Cegah Kanker Leher Rahim Sejak Dini dengan Vaksin HPV di Kelas 5 SD
Sebagai ibu, kita biasanya merasa sudah cukup waspada menjaga kesehatan anak. Kita rutin mengingatkan mereka jangan duduk di lantai dingin, jangan minum es kebanyakan, jangan lupa cuci tangan sebelum makan, sampai memastikan bekal mereka habis di sekolah. Kita bahkan hafal jadwal mereka lebih baik daripada jadwal kita sendiri.
Tapi ada satu hal yang tidak terlihat dan sering luput dari perhatian, sesuatu yang diam-diam mengancam masa depan kesehatan anak perempuan Indonesia, yaitu infeksi Human Papillomavirus, atau HPV.
HPV mungkin terdengar seperti istilah medis yang jauh sekali dari keseharian ibu-ibu. Padahal, realitanya sangat dekat. Data Kementerian Kesehatan tahun 2022 mencatat hampir 40.00 perempuan Indonesia didiagnosis kanker leher rahim, dan lebih dari 20.000 meninggal akibat penyakit ini dalam satu tahun. Jika dibagi rata, itu artinya sekitar 56 perempuan meninggal setiap hari. Bukan angka kecil, dan yang lebih menyesakkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar kasus kanker leher rahim disebabkan oleh HPV, virus yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi.
Dalam Kelas Jurnalis 2025 yang diselenggarakan oleh MSD Indonesia bersama Kementerian Kesehatan RI dengan tema “Lawan Misinformasi Kanker Leher Rahim di Era AI”, para pakar mencoba mengembalikan pembicaraan tentang HPV ke tempatnya sebagai isu kesehatan keluarga, bukan isu yang harus ditakuti, apalagi disalahpahami.
HPV: Ancaman yang Tidak Terasa, Tapi Nyata

HPV bukan tipe virus yang langsung menimbulkan gejala. Tidak ada demam, tidak ada batuk, tidak ada rasa tidak enak badan seperti saat anak kita terserang flu. Justru itulah masalahnya.
Prof. DR. Dr. Soedjatmiko, Sp.A (K), Msi, dokter spesialis anak yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam imunisasi, menjelaskan bahwa HPV bisa menetap di leher rahim hingga dua dekade lamanya tanpa keluhan apa pun. Orangnya merasa sehat, bisa menjalani hidup seperti biasa, bahkan bisa menikah dan punya anak tanpa pernah tahu bahwa sel-sel abnormal di tubuhnya sedang berkembang pelan-pelan menjadi kanker.
Ketika gejala akhirnya muncul, biasanya berupa perdarahan tidak normal atau nyeri di bagian panggul, sering kali penyakitnya sudah berada di stadium lanjut. Pada titik itu, pengobatannya menjadi panjang dan berat, mulai dari radiasi, operasi, rambut rontok, badan melemah, dan proses pemulihan yang tidak sebentar. Prof Miko bahkan mengajak kita membayangkan, “Kalau yang terkena itu ibu kita, tante kita, atau anak perempuan kita sendiri, apa kita bisa diam saja?”
Data di Indonesia menunjukkan ribuan perempuan meninggal setiap tahun akibat kanker leher rahim. Dan sebagian besar kasus ini disebabkan oleh infeksi HPV yang sebenarnya bisa dicegah lebih awal. Inilah alasan mengapa HPV menjadi musuh yang harus dicegah sebelum sempat masuk ke tubuh.
Penularan HPV Bisa Terjadi di Tempat Publik

