, budaya yang dibangun dari kepercayaan bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki. Kepercayaan inilah yang juga menjadi landasan dalam hal kewajiban istri untuk taat pada suami.

Padahal, menurut Faqihuddin Abdul Qadir dalam bukunya Qiraah Mubadalah (2019), “kekurangan” ini terjadi akibat struktur sosial yang tidak memberikan kesempatan pada perempuan untuk belajar dan berlatih berpikir.

Kekurangan yang disebutkan bukanlah berdasarkan jenis kelamin, melainkan terbatasnya kesempatan yang dimiliki.

Sebagaimana laki-laki juga bisa kurang kemampuannya dalam berpikir apabila tidak memiliki kesempatan untuk belajar dan berlatih.

Sayangnya, produk budaya ini sering dibenturkan dengan dalih agama yang tidak tepat konteks atau penggunaan tafsir patriarkis atas kitab-kitab keagamaan. Misalnya, tafsir-tafsir yang melarang perempuan mendapat hak setara dengan laki-laki, terutama dalam urusan kepemimpinan, kesehatan, pendidikan, bahkan dalam keluarga.

Salah satu bentuk lainnya adalah salah kaprah pemahaman janji surga bagi istri yang menaati suami dan balasan sebaliknya bila istri tidak taat pada suami.

Pada akhirnya, keyakinan ini menumbuhkan ketakutan dan mendorong ketaatan mutlak istri terhadap suami.

Dampak Penyalahgunaan Ketaatan Mutlak Istri pada Suami

Perlunya memikirkan kembali norma-norma yang diwariskan masyarakat bukan tanpa alasan.

Pasalnya, ketaatan mutlak ini menyebabkan posisi istri rentan mendapat kekerasan dan mengakibatkan dampak yang merugikan seperti berikut ini.

1. Pemaksaan hubungan seksual

Banyak yang menyalahpahami pernikahan hanya sebatas melegalkan hubungan seksual, sehingga menganggap pasangan sebagai properti dan objek seksual. Hal ini juga produk budaya patriarki yang dibangun atas hasrat ingin mendominasi dan berkuasa.

Dalam kehidupan masyarakat yang masih memosisikan perempuan sebagai hak milik suami, tak jarang istri diwajibkan taat pada suami dengan selalu menerima ajakan suami untuk berhubungan intim.

Padahal, bukan tidak mungkin terjadi pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan apabila istri menolak. Hal ini dikenal dengan istilah marital rape—yang sempat jadi kontroversi karena banyak orang menganggap perkosaan tidak mungkin terjadi dalam pernikahan.

Bahkan, tidak sedikit pemberitaan di media yang menunjukkan adanya pemaksaan hubungan seksual dan risiko kekerasan seksual yang dialami istri karena menolak ajakan hubungan intim suami.

Namun, sebagian masyarakat masih menganggap wajar pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan karena istri dianggap hak milik suami setelah hubungan pernikahan sah secara hukum dan agama.

Padahal hal ini tidak berbeda dengan pemerkosaan karena hubungan seksual yang terjadi tidak disadarkan atas persetujuan (konsensual/consent).

Qurrota A’yuni dalam Apakah ada Marital Rape dalam Islam?, menjelaskan kerancuan itu dengan baik. Menurutnya, Islam sendiri melarang pemaksaan hubungan seksual, apalagi yang dilakukan tanpa persetujuan (consent) bersama.

“Secara teknis, tidak ada dalil yang menjelaskan secara spesifik terkait marital rape baik dari Al-Qur’an maupun hadis, yang ada hanya sebatas anjuran untuk berlaku yang baik antara suami dan istriSayangnya, hal ini seringkali tidak dipahami secara menyeluruh, karena hanya meninjau dari satu dalil yang lebih mengedepankan kepentingan suami daripada istri, sehingga rentan terjadi tafsir keagamaan yang bias (kepentingan) laki-laki,” ungkap A’yuni, seperti dikutip dari Islami.co.

