Mitos vs Fakta: Perawatan Luka Ringan yang Ibu Wajib Tahu
Sebagai Ibu, kita hampir pasti pernah menghadapi drama gara-gara anak luka. Anak pulang dari sekolah dengan lutut lecet, jatuh di halaman, atau tiba-tiba menangis karena jari kegesek saat main sepeda. Belum lagi kalau kita sendiri yang teriris sedikit saat potong sayur di dapur.
Refleksnya biasanya sama. Dibilas sebentar, dikasih antiseptik, lalu dibiarkan terbuka supaya cepat kering. Rasanya itu cara yang paling benar, soalnya dari dulu kita lihat orang tua dan orang sekitar melakukan hal yang sama.
Padahal, kalau melihat data dan penjelasan dokter, banyak kebiasaan soal perawatan luka ringan yang ternyata tidak sepenuhnya tepat. Data Riset Kesehatan Dasar di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar cedera yang dialami masyarakat adalah luka lecet dan luka iris. Jadi sebenarnya, topik ini sangat dekat dengan keseharian keluarga, terutama ibu yang sehari hari jadi penolong pertama di rumah saat ada luka.
Topik ini dibahas tuntas dalam acara peluncuran kampanye edukatif Beda Luka Beda Plester dari Essity Indonesia di Jakarta pada tanggal 5 November 2025. Di acara ini hadir dr. Heri Setyanto, Sp.B., FINACS, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia, dan Joice Simanjuntak, Head of Marketing Essity for Central and East Asia. Keduanya mengajak kita, para ibu, melihat ulang cara kita merawat luka ringan di rumah, termasuk luka pada anak dan anggota keluarga yang punya kondisi khusus seperti diabetes.
Supaya lebih mudah dipahami, yuk kita bedah mitos tentang perawatan luka satu per satu dari kacamata ibu di rumah.
Mitos #1: Luka ringan tidak perlu dirawat khusus

Di rumah, kita sering punya pola pikir seperti ini. Kalau lukanya cuma lecet sedikit, masih bisa ditutup plester tipis, dan anak masih bisa main, berarti tidak apa apa. Tinggal dibiarkan, nanti juga sembuh sendiri.
Menurut dr. Heri, cara pikir ini yang perlu diluruskan. Ia menjelaskan bahwa luka adalah terputusnya jaringan tubuh, sekecil apa pun ukuran lukanya. Begitu kulit terbuka, jalur masuk kuman ke dalam tubuh juga ikut terbuka. Tidak hanya infeksi di sekitar luka yang mungkin terjadi, tetapi juga infeksi yang bisa menyebar ke seluruh tubuh kalau dibiarkan.
dr. Heri menjelaskan bahwa luka bisa diklasifikasikan dari beberapa sisi. Dari kedalaman, misalnya luka yang hanya mengenai permukaan kulit atau yang menembus lebih dalam. Dari lama penyembuhan, ada luka akut yang seharusnya sembuh dalam waktu relatif singkat dan luka kronis yang bertahan cukup lama. Dari penyebab, ada luka sayat, luka pembedahan, luka bakar, dan sebagainya. Setiap jenis ini punya risiko dan kebutuhan perawatan yang berbeda.
Ia mengingatkan, “Luka kecil jangan disepelekan. Ini bisa jadi pintu masuk kuman ke dalam tubuh, apalagi kalau tidak dirawat dengan benar.”
Kelompok yang paling perlu kita waspadai adalah anak kecil, lansia, orang dengan diabetes, dan pasien yang sedang menjalani kemoterapi. Pada kelompok ini, luka kecil bisa berkembang menjadi infeksi yang lebih berat jika tidak dirawat dengan baik. Sebagai ibu, kita biasanya yang pertama kali diminta melihat luka, jadi penting untuk sadar bahwa luka kecil pun tetap butuh perhatian.
Mitos #2: Luka harus dibiarkan terbuka supaya cepat kering

