Napas Pendek dan Mudah Lelah, Cuma Kurang Fit atau Hipertensi Paru?
Naik satu lantai tangga di stasiun, tapi napas sudah terasa berat. Jalan dari parkiran ke lobi kantor yang jaraknya pendek, tapi dada sesak dan kaki cepat lelah. Banyak orang akan bilang, “Ah, paling cuma kurang olahraga” atau “Namanya juga makin tua.”
Padahal, pada sebagian orang, napas pendek yang datang pelan-pelan dan makin sering ini bisa jadi tanda sesuatu yang jauh lebih serius, yaitu hipertensi paru atau hipertensi pulmonal. Penyakit ini memang langka dan gejalanya mirip gangguan lain, sehingga mudah sekali terlewat sampai akhirnya sudah cukup berat.
Apa Itu Hipertensi Paru dan Kenapa Bisa Sangat Berbahaya?

Secara sederhana, hipertensi paru terjadi ketika tekanan di pembuluh darah paru meningkat. Pembuluh darah yang seharusnya elastis menjadi kaku dan menyempit, membuat jantung kanan harus bekerja ekstra keras untuk mengalirkan darah ke paru. Lama-kelamaan, jantung kanan bisa membesar, melemah, dan akhirnya gagal bekerja.
Dalam diskusi Media Bulan Kesadaran Hipertensi Paru 2025 yang diselenggarakan MSD Indonesia bersama Yayasan Hipertensi Paru Indonesia di Jakarta, dr. Hary Sakti Muliawan, PhD, SpJP, FIHA menggambarkan fungsi jantung kanan dan kiri seperti dua sisi timbangan yang saling melengkapi. Jantung kiri mengirim darah beroksigen ke seluruh tubuh, sedangkan jantung kanan bertugas membawa darah yang sudah “habis oksigen” ke paru untuk diisi ulang. Bila jalur menuju paru tiba-tiba menyempit, aliran darah tersendat dan seluruh sistem menjadi kacau.
Menurut dr. Hary, dinding pembuluh darah paru pada pasien hipertensi paru bisa menebal hingga hampir menutup aliran darah. Kondisi ini membuat kadar oksigen dalam tubuh turun, menyebabkan tubuh mudah lelah, membengkak, hingga mengalami gagal jantung kanan. Tidak jarang, pasien datang dengan saturasi rendah, bibir kebiruan, atau bahkan pingsan karena jantung tidak sanggup memompa.
Hipertensi paru juga memiliki angka mortalitas yang tinggi. Dari berbagai data yang dipaparkan, sekitar sepertiga pasien meninggal pada tahun pertama setelah diagnosis, dan lebih dari separuh kematian terjadi dalam lima tahun pertama. Artinya, deteksi dini bukan hanya penting, tetapi sangat menentukan.
Managing Director MSD Indonesia, George Stylianou, mengingatkan bahwa di balik istilah medis yang rumit, ada manusia yang setiap hari berjuang untuk sekadar bernapas. Ia menegaskan bahwa tidak ada pasien yang seharusnya menjalani perjuangan itu sendirian dan bahwa edukasi publik adalah kunci untuk memastikan lebih banyak orang mengenali tanda-tandanya sejak awal.
Hipertensi Paru, Penyakit Langka yang Sering Terlambat Dikenali

