Kontroversi bahwa bahan pengawet pada beberapa jenis vaksin dapat menyebabkan autis telah terjadi sekian lama, banyak orangtua yang merasa bingung dan khawatir tentang kesehatan anak mereka.
Satu pihak mengatakan thimerosal, bahan pengawet yang biasa digunakan pada vaksin, adalah racun bagi sistem saraf pusat dan bisa mengakibatkan autisme pada anak di Amerika dan seluruh dunia. Tapi kebanyakan ilmuwan mengatakan tidak ada bukti ilmiah yang bisa dipercaya yang menyatakan vaksinasi menyebabkan autisme.
Selama 15 tahun terakhir, sejumlah institusi kedokteran telah meninjau bukti dari Amerika dan beberapa negara lain. Kesimpulannya, tidak ada hubungan antara autisme dan penggunaan thimerosal.
Terlebih lagi, bahan pengawet ini telah ditiadakan dari vaksin anak di Amerika. Tapi beberapa aktifis kesehatan mempertanyakan keabsahan hal ini dan menduga pemerintah Amerika berkonspirasi dengan pabrik pembuat vaksin untuk menutupi kebenaran tentang thimerosal dan autisme.
Thimerosal telah digunakan selama lebih dari 70 tahun sebagai bahan pengawet untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur pada vaksin. Banyak jenis vaksin yang disimpan lebih efisien dalam botol multi dosis ukuran besar sedangkan penggunaanya dalam dosis individual mengakibatkan vaksin mudah terkontaminasi setiap kali bagian tutup karet ditusukkan oleh jarum suntik. Beberapa insiden vaksin yang terkontaminasi di tahun 1920-an membuat pabrik produsen vaksin mulai menambahkan bahan pengawet pada semua vaksin dalam botol multi dosis.
Thimerosal dulunya merupakan bahan pengawet yang paling banyak digunakan. Sekarang, kebanyakan vaksin di Amerika tidak lagi mengandung thimerosal. Kini vaksin disimpan dalam botol dosis individual atau dalam bentuk suntikan yang sudah terisi. Sistem pengemasan ini memang memakan biaya yang lebih mahal.
Thimerosal mengandung gabungan merkuri yang dikenal dengan ethyl mercury. Ini tidak sama dengan methyl mercury, yang ditemukan pada beberapa jenis ikan dalam jumlah besar. Methyl mercury terakumulasi pada jaringan tubuh manusia.
Pada tingkat tertentu, methyl mercury dapat merusak perkembangan kognitif pada anak kecil. Itulah sebabnya badan pengawas obat dan makanan menyarankan anak tidak mengkonsumsi ikan jenis tertentu.
Dari penelitian tentang vaksin, para ilmuwan menyimpulkan bahwa ethyl mercury tidak memiliki efek yang sama dengan methyl mercury. Ditambah lagi, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa tubuh melenyapkan ethyl mercury lebih cepat daripada methyl mercury.
Jadi ethyl mercury tidak terakumulasi pada jaringan tubuh manusia. Berdasarkan penelitian lain, satu-satunya efek samping pemakaian thimerosal pada vaksin adalah reaksi minor berupa merah dan bengkak di area injeksi pada beberapa pasien.
Thimerosal Tidak Menyebabkan Autisme
Sebuah studi yang diterbitkan di bulan Agustus 2003 dan dirilis oleh American Journal of Preventative Medicine, melihat tingkat autisme di Denmark dan Swedia, dimana penggunaan thimerosal pada vaksin telah dihentikan di tahun 1992. Tingkat autisme terus meningkat dari tahun 1987 hingga 1999, meski jumlah kasus ini seharusnya menurun setelah tidak ada lagi penggunaan thimerosal pada vaksin.
Para ahli yang melihat data secara cermat menanggapi bahwa peningkatan angka autisme tidak berhubungan dengan peningkatan penggunaan thimerosal. Di inggris, misalnya, kasus autisme semakin meningkat dramatis sejak tahun 1980-an. Tapi hanya ada satu vaksin (DTP) yang tercatat di Inggris mengandung thimerosal. Semua vaksin lain yang diberikan di sana sudah bebas dari thimerosal.