Banyak ibu beranggapan HPV hanya berkaitan dengan perilaku seksual. Padahal penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa virus ini dapat ditemukan di tempat-tempat umum yang sering kita datangi bersama anak.
Di India, HPV ditemukan pada peralatan pemeriksaan medis dan juga pada proses kelahiran. Di Tanzania, peneliti menemukan virus pada tangan, ujung jari, mulut, dan lantai kamar mandi umum. Penelitian di Romania menunjukkan HPV berada di lingkungan air dan bahkan pada bagian tubuh ibu hamil seperti plasenta.
Temuan yang mungkin paling mengejutkan adalah studi besar yang dilakukan di Tiongkok pada 2025. Dari ratusan lokasi publik yang diuji, hampir seperempatnya menunjukkan keberadaan HPV. Virus ditemukan di toilet jongkok, lantai kamar mandi umum, wastafel, pegangan pintu, hingga fasilitas pelayanan kesehatan. Virus itu bahkan bisa bertahan selama 7 jam di permukaan yang sering disentuh banyak orang.
Jika kita pikirkan baik-baik, ini sangat masuk akal dan sangat dekat dengan rutinitas anak. Anak-anak sering memegang banyak permukaan sebelum mencuci tangan. Mereka masuk kamar mandi sekolah, menggenggam pegangan pintu, duduk di bangku umum, atau memegang keran wastafel sambil terburu-buru. Hal-hal kecil seperti ini, yang rasanya sepele, ternyata bisa membuka peluang masuknya virus.
Karena itu menjaga kebersihan penting, tetapi tidak mungkin jadi satu-satunya cara perlindungan. Seperti kata Prof Miko, “Kebersihan tidak bisa mematikan virus. Makanan tidak bisa mematikan virus. Yang bisa mematikan virus sampai hari ini adalah vaksin.”
Kenapa Vaksin HPV Diberikan Saat Kelas 5 SD?

Anak perempuan berusia 11 tahun mungkin masih tidur dengan boneka favorit, masih suka takut gelap, dan masih meminta kita menemaninya saat ke kamar mandi malam-malam. Usia ini memang terasa “terlalu kecil” untuk hal-hal yang berhubungan dengan virus yang terdengar menakutkan. Tapi justru pada usia inilah tubuh mereka paling ideal untuk membentuk antibodi.
Prof Miko menjelaskan bahwa ketika HPV sudah masuk ke tubuh, vaksin tidak lagi dapat bekerja sebagai pencegahan primer. Itulah sebabnya imunisasi diberikan sebelum risiko paparan semakin besar, yaitu sebelum masa remaja. Penelitian juga menunjukkan bahwa infeksi HPV sudah bisa ditemukan pada kelompok usia lima belas hingga sembilan belas tahun, bahkan pada kasus tertentu sebelum usia itu.
Karena itu, pemerintah menempatkan imunisasi HPV untuk anak kelas 5 SD sebagai prioritas nasional. Kebijakan ini sudah berjalan bertahap sejak 2016, melebar pada 2022, menjadi nasional penuh pada 2023, dan mulai 2025 diberikan dalam satu dosis sesuai rekomendasi WHO yang menyatakan satu dosis cukup efektif memberikan perlindungan jangka panjang.
Kenapa Vaksin HPV Sekarang Satu Dosis Saja? Apakah Aman?

Sampai 2024, anak perempuan kelas 5 SD atau yang berusia 11 tahun menerima dua kali suntikan. Namun setelah WHO merilis bukti ilmiah terbaru, banyak negara beralih ke skema satu dosis. Alasannya sederhana, hasil perlindungannya hampir setara. Antibodi yang terbentuk cukup kuat, sehingga untuk keperluan program nasional, satu dosis dianggap efektif dan jauh lebih efisien.
Indonesia mengikuti rekomendasi tersebut mulai 2025. Anak kelas 5 SD cukup menerima satu suntikan. Anak kelas 6 dan kelas 9 yang belum mendapatkan imunisasi tetap bisa menerima dosis kejar. Semakin dini diberikan, semakin baik perlindungannya.
Siapa Saja yang Bisa Mendapatkan Vaksin HPV?