Meskipun termasuk penyakit langka, hipertensi paru tidak hanya menyerang kelompok tertentu. Prevalensinya berada di kisaran 15 sampai 30 kasus per satu juta penduduk. Perempuan tercatat lebih sering mengalaminya, dan kondisi ini bisa muncul di usia berapa pun, termasuk pada anak-anak.
Tantangan terbesar datang dari gejalanya yang samar. Sesak napas mudah dikira asma, cepat lelah dianggap kurang fit, dan nyeri dada disalahartikan sebagai masalah jantung biasa. Tidak heran, banyak pasien baru terdiagnosis saat kondisinya sudah masuk tahap sedang atau berat.
Dr. Hary menyebutkan bahwa di Eropa, pasien rata-rata butuh sekitar 15 bulan dari gejala pertama hingga diagnosis hipertensi paru. Di Amerika bisa sampai dua tahun. Jepang memiliki angka lebih rendah, sekitar sepuluh bulan. Untuk Indonesia sendiri belum ada angka resmi, tetapi dugaan klinis menunjukkan bahwa perjalanan menuju diagnosis bisa jauh lebih lama.
Salah satu pasien bercerita bagaimana sejak 2014 ia mengalami cepat lelah setiap naik tangga dan berjalan jauh. Bertahun-tahun berobat ke dokter, ia hanya diberikan obat-obatan umum tanpa pemeriksaan lebih dalam. Ia mengaku lelah secara fisik dan mental karena bolak-balik mencari second opinion, tetapi tetap tanpa jawaban yang jelas.
Dan ia bukan satu-satunya. Banyak pasien akhirnya mengetahui ada masalah di paru dan jantung kanan setelah bertahun-tahun mengira dirinya hanya “kurang olahraga” atau “sedang drop”.
Siapa Saja yang Berisiko Mengalami Hipertensi Paru
Setiap orang sebenarnya bisa mengalami hipertensi paru, tetapi ada beberapa kelompok yang memiliki risiko lebih tinggi. Dr. Hary menjelaskan bahwa kondisi ini sering ditemukan pada perempuan, terutama yang memiliki riwayat penyakit jantung bawaan. Penyakit autoimun seperti lupus atau skleroderma juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya penyempitan pembuluh darah paru.
Gangguan paru kronis, seperti riwayat TBC atau asma, juga dapat berkontribusi. Pada sebagian perempuan, hipertensi paru muncul setelah kehamilan dan persalinan akibat risiko pembentukan gumpalan darah di area paru. Di sisi lain, ada pula pasien yang sebelumnya aktif berolahraga atau sering mendaki gunung. Paparan oksigen yang rendah berulang kali dapat menyebabkan perubahan pada pembuluh darah paru pada individu tertentu.
Karena spektrum penyebabnya luas, banyak pasien tidak menyangka bahwa gejala yang mereka rasakan berkaitan dengan hipertensi paru. Menurut dr. Hary, kondisi ini bisa berkembang pelan, sehingga tubuh terasa "sedikit lebih cepat capek" tanpa disadari sebagai tanda awal penyakit.
Gejala Hipertensi Paru yang Sering Dianggap Sepele

Satu hal yang membuat hipertensi paru sulit dikenali adalah gejalanya yang menyerupai kondisi lain. Dr. Hary menyebutkan beberapa tanda yang harus diperhatikan, terutama jika terjadi berulang atau makin memburuk.
Pertama, sesak atau napas pendek saat melakukan aktivitas ringan. Misalnya, naik satu lantai tangga sudah terasa sangat berat, atau jalan beberapa puluh meter sudah membuat tubuh lelah seperti setelah berolahraga lama.
Kedua, nyeri dada berulang, jantung terasa berdebar lebih cepat dari biasanya, atau kepala sering terasa melayang hingga pingsan.
Ketiga, bengkak di kaki, pergelangan, atau tubuh bagian bawah. Ketika kondisi semakin berat, bibir atau ujung jari bisa tampak kebiruan karena kadar oksigen yang menurun.
Bagi sebagian orang, tanda-tanda ini dianggap wajar dan dilewati begitu saja. Namun, jika keluhan muncul berulang atau makin mengganggu aktivitas, diperlukan evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan sederhana seperti ekokardiografi bisa memberikan gambaran awal. Pada kasus tertentu, pemeriksaan kateterisasi jantung kanan dibutuhkan untuk memastikan tekanan di pembuluh darah paru.
Dr. Hary mengingatkan bahwa semakin lama hipertensi paru tidak dikenali, risiko komplikasi semakin tinggi. Karena itu, jika ada perubahan kapasitas fisik yang tidak wajar, pemeriksaan medis sebaiknya dilakukan lebih cepat.
Tantangan dalam Pengobatan dan Akses Obat Hipertensi Paru