Ini mungkin mitos yang paling sering kita dengar sejak kecil. Nasihat yang akrab di telinga, luka jangan ditutup terus, biar bisa bernapas dan cepat kering.
Padahal, dari sisi medis, justru yang ingin dijaga adalah kelembapan yang seimbang di area luka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa luka yang dirawat dalam lingkungan lembap cenderung sembuh lebih cepat, nyeri lebih ringan, dan hasil kulit barunya lebih baik dibanding luka yang dibiarkan kering dan berkeropeng.
Saat luka dibiarkan terbuka, permukaan luka cenderung mengering dan membentuk keropeng yang keras. Di permukaan memang tampak tertutup, tetapi di bawahnya bisa saja masih ada jaringan yang belum sembuh sempurna. Kondisi yang terlalu kering juga membuat sel kulit baru lebih sulit bergerak menutup luka.
Inilah yang kemudian melahirkan konsep moist wound healing, yaitu penyembuhan luka dalam lingkungan yang lembap terkontrol. Cara ini sekarang menjadi pendekatan modern di dunia medis untuk mempercepat penyembuhan luka.
dr. Heri menyampaikan bahwa luka yang ditutup dengan plester yang tepat bisa sembuh lebih cepat dibanding luka yang dibiarkan terbuka. Selain membantu proses regenerasi kulit, penutupan luka juga melindungi dari gesekan, debu, kotoran, dan paparan air, terutama di area tubuh yang sering digunakan bergerak seperti lutut, siku, buku jari, atau telapak tangan.
Ia menjelaskan, “Luka yang ditutup dengan plester yang sesuai justru lebih cepat sembuh dan lebih bersih. Bukan berarti kalau ditutup lalu pasti jadi lembap yang berbahaya. Yang penting, cara membersihkan dan pilihan plesternya tepat.”
Untuk kita sebagai ibu, artinya perlu mengubah cara pandang. Bukan lagi membiarkan luka terbuka dengan harapan cepat kering, tetapi melindungi luka supaya proses penyembuhan berjalan bersih dan terkendali.
Mitos #3: Luka cukup dikasih antiseptik, setelah itu beres

Dalam situasi panik, langkah pertama kita biasanya mencari antiseptik. Begitu luka sudah disiram cairan antiseptik, kita merasa tugas sudah selesai. Padahal, antiseptik hanya salah satu bagian dari rangkaian perawatan luka.
Panduan dari berbagai lembaga kesehatan menyarankan beberapa langkah berurutan untuk menangani luka ringan di rumah, terutama saat kita merawat luka anak.
Pertama, kita cuci tangan terlebih dulu, supaya kuman dari tangan tidak ikut masuk ke luka. Kalau ada, menggunakan sarung tangan sekali pakai juga dianjurkan, tapi di rumah paling tidak tangan harus bersih.
Kedua, kita hentikan perdarahan dengan menekan lembut area luka menggunakan kain bersih, kasa steril, atau tisu yang higienis. Tekanan bisa perlu beberapa menit sampai perdarahan berhenti. Jika setelah sekitar sepuluh menit darah masih mengalir, ini tanda bahwa luka mungkin cukup dalam dan sebaiknya diperiksa tenaga medis.
Ketiga, kita bersihkan luka dan area sekitarnya. Idealnya menggunakan cairan NaCl steril atau air bersih yang mengalir. Air matang yang sudah didinginkan juga boleh dipakai di rumah. Tujuan utama membersihkan bukan hanya menghilangkan darah yang mengering, tetapi juga membuang pasir, tanah, atau kotoran kecil yang menempel. Antiseptik boleh digunakan, tetapi tidak perlu berlebihan sampai membuat kulit di sekitarnya iritasi.
Keempat, setelah luka bersih dan perdarahan berhenti, barulah kita tutup luka dengan plester yang sesuai. Penutupan ini membantu menjaga kelembapan seimbang, mengurangi risiko infeksi, dan membuat luka tidak mudah tersenggol ketika anak bergerak atau bermain.
dr. Heri mengingatkan, luka perlu dirawat dan diamati, bukan sekali disentuh lalu dilupakan. Balutan sebaiknya diganti jika plester sudah kotor atau basah. Kalau muncul nanah, bau tidak sedap, kulit sekitar luka sangat merah dan nyeri, atau muncul demam, itu saatnya kita mencari bantuan medis. Ia menegaskan, “Luka itu harus dipantau. Kalau ada tanda infeksi, jangan menunggu, segera periksa.”
Empat langkah ini bisa menjadi panduan praktis Ibu saat menghadapi luka di rumah. Tidak rumit, tetapi jauh lebih aman dibanding hanya mengandalkan antiseptik lalu dibiarkan terbuka.
Mitos #4: Menutup luka dengan plester bikin kulit tidak bisa bernapas