Hubungan intim tanpa konsensual dapat mengakibatkan hal-hal berikut:

  • Istri mengalami trauma yang sulit dideteksi dan dipulihkan,
  • relasi yang tidak sehat antarpasangan,
  • hubungan intim terasa sakit dan tak nyaman, bahkan meninggalkan trauma,
  • pasangan merasa tidak dicintai dan dihargai, serta
  • menyalahi perintah agama.

2. Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi

Tidak berhenti sampai persoalan pemaksaan hubungan seksual, istri yang dipaksa taat pada suami juga dapat berdampak pada pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi.

Masih banyak masyarakat yang membebankan penggunaan alat kontrasepsi pada perempuan karena menganggap bahwa kerja reproduksi istri, misalnya kehamilan, hanya urusan istri.

Pada kenyataannya, pilihan menikah dan membentuk keluarga harusnya keputusan dan tanggung jawab bersama. Logika kepemilikan tubuh perempuan yang diberikan pada suami, seringkali justru mengabaikan kepentingan dan kebutuhan tubuh perempuan sendiri.

Terlebih, masih jamak diyakini masyarakat bahwa hubungan seksual sebatas pemenuhan kebutuhan biologis suami, sehingga perempuan tidak dianggap memiliki kebutuhan seksual yang sama. Ini terbukti dari aturan-aturan yang masih bias kebutuhan dan kesehatan perempuan, semisal penggunaan alat kontrasepsi.

Sering kali produk-produk yang dikeluarkan industri farmasi dan diatur lewat kebijakan pemerintah masih menumpukkan penggunaan kontrasepsi pada perempuan. Ini tak terlepas dari posisi-posisi pemimpin dan pembuatan kebijakan masih diisi laki-laki, yang tentu saja tidak paham kebutuhan tubuh perempuan (bias laki-laki).

Alhasil, banyak suami yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi karena alasan “tidak enak” saat berhubungan intim dan sebagai istri yang taat, harus mengutamakan kebutuhan suaminya.

Padahal, penggunaan alat kontrasepsi pada perempuan sering kali tidak hanya “tidak enak”, tetapi juga berisiko pada kesehatan reproduksi perempuan seperti berikut:

  • reaksi alergi,
  • perubahan hormon,
  • siklus menstruasi tidak teratur, dan
  • perdarahan.

3. Domestifikasi

Dalam tatanan masyarakat patriarkis, kita sering menemukan fenomena domestifikasi perempuan, tak terkecuali istri dalam pernikahan.

Domestifikasi sendiri adalah kondisi di mana perempuan diarahkan maupun ditempatkan hanya pada ruang-ruang domestik seperti menjadi ibu rumah tangga atau merawat anak.

Ditambah lagi dengan doktrin bahwa kewajiban utama istri adalah merawat keluarga dan mengerjakan pekerjaan rumah.

Tak hanya itu, sering kita dengar anggapan bahwa istri yang bekerja adalah cerminan ketidakmampuan suaminya dalam menafkahi keluarga.

Sehingga untuk menjaga wibawa dan harga diri sebagai suami, mendomestifikasi istri adalah jalan keluarnya. Dalam hal ini, istri yang dianggap taat pada suami harus mengikuti perintah suami.

Mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik memang bukanlah hal yang salah. Namun, domestifikasi ini dapat menyebabkan pembatasan ruang gerak hingga akses finansial terhadap istri.

Pembatasan ruang gerak dan akses terhadap finansial ini dapat meliputi beberapa dampak berikut:

  • kebergantungan istri pada suami terutama dalam aspek finansial,
  • ketimpangan gender dalam ranah publik,
  • menitikberatkan tanggung jawab nafkah hanya pada suami,
  • penurunan kualitas masyarakat karena perempuan tidak mendapatkan akses (dibatasi) untuk belajar atau berlatih, dan
  • meningkatnya peluang diskriminasi dan KDRT.