Pengobatan hipertensi paru membutuhkan pendekatan yang tepat dan konsisten. Dr. Hary menjelaskan bahwa obat-obatan untuk hipertensi paru bekerja dengan membuka kembali pembuluh darah paru yang menyempit dan menurunkan tekanan di area tersebut. Namun, terapi harus disesuaikan dengan tingkat keparahan masing-masing pasien.
Pada pedoman internasional, terapi kombinasi biasanya direkomendasikan sejak awal karena penyakit ini bersifat progresif. Idealnya, dua jenis obat dapat diberikan untuk mengontrol tekanan seketika. Namun, tantangan di Indonesia masih cukup besar. Dari sekitar lima belas jenis obat yang disetujui secara global, hanya lima yang tersedia di Indonesia, dan hanya dua yang tercakup dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
Menurut dr. Hary, kondisi ini membuat banyak pasien hanya mengandalkan satu obat tunggal, bahkan ketika kondisi sudah cukup berat. Padahal, pemberian kombinasi lebih dini dapat meningkatkan peluang pasien tetap berada di kelompok risiko rendah yang memiliki harapan hidup lebih baik.
Managing Director MSD Indonesia, George Stylianou, menekankan pentingnya akses pengobatan yang optimal. Ia menggarisbawahi bahwa edukasi dan kolaborasi lintas pihak, termasuk dukungan media, dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat dan mendorong pemerataan akses obat di masa depan.
Hidup Sehari-hari dengan Hipertensi Paru

Selain pengobatan medis, pengelolaan sehari-hari turut berpengaruh pada kondisi pasien. Dr. Hary menjelaskan bahwa batasan cairan menjadi hal penting, terutama untuk mencegah bengkak dan menjaga tekanan darah tetap stabil. Pada umumnya, asupan cairan dianjurkan berada di kisaran satu setengah sampai dua liter per hari. Jika terlalu sedikit, tekanan darah bisa turun drastis. Jika terlalu banyak, pembengkakan semakin mudah terjadi.
Soal makanan, tidak ada pantangan yang benar-benar ketat. Namun konsumsi daging merah dalam jumlah besar sebaiknya dihindari karena kandungan tertentu yang dapat berpengaruh terhadap tekanan. Aktivitas fisik tetap diperbolehkan bahkan dianjurkan, tetapi harus disesuaikan dengan kapasitas pasien. Pemeriksaan kapasitas fisik dapat membantu menentukan jenis olahraga yang paling aman.
Dr. Hary juga mengingatkan bahwa kondisi hipertensi paru yang tidak terkontrol dapat berdampak pada organ lain, termasuk ginjal. Karena itu, pemeriksaan rutin menjadi bagian penting dari perawatan jangka panjang.
Di luar aspek medis, pasien hipertensi paru menghadapi tantangan sosial yang tidak kalah berat. Beberapa pasien menceritakan pengalaman ketika dianggap sehat karena tidak menunjukkan gejala yang terlihat. Ada yang berkali-kali berdiri di transportasi umum meskipun sebenarnya sangat membutuhkan kursi karena sesak dan mudah lelah. Bahkan, istilah "hipertensi paru" sering disalahpahami sebagai penyakit paru menular.
Situasi seperti ini menunjukkan pentingnya literasi masyarakat mengenai penyakit yang tidak selalu tampak dari luar. Edukasi menjadi kunci agar pasien dapat menjalani aktivitas dengan lebih nyaman tanpa harus menjelaskan kondisinya berkali-kali.
Kisah Para Pejuang Hipertensi Paru