Di tahun 2003, peneliti dari U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memeriksa data dari Vaccine Safety Datalink, sebuah basis data untuk pasien penerima vaksin, termasuk data tentang reaksi merugikan dari vaksin. Peneliti menganalisa lebih dari 120.000 anak dan mendapati tidak ada perbedaan pada tingkat autisme antara anak yang terekspos thimerosal pada level yang berbeda.
Sebuah penelitian di Italia yang diterbitkan pada bulan Februari tahun 2009 dan dimasukkan pada jurnal Pediatrics, membandingkan anak yang menerima vaksin DTaP, yang mengandung thimerosal dengan anak penerima vaksin DTaP tanpa bahan pengawet ini.
Di usia 10 hingga 12 tahun (10 tahun setelah dilakukan vaksinasi), hasil penelitian menunjukkan tidak ada perkembangan yang membahayakan pada anak yang menerima vaksin mengandung thimerosal.
Sebuah penelitian lain yang diterbitkan di bulan Oktober 2010 pada jurnal Pediatrics menyimpulkan bahwa eksposur pada janin dan bayi terhadap thimerosal tidak meningkatkan resiko autisme. Peneliti membandingkan 256 anak penderita autis dengan 752 anak tanpa autis, dan mendapati anak penderita autis menerima jumlah vaksin yang mengandung thimerosal yang tidak lebih besar daripada anak tanpa autis.
Bila anak Anda menerima vaksin setelah tahun 2001, tidak mungkin ia menerima thimerosal dalam jumlah yang banyak karena di tahun 1999 pabrik pembuat vaksin telah diminta untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan thimerosal pada vaksin.
Beberapa dokter atau rumah sakit masih meneruskan penggunaan stok vaksin yang masih ada yang mengandung thimerosal, tapi kebanyakan ahli meyakini penggunaannya hanya sampai tahun 2001 atau 2002. Bunda bisa menanyakan hal ini pada dokter Anda bila ingin mengetahui informasi lebih banyak.
Thimerosal masih digunakan sebagai bahan pengawet di beberapa obat suntik flu untuk dewasa. Formula obat bebas thimerosal memang tersedia untuk bayi, anak, dan wanita hamil, tapi persediaannya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan.
Para dokter sering kali kehabisan persediaan obat yang bebas thimerosal. Thimerosal juga masih digunakan pada beberapa vaksin di negara-negara lain, terutama di banyak negara berkembang.
Para ahli kedokteran menyetujui bahwa keuntungan memvaksinasi anak Anda jauh lebih banyak dari resikonya. Vaksinasi dinilai baik tidak hanya bagi anak Anda tapi juga bagi populasi secara keseluruhan. Meski ada persentase tertentu anak yang memiliki reaksi merugikan terhadap vaksin, tapi insiden seperti ini jarang sekali terjadi.
Julia McMillan, seorang profesor di Johns Hopkins University di Baltimore, mengingatkan para orangtua tentang jumlah penyakit serius yang bisa dibasmi oleh vaksinasi. Banyak orangtua yang tidak mengetahui banyaknya korban dari beberapa penyakit ini sebelum vaksin dikembangkan.
Misalnya, polio sudah tidak lagi muncul di Amerika selama puluhan tahun. Campak, yang masih menjadi penyebab kematian anak di Afrika setiap hari, perlahan hilang dari Amerika. Jika semakin banyak orang yang memutuskan untuk tidak divaksinasi, penyakit seperti ini akan dengan mudah menyebar.
Ketika tingkat vaksin campak menurun di Amerika pada akhir tahun 1980-an, misalnya, lebih dari 100.000 orang menderita penyakit ini dan 120 diantaranya meninggal dunia. Di tahun 1998, saat imunisasi campak mulai digalakkan, hanya sebanyak 89 orang mengalami sakit campak dan tidak ada yang mati karenanya.
Penyakit lain seperti polio dan dipfteri, meski Anda dan keluarga tidak bepergian ke luar negeri, banyak orang yang melakukan perjalanan dan mereka tidak menyadari telah membawa penyakit ini bersama mereka. Semakin banyak orang di komunitas Anda yang tidak divaksinasi, akan semakin cepat penyakit semacam ini tersebar ke populasi secara keseluruhan.
(Ismawati)