Balita

5 Cara Mendidik Anak dalam Menerima Kekalahan

5 Cara Mendidik Anak dalam Menerima Kekalahan

Mengikuti sebuah pertandingan, pasti memiliki 2 unsur yang begitu lekat yaitu menang dan kalah. Siapa pun, tidak terpatok dengan umur, pasti ingin untuk selalu memenangkan sebuah pertandingan yang sedang diikuti, terutama anak-anak.

Eileen Kennedy-Moore, Ph. D., Parents advisor dan co-author of Smart Parenting for Smart Kids, mengatakan bahwa kompetitif merupakan sifat alami pada anak-anak, biasanya dimulai dari umur 4 tahun, sudah mulai memiliki gambaran mengenai konsep “memenangkan sebuah pertandingan”.

Mereka akan bertanding untuk hal apa pun, beberapa di antaranya “punyaku lebih besar, lebih baik, dan lain sebagainya. Anak-anak tidak memahami secara kompleks tentang menang dan kalah, tetapi yang mereka paham yaitu menang adalah suatu hal yang bagus dan naik, sehingga mereka ingin menang dalam hal apa pun.”

Peran orangtua terhadap cara mendidik anak menentukan keberhasilan yang mereka dapatkan dalam beberapa bidang yang ditekuni, sehingga salah satu hasil yang diharapkan yaitu memenangkan sebuah kompetisi.

Tetapi, mengajarkan anak untuk mengalami kekalahan juga sama pentingnya dengan mengajarkan mereka untuk menang loh, Bu. Laman novakdjokovicfoundation.org menjelaskan bahwa salah satu cara mendidik anak dalam memberi pemahaman tentang pentingnya mengalami kekalahan adalah orangtua dapat menunjukkan bahwa kekalahan bukan akhir dari segalanya. Anak-anak dapat belajar bahwa mengalami kekalahan berarti memiliki kesempatan kedua.

Sam Weinman, digital editor dari Golf Digest dan pelatih olahraga, juga menerangkan bahwa anak-anak juga butuh untuk merasakan kekalahan. Kenapa? Karena selama anak-anak menjalani kehidupannya, mereka tidak akan lepas pada tahap mengalami kegagalan atau kekalahan, yang diikuti dengan perasaan kecewa sebagai hal yang pertama kali muncul saat sedang mengalami kekalahan.

Weinman kembali menjelaskan bahwa sebuah kekalahan atau kegagalan dapat dijadikan sebagai sebuah pedoman untuk dapat menemukan cara yang lebih baik ke depannya. Pada hal ini, peran orangtua dalam cara mendidik anak menjadi sangat penting untuk dapat membekali anak saat dihadapkan dengan kekalahan.


Apa yang terjadi jika cara mendidik yang orangtua lakukan yaitu membiarkan anak untuk terus menjadi pemenang?

Tidak ada orangtua yang ingin melihat anaknya mengalami kegagalan dan merasakan kekalahan dalam hidupnya. Kita pasti ingin melihat mereka dapat memiliki prestasi dalam beberapa pertandingan yang mereka geluti. Tetapi, apakah hal tersebut “sehat” untuk perkembangan mental si kecil?

Kenneth Barish, Ph. D., clinical associate professor of Psychology di Weil Medical College, Cornell University dalam laman psychologytoday.com menjelaskan bahwa ia membiarkan anak-anak untuk menang, tetapi tidak setiap waktu. Cara mendidik anak dengan membiarkan seorang anak untuk menang, tidak mengajarkannya untuk mengurangi rasa hormat terhadap pihak yang lebih tua (otoritas) atau mendorongnya pada penolakan terhadap kenyataan yang sedang terjadi.

Hal ini adalah pengakuan terhadap proses empati bahwa anak-anak adalah anak-anak, dan menjadi anak-anak, mereka belajar untuk menerima rasa kecewa, dan memahami batasan yang mereka miliki melalui kemampuan mereka. Dengan begitu, mereka dapat memahami bagaimana pengembangan terhadap kemampuan yang mereka miliki melalui latihan.