Di balik data dan istilah medis, ada pengalaman nyata yang menggambarkan perjalanan panjang banyak pasien. Beberapa penyintas hipertensi paru berbagi bagaimana mereka pertama kali mengetahui kondisinya dan bagaimana dukungan keluarga berperan besar dalam proses terapi.
Salah satu penyintas adalah Yusnita Dewi. Ia memiliki riwayat masalah paru sejak kecil, menjalani histerektomi, lalu sempat terinfeksi COVID-19. Setelah itu, ia mulai sering merasa lelah, bengkak di berbagai bagian tubuh, dan akhirnya didiagnosis gagal jantung dengan hipertensi paru primer. Ia mengaku mengalami fase sulit ketika harus menerima bahwa penyakit ini membutuhkan terapi jangka panjang. Prosesnya emosional, tetapi dukungan suami dan keluarga membuatnya mampu menjalani pengobatan.
Ada pula pasien yang bercerita bahwa gejalanya muncul sejak beberapa tahun lalu, namun tidak terdeteksi karena selalu dianggap sebagai masalah lambung atau penyakit umum lainnya. Ia bolak-balik ke dokter namun tidak mendapatkan pemeriksaan lanjutan, hingga akhirnya baru mengetahui bahwa penyebab sesaknya adalah tekanan tinggi di pembuluh darah paru.
Cerita lain datang dari Kalvina, seorang perempuan aktif yang sebelumnya sering mengikuti lomba renang dan lari. Kondisinya baru terdeteksi setelah melahirkan dan kembali bekerja. Rasa lelah yang tidak kunjung hilang membuatnya memeriksakan diri. Pemeriksaan lanjutan menunjukkan adanya murmur pada jantung dan berujung pada diagnosis hipertensi paru. Ia sempat kesulitan menerima kenyataan ini, tetapi pemeriksaan yang tepat dan dukungan keluarga membuatnya lebih siap menjalani terapi.
Pengalaman keluarga juga sangat berpengaruh. Suami Kalvina, Reinhart, mengingat bagaimana beberapa dokter sebelumnya sempat menyepelekan keluhan dan hanya menyarankan istirahat. Jika mereka berhenti mencari pendapat kedua, kemungkinan diagnosis akan datang jauh lebih terlambat. Ia merasa bersyukur akhirnya bertemu dokter yang memahami kondisi tersebut.
Kisah-kisah ini menggambarkan bahwa hipertensi paru bukan hanya tentang sesak napas atau tekanan darah tinggi. Ada proses emosional panjang yang dijalani pasien untuk memahami kondisinya dan menyesuaikan kehidupan sehari-hari. Dukungan keluarga menjadi faktor penting agar pasien tetap optimis menjalani pengobatan.
YHPI: Rumah Kedua untuk Para Penyintas Hipertensi Paru

Di tengah perjalanan panjang ini, dukungan komunitas memegang peranan penting. Yayasan Hipertensi Paru Indonesia atau YHPI hadir sebagai ruang bagi pasien dan keluarga untuk saling bertukar informasi dan saling menguatkan. Banyak pasien menyebut YHPI sebagai "rumah kedua" karena di tempat inilah mereka merasa tidak sendirian.
YHPI menyediakan berbagai program, mulai dari edukasi medis dan psikologis hingga kelas gaya hidup sehat. Ada pula grup dukungan berbasis wilayah yang memungkinkan pasien berkomunikasi dengan orang-orang yang mengalami kondisi serupa. Selain itu, YHPI memfasilitasi peminjaman konsentrator oksigen tanpa batas waktu bagi anggota yang membutuhkan.
Salah satu inisiatif YHPI yang sangat diapresiasi adalah penerbitan booklet panduan hidup dengan hipertensi paru serta buku Satu Nafas yang berisi kisah perjalanan para penyintas. Buku ini tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga pengingat bahwa perjalanan setiap pasien memiliki nilai dan kekuatan tersendiri.
Melalui kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk MSD Indonesia, YHPI terus mendorong edukasi mengenai hipertensi paru agar masyarakat lebih mengenali penyakit ini. Upaya kolektif seperti ini diharapkan dapat meningkatkan akses obat, mempercepat diagnosis, dan membantu lebih banyak pasien menemukan dukungan yang mereka butuhkan.
Harapan untuk Napas yang Lebih Lega

Hipertensi paru adalah penyakit yang serius dan memerlukan penanganan yang tepat. Namun, semakin banyak orang mengenali tanda-tandanya sejak awal, semakin besar peluang bagi pasien untuk mendapatkan terapi yang optimal dan menjaga kualitas hidup.
Kesadaran masyarakat, dukungan keluarga, peran tenaga kesehatan, serta akses terhadap obat-obatan menjadi komponen penting dalam perjalanan pasien. Ketika napas terasa lebih berat dari biasanya, tubuh sebenarnya sedang memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diperiksa.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang hipertensi paru, diharapkan tidak ada lagi gejala yang diabaikan atau keluhan yang dianggap sepele. Untuk sebagian pasien, satu napas yang lebih lega sudah berarti sangat besar. Dan untuk kita semua, memahami penyakit ini bisa menjadi langkah kecil yang menyelamatkan banyak kehidupan.