Kekhawatiran lain yang sering muncul adalah anggapan bahwa kulit yang ditutup plester seharian akan lembap berlebihan dan tidak sehat. Di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia, memang wajar kalau kita khawatir kulit jadi pengap dan mudah iritasi.
Di sinilah pentingnya memilih plester dengan teknologi yang tepat. dr. Heri menjelaskan bahwa plester modern, terutama yang berstandar medis atau medical grade, dirancang supaya masih bisa dilalui udara. Artinya, kulit tetap bisa bernapas, tetapi di saat yang sama luka terlindung dari kuman dan air. Lingkungan seperti ini justru mendukung moist wound healing yang lebih cepat dan lebih nyaman bagi pasien.
Untuk bagian tubuh yang sering bergerak seperti lutut, siku, dan buku jari, tantangannya memang lebih besar. Plester biasa sering mudah terlepas saat anak berlari, berkeringat, atau terkena air. Karena itu, desain plester yang mengikuti kontur tubuh, memiliki bahan elastis, dan daya rekat yang stabil, sangat membantu dalam kehidupan sehari hari ibu.
Di sisi lain, Joice Simanjuntak menjelaskan bahwa lewat kampanye Beda Luka Beda Plester, Essity ingin membantu masyarakat memahami bahwa setiap luka membutuhkan jenis plester yang berbeda. Ia menyampaikan, “Kami ingin ibu dan keluarga tahu, sebelum memilih plester, kenali dulu lukanya. Berbeda luka, berbeda juga kebutuhan perlindungannya.”
Jadi, bukan soal menutup luka sembarangan, tetapi menyesuaikan jenis plester dengan jenis luka dan lokasi lukanya.
Mitos #5: Keropeng selalu tanda luka sudah sembuh

Sebagai ibu, kita sering merasa lega begitu luka anak mulai berkeropeng. Di kepala kita, keropeng artinya luka sudah tertutup dan aman. Padahal, tidak selalu begitu.
dr. Heri menjelaskan bahwa keropeng sebenarnya adalah lapisan kering yang terbentuk di permukaan luka. Di beberapa situasi, lapisan ini bisa menghambat proses pembentukan jaringan kulit baru di bawahnya. Jika keropeng terlalu keras, menonjol, atau di bawahnya terasa nyeri dan basah, ini bisa menjadi tanda adanya masalah, bahkan infeksi yang tersembunyi.
Penelitian juga menunjukkan, lingkungan luka yang sedikit lembap tanpa keropeng yang terlalu tebal justru mendukung proses regenerasi kulit yang lebih baik, mengurangi nyeri, dan sering kali menghasilkan bekas luka yang lebih halus.
Selain perawatan dari luar, dr. Heri juga menekankan pentingnya perawatan dari dalam. Tubuh membutuhkan cukup protein untuk membentuk jaringan baru dan membantu sel darah merah bekerja optimal. Kalau asupan proteinnya kurang, luka cenderung lebih lama menutup. Ia mengingatkan, “Perawatan luka bukan hanya soal apa yang ditempel di kulit, tetapi juga soal asupan gizi, terutama protein, yang mendukung penyembuhan.”
Kenapa Pemahaman Tentang Cara Merawat Luka Penting Bagi Keluarga?