4. Beban ganda

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, beban ganda adalah beban pekerjaan yang diterima oleh suatu jenis kelamin lebih banyak daripada jenis kelamin lainnya.

Dalam masyarakat patriarkis, beban ganda ini biasanya dilimpahkan kepada perempuan, terlebih ketika perempuan menyandang status istri.

Sebagai contoh, seorang istri mungkin diperbolehkan bekerja di luar rumah atau membangun bisnis di rumah untuk membantu perekonomian keluarga.

Namun, sebagai istri yang taat pada suami, istri juga tetap harus mengutamakan mengurus suami dan anak-anak meskipun sambil bekerja.

Sementara tanggung jawab suami hanya mencari nafkah, sehingga merasa tidak perlu terlibat dalam menyelesaikan pekerjaan domestik maupun pengasuhan anak.

Kondisi ini menyebabkan istri sangat rentan mengalami beban ganda yang memiliki dampak berikut:

  • bekerja dengan kualitas prestasi kerja rendah,
  • meningkatkan risiko masalah kesehatan fisik seperti kelelahan dan kekurangan gizi,
  • mengalami masalah kesehatan mental seperti stres, burnout, atau depresi,
  • kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri karena keterbatasan waktu, dan
  • menerima upah yang tidak layak karena kualitas pekerjaan yang rendah.

Cara Membangun Keluarga yang Adil

Menjalani pernikahan ternyata tidak cukup hanya dengan mengetahui hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan tradisi dalam masyarakat.

Pasalnya, salah kaprah kewajiban istri taat pada suami ini telah terbukti membawa dampak merugikan pada istri maupun suami.

Oleh karena itu, kita perlu merenungkan dan mengevaluasi bersama apakah nilai-nilai dalam pernikahan yang kita yakini mampu membawa keadilan dan kenyamanan bagi setiap anggota keluarga.

Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil., Uzm, istri maupun suami wajib taat pada nilai kebaikan dan komitmen bersama.

Sehingga, tidak ada ketaatan mutlak kepada sesama manusia, baik itu istri kepada suami maupun sebaliknya, karena dapat menyebabkan kesewenangan kekuasaan dalam kehidupan pernikahan.

Untuk mewujudkan pernikahan yang harmonis dan mengedepankan keadilan bagi semua pihak, setiap pasangan perlu memaknai kembali pondasi pernikahan sebagai dasar dalam membangun rumah tangga yang aman untuk orang-orang yang menghuninya.

Berikut ini pondasi pernikahan yang penting untuk dipahami setiap pasangan menurut Dr. Nur Rofiah Bil., Uzm:

1. Komitmen dan ikatan

Laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk menikah berarti telah berikrar pada ikatan yang kokoh untuk hidup bersama mewujudkan ketentraman. Ketentraman tersebut tentu menjadi hak keduanya, sehingga suami-istri harus berkomitmen untuk mencapai dan menjaganya bersama.

2. Relasi berpasangan

Hubungan suami-istri adalah relasi pasangan, bukan relasi pemilik dengan properti apalagi majikan dengan budak. Untuk itu, kedudukan suami dan istri dalam pernikahan adalah sama dan keduanya harus saling menghargai, melindungi, menyempurnakan, dan memuliakan satu sama lain.

3. Berperilaku baik

Sebagai manusia, berperilaku baik adalah hal mendasar yang harus dimiliki, termasuk berperilaku baik pada pasangan dalam keseharian hingga soal hubungan seksual. Kebaikan harus dihadirkan sekaligus dirasakan oleh kedua pihak, sehingga perilaku memaksakan kehendak dan kesewenangan tidak bisa dibenarkan.

4. Bermusyawarah

Pernikahan merupakan ikatan kokoh yang dibangun bersama, sehingga segala sesuatu, terutama yang terkait dengan pasangan dan keluarga, harus melibatkan pandangan pasangan. Sehingga tak ada otoritas tunggal apalagi pemaksaan kehendak yang dikemas dalam konsep ketaatan mutlak istri kepada suami.