Sebaliknya, Barish mengatakan jika terus-menerus membiarkan anak untuk menang, atau memiliki cara mendidik anak dengan memaksanya untuk selalu menjadi pemenang dalam setiap kompetisi, akan menuntun mereka untuk melakukan kecurangan. Hal ini juga dapat menuntun dirinya untuk memiliki pandangan yang salah terhadap mengikuti sebuah kompetisi yang baik dan benar.

Weinman menambahkan, seringkali cara mendidik anak yang dijalani oleh orangtua adalah ingin menyelesaikan semua masalah anak-anak, karena dengan melakukan hal tersebut, mereka melindungi anak-anak dari rasa kecewa. Jika orangtua melindungi anak dari rasa kecewa atau hasil negatif lainnya, hal tersebut akan membuat anak tidak dilengkapi dengan cara-cara untuk menangani hasil negatif ketika mereka semakin bertambah usianya.


5 Cara Mendidik Anak dalam Menerima Kekalahan

  1. Pahami perasaan si kecil

    Perasaan marah, kecewa, serta sedih merupakan perasaan yang kerap kali ditemukan sesaat setelah si kecil mengalami kekalahan. Pada beberapa anak mungkin kurang bisa mengekspresikan apa yang benar-benar ia rasakan.

    Kehadiran Ibu dan ayah dalam cara mendidik anak untuk memahami apa yang benar-benar sedang ia rasakan sangat penting, terutama untuk membantu kecerdasan emosionalnya. Bantu mereka untuk mengetahui dan mempelajari apa saja perasaan-perasaan yang dirasakan, serta menggali cara menangani dan mengekspresikan perasaan-perasaan tersebut secara sehat.

    Selain itu, beri waktu dan kesempatan kepada si kecil untuk benar-benar mengutarakan apa yang ia harapkan serta apa yang terjadi sebenarnya saat sedang bertanding. Pada situasi ini, kita sebagai orangtua diminta secara tidak langsung oleh si kecil untuk benar-benar hadir dan menjadi pendengar yang baik baginya.

    Walau mungkin kendala yang dialami oleh sang anak belum dapat ditemukan saat ia sedang bercerita, tanggapan yang diutarakan oleh Ibu dan ayah akan menciptakan rasa nyaman serta perasaan dimana si kecil “merasa didukung” oleh keluarganya, their number one support system!


  2. Be a good role model

    Apakah good role model tandanya selalu memperlihatkan yang baik-baik saja di depan si kecil? Jawabannya tentu tidak, karena anak-anak kita butuh untuk melihat orangtua mereka berjuang dan berusaha dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

    Pada hal ini, si kecil mungkin dapat melihat bagaimana Ibu merespon keadaan yang tertekan, seperti contoh saat panik karena lupa menaruh handphone di mana, atau mengutuk ketika baju tertumpah noda, tetapi kita memperlihatkan respon yang negatif. Hal tersebut juga akan secara “mentah” diterima oleh si kecil dan tak lama setelahnya, ia akan meniru apa yang telah kita perlihatkan padanya.

    Kim Metcalfe, seorang pensiunan profesor di bidang psikolog pendidikan anak usia dini dan pengarang dari Let’s Build ExtraOrdinary Youth Together, mengatakan bahwa anak masih menerima informasi yang ia lihat secara “blak-blak-an”, walau setelahnya kita menjelaskan apa yang baru saja kita lakukan bukan merupakan suatu perilaku yang patut untuk dicontoh. Sehingga, sebelum memperlihatkan perilaku yang dapat berdampak buruk secara langsung kepada si kecil, sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu respon yang ingin dikeluarkan.

    Laman parents.com menuliskan bahwa ungkapan yang diutarakan di depan si kecil ketika kita sedang melakukan kesalahan dalam melakukan sesuatu pun juga turut memberikan dampak. Beberapa ungkapan yang dimaksud seperti, “Aku akan berusaha lebih keras lagi dari yang sebelumnya”, atau “Aku sudah pernah melakukannya, aku pasti bisa melakukannya lagi.” dan ungkapan yang menunjukkan rasa tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan, seperti “Aku minta maaf karena lupa membawa baju mandimu.” kepada si kecil.

    Hal ini menunjukkan bahwa orang dewasa juga dapat melakukan kesalahan. Beberapa contoh perilaku tersebut dapat berpengaruh pada si kecil, di mana ia akan melihat bahwa pertandingan tidak selalu berisi tentang