Di balik semua mitos tadi, ada satu benang merah yang terasa jelas, yaitu rendahnya literasi tentang perawatan luka di masyarakat.
dr. Heri menyebutkan bahwa pemahaman dasar mengenai jenis luka, cara membersihkan luka, dan kapan harus mencari bantuan medis masih sangat bervariasi. Banyak orang hanya meniru kebiasaan keluarga atau tetangga tanpa tahu apakah cara tersebut sudah sesuai standar medis. Ia mengatakan bahwa ia sangat mengapresiasi langkah Essity yang mau serius mengedukasi masyarakat tentang perawatan luka ringan, karena hal seperti ini jarang mendapat perhatian khusus.
Joice Simanjuntak menambahkan, dari sisi Essity Indonesia, kampanye Beda Luka Beda Plester memang dirancang sebagai jembatan antara ilmu kedokteran dengan kehidupan sehari hari keluarga. Essity yang bergerak di bidang kesehatan dan kebersihan membawa misi Breaking Barriers to Well being, dan salah satu caranya adalah dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perawatan luka yang benar.
Bagi kita sebagai ibu, manfaatnya terasa sangat praktis. Saat anak jatuh, saat kita baru selesai operasi caesar, atau saat mengurus orang tua yang kulitnya mulai tipis dan sensitif, kita ingin merasa yakin bahwa cara kita merawat luka di rumah sudah sejalan dengan standar medis, bukan sekadar kebiasaan lama.
Leukoplast Red First Aid, Membawa Standar Rumah Sakit ke Rumah
Setelah kita tahu betapa pentingnya memahami cara merawat luka yang benar, wajar kalau ibu jadi ingin tahu juga, sebenarnya ada nggak sih plester yang memang dirancang khusus sesuai standar medis tapi tetap praktis untuk dipakai di rumah?
Nah, di sinilah Essity memperkenalkan Leukoplast Red First Aid melalui kampanye Beda Luka Beda Plester. Produk ini hadir untuk menjawab kebutuhan keluarga, terutama ibu, yang ingin memastikan luka ringan di rumah bisa dirawat dengan cara yang lebih aman, nyaman, dan sesuai anjuran tenaga medis. Leukoplast sendiri sudah lama dikenal di dunia medis sebagai plester yang banyak digunakan tenaga kesehatan di seluruh dunia.
Joice menjelaskan bahwa Leukoplast Red First Aid hadir sebagai plester medical grade yang bisa digunakan keluarga. Ia mengatakan, “Kami ingin menghadirkan solusi berbasis sains yang relevan, inovatif, dan mudah diakses untuk keluarga Indonesia, supaya perawatan luka ringan di rumah bisa mengikuti standar yang biasa digunakan tenaga kesehatan.”

Ada tiga varian utama Leukoplast Red First Aid yang diperkenalkan.
A. Leukoplast Elastic, plester yang elastis dan menempel kuat, cocok untuk area tubuh yang sering bergerak seperti jari, buku tangan, siku, dan lutut.
B. Leukoplast Aqua Pro, plester yang melindungi luka dari air tetapi tetap memungkinkan kulit di sekitarnya bernapas, cocok untuk anak yang tetap ingin mandi dan bermain air tanpa mengganggu proses penyembuhan luka.
C. Leukoplast Barrier, plester dengan perlindungan tambahan terhadap mikroba dan kontaminan dari luar, berguna untuk luka yang sedikit lebih dalam atau ketika anak banyak beraktivitas di lingkungan yang mudah kotor.
Dalam satu kemasan, biasanya terdapat beberapa ukuran dan bentuk plester. Ada yang berbentuk bulat, ada yang mirip huruf H, dan ada juga yang menyerupai angka delapan untuk area yang sulit seperti sendi dan buku jari. Desain ini membantu ibu menyesuaikan bentuk plester dengan lokasi luka, sehingga penutup luka bisa lebih rapi dan nyaman dipakai.
Joice juga menjelaskan bahwa perekat Leukoplast dirancang ramah di kulit tetapi tetap rekat, sehingga nyaman dipakai anak namun tidak mudah lepas. Produk Leukoplast Red First Aid sudah tersedia di jaringan seperti Guardian, Watsons, dan Apotek K24, sehingga relatif mudah diakses keluarga yang ingin menggunakan plester medical grade untuk perawatan luka ringan di rumah.
Pada akhirnya, luka kecil di rumah memang tidak selalu membutuhkan perjalanan ke ruang gawat darurat. Tetapi luka kecil tetap pantas mendapat perhatian besar. Dengan memahami mitos dan fakta soal perawatan luka ringan, kita sebagai ibu bisa mengambil keputusan yang lebih tepat saat melihat darah pertama yang menetes di lutut anak, sayatan kecil di jari, atau bekas jahitan setelah melahirkan.
Merawat keluarga tidak selalu tentang hal yang besar besar. Kadang, cara kita memperlakukan satu luka kecil pun bisa menjadi wujud paling nyata dari rasa sayang dan kepedulian kita sebagai ibu.