5. Kerelaan dan penerimaan

Pondasi ini akan menciptakan pernikahan yang menyejukkan hati bagi keduanya. Namun, tidak hanya istri yang harus mencari atau mengusahakan kerelaan suami, tapi juga berlaku sebaliknya. Sehingga, ketaatan mutlak istri terhadap suami tidak berlaku karena keduanya sama-sama harus berperan dalam mewujudkan pernikahan yang menentramkan.

Memulai Komunikasi dengan Pasangan

Salah satu masalah mendasar dalam pernikahan adalah menjalin komunikasi. Terkadang, pengetahuan dan keberanian yang kita miliki tidak didukung dengan cara berkomunikasi yang efektif.

Terlebih bila selama ini kita berada pada posisi yang lebih banyak mengalah, memendam perasaan, dan membiarkan masalah berlalu tanpa solusi.

Bahkan dalam beberapa kasus, ketaatan mutlak yang sudah berdampak pada terjadinya KDRT nyaris memblokir komunikasi antara kedua pihak. Dalam hal ini, kamu mungkin akan memerlukan bantuan mediasi untuk mencegah dampak lain yang akan memperparah kondisi.

Namun, jika komunikasi masih dapat terjalin baik, coba yuk bicarakan dengan pasangan soal masalah dan perubahan apa yang dibutuhkan.

Terutama dalam mengubah tradisi ketaatan yang mungkin selama ini kamu lakukan tanpa sadar dan terasa menyulitkan.

Berikut ini beberapa cara yang bisa kamu coba untuk memulai komunikasi dengan pasangan:

1. Cari waktu yang tepat untuk ngobrol: Pilih waktu-waktu tenang saat kamu dan pasangan sedang rileks. Misalnya, saat pillow talk atau membuat janji waktu khusus untuk ngobrol.

2. Mendengarkan untuk memahami: Sebelum buru-buru membalas argumentasi pasangan, coba dengarkan hingga tuntas dan pahami maksud dari sudut pandang pasangan.

3. Hindari silent treatment: Tidak merespons pasangan dan mengabaikan masalah tidak akan menyelesaikan apa pun. Bila membutuhkan jeda untuk berpikir, sampaikan pada pasangan dengan jelas, berapa lama waktu yang dibutuhkan, dan berkomitmen untuk kembali membahas.

4. Tulis surat untuk pasangan: Jika kesulitan dalam memulai obrolan, cobalah untuk bertukar surat dengan pasangan yang isinya membahas hal apa saja yang kamu pikirkan, rasakan, dan inginkan.

5. Berkonsultasi dengan ahlinya: Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan konselor pernikahan maupun mengikuti kajian pernikahan supaya dapat bersama-sama merenungkan kembali dan mengevaluasi apa saja yang perlu diupayakan untuk keharmonisan pernikahan dan kenyamanan bersama.

Nah, setelah mengetahui hal-hal di atas, yuk ajak pasangan kamu untuk melakukan refleksi bersama!


Penulis: Dwi Ratih Ramadhany


Catatan: Artikel ini merupakan hasil beasiswa peliputan “Perempuan Berdaya di Media” yang diadakan oleh Project Multatuli dan Yayasan Hivos dalam kemitraan program We Lead yang didukung oleh Global Affairs Canada.


Referensi:

Anak, K. (2022). Kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Diakses pada 21 August 2022, from https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/view/23

Kodir, Faqihuddin Abdul. (2019). Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam. Yogyakarta: IRCiSoD-Divapress.

Wawancara dengan Dr. Nur Rofiah, Bil., Uzm pada 15 Agustus 2022.

Sarwat, Ahmad. (2019). Istri Bukan Pembantu: Apa Kata Islam tentang Perempuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Pilcher, J., & Whelehan, I. 2004. 50 Key Concepts in Gender Studies. Great Britain: SAGE Publications Inc.