Selain anak perempuan kelas 5 SD yang menjadi prioritas, imunisasi juga diberikan kepada anak kelas 6 dan remaja usia 15 tahun yang belum mendapatkan dosis sebelumnya. Mulai 2026, anak laki-laki di beberapa provinsi juga akan mulai divaksinasi, lalu diperluas secara bertahap.
Walaupun fokus utama imunisasi HPV adalah anak perempuan kelas lima SD, bukan berarti perempuan yang sudah lewat usia ini tidak bisa mendapatkan perlindungan. Pemerintah sendiri sedang merencanakan perluasan imunisasi bagi perempuan usia dua puluh sampai dua puluh enam tahun mulai 2027. Namun, perempuan di rentang usia ini sebenarnya sudah bisa membeli vaksin HPV secara mandiri, dan dokter sepakat bahwa langkah ini tetap memberikan manfaat.
Lalu bagaimana dengan perempuan di atas usia tiga puluh yang belum menikah? Ini pertanyaan yang sangat sering muncul. Dr. Prima Yosephine, Direktur Imunisasi Kemenkes RI, menjelaskan bahwa perempuan dewasa yang belum menikah boleh langsung vaksin tanpa screening dalam, karena pemeriksaan serviks (seperti pap smear, IVA, atau HPV DNA) hanya boleh dilakukan setelah menikah. Namun setelah menikah, screening tetap wajib dilakukan secara rutin, meskipun sudah menerima vaksin sebelumnya.
Alasannya sederhana namun sangat penting, vaksin HPV bekerja dengan cara mencegah virus masuk dan menetap di sel leher rahim. Tetapi vaksin tidak bisa menghilangkan virus yang sudah ada sebelumnya. Karena penularan HPV juga bisa terjadi melalui kontak non-seksual, misalnya melalui permukaan yang terkontaminasi, maka perempuan dewasa tetap memiliki kemungkinan terpapar sebelum sempat divaksin.
Di sinilah peran screening menjadi sangat penting. Tes pap smear, IVA, dan terutama tes HPV DNA adalah cara terbaik untuk mendeteksi apakah ada infeksi HPV risiko tinggi yang sedang menetap dan berpotensi menjadi sel pra-kanker. Tes HPV DNA bekerja dengan mendeteksi materi genetik virus secara langsung sehingga jauh lebih sensitif dibandingkan metode lama. Banyak negara sudah berpindah dari pap smear rutin ke skema screening berbasis HPV DNA karena hasilnya lebih akurat dan bisa mendeteksi risiko lebih dini.
Screening dilakukan secara berkala, biasanya setiap lima tahun untuk HPV DNA jika hasilnya normal. Dengan kombinasi vaksinasi dan screening yang tepat, para ahli menegaskan bahwa risiko kanker leher rahim dapat turun secara signifikan.
Meskipun vaksin pada usia dewasa tidak memberikan perlindungan sempurna seperti pada anak usia sebelas tahun, “perlindungan sebagian tetap lebih baik daripada tidak ada proteksi sama sekali.” Pesan ini konsisten disampaikan para pakar pada sesi edukasi, terutama bagi perempuan yang ingin menjaga kesehatan reproduksinya sebelum menikah ataupun menjelang perencanaan kehamilan.
Mitos-Mitos Seputar Vaksin HPV

Banyak kekhawatiran soal vaksin HPV muncul dari obrolan sehari-hari, mulai dari grup WhatsApp keluarga, live TikTok, sampai rumor yang tersebar di lingkungan perumahan. Mitos-mitos ini pada akhirnya membuat banyak orang tua ragu untuk memperbolehkan anaknya mendapatkan vaksin HPV. Padahal sebagian besar kekhawatiran ini tidak berdasar dan bertentangan dengan bukti ilmiah dari WHO, CDC, dan penelitian internasional.
Mitos #1: “Vaksin HPV bikin mandul.”
Fakta:
Tidak ada satu pun penelitian kredibel yang menunjukkan hubungan antara vaksin HPV dan infertilitas. WHO, CDC, dan European Medicines Agency sudah melakukan analisis puluhan juta data penerima vaksin HPV, dan tidak menemukan peningkatan risiko kemandulan. Justru kanker leher rahim dan pengobatannya yang dapat merusak jaringan reproduksi, sehingga perempuan yang tidak divaksin justru berisiko kehilangan kesuburannya.
Mitos #2: “Vaksin bikin menstruasi jadi berantakan.”
Fakta:
Siklus menstruasi dikendalikan oleh hormon estrogen dan progesteron. Sementara vaksin HPV tidak mengandung hormon apa pun, tidak memengaruhi sistem endokrin, dan tidak mengubah siklus haid. WHO juga menegaskan bahwa vaksin HPV aman diberikan pada anak yang belum menstruasi, dan tidak ada kaitan antara penyuntikan vaksin dengan gangguan siklus haid.
Mitos #3: “Vaksinnya disuntik di rahim atau organ intim.”
Fakta:
Ini salah besar. Vaksin HPV disuntikkan di lengan, sama seperti vaksin-vaksin lainnya. Tidak ada prosedur pemeriksaan organ intim untuk anak SD. Tidak ada metode penyuntikan ke leher rahim. Vaksin bekerja melalui pembentukan antibodi dalam aliran darah, bukan melalui area genital.
Mitos #4: “Vaksin HPV bikin rahim kering atau rusak.”
Fakta:
Prof Miko menjelaskan bahwa vaksin HPV tidak mengandung virus hidup. Isinya hanyalah protein mirip kapsul virus yang bertindak seperti “fotokopi” bagian luar virus asli. Saat masuk ke tubuh, protein ini merangsang sistem imun membentuk antibodi, tanpa mengganggu fungsi reproduksi. Tidak ada komponen vaksin yang dapat memengaruhi produksi hormon, lendir serviks, atau fungsi rahim.
Mitos #5: “Vaksin HPV tidak halal.”
Fakta:
Vaksin HPV yang digunakan dalam program nasional adalah hasil kolaborasi MSD dan Bio Farma, dan sudah mendapatkan sertifikasi halal dari MUI. Sertifikasi ini diberikan setelah melalui audit ketat terhadap proses produksi, bahan baku, serta fasilitas pembuatan.
Mitos #6: “Nggak usah vaksin HPV, cukup minum herbal atau makanan sehat.”
Fakta:
Tidak ada herbal atau makanan apa pun, baik yang mengandung antioksidan, habbatussauda, kunyit, ataupun jamu, yang dapat membunuh virus HPV. Herbal bisa membantu daya tahan tubuh secara umum, tetapi tidak bisa menggantikan vaksin yang membentuk antibodi spesifik. Tanpa vaksin, tubuh tidak memiliki perlindungan terarah terhadap HPV risiko tinggi penyebab kanker.
Mitos #7: “Cukup jaga kebersihan, nggak perlu vaksin HPV.”
Fakta:
Menjaga kebersihan memang penting, tetapi tidak ada hubungannya dengan kemampuan mencegah virus HPV. Penelitian di berbagai negara menemukan HPV di permukaan toilet publik, wastafel, kamar mandi, hingga pegangan pintu. Virus juga bisa bertahan berjam-jam. Itu sebabnya kebersihan tidak pernah bisa menggantikan imunisasi.
Peran Ibu dalam Melindungi Anak Perempuan

Pada akhirnya, keputusan imunisasi anak selalu kembali kepada orang tua, khususnya ibu. Ibu yang setiap hari membersamai anak, yang paling tahu perkembangan anak, dan yang paling mengerti bagaimana masa depan anak ingin dibentuk.
Imunisasi HPV bukan keputusan untuk hari ini saja. Ini keputusan untuk sepuluh, dua puluh, bahkan tiga puluh tahun ke depan. Ini adalah investasi kesehatan jangka panjang. Prof Miko menekankan bahwa imunisasi HPV adalah cara paling efektif mencegah kanker leher rahim pada anak di masa depan. “Untuk anak, memang tidak ada jalan lain. Sudah saja vaksin anak perempuan semua, karena nggak ada lainnya.”
Sebagai ibu, kita ingin anak tumbuh sehat, bebas dari ancaman penyakit yang sebenarnya bisa dicegah sejak dini. Memberikan vaksin HPV di usia SD adalah salah satu bentuk perlindungan terbesar untuk masa depan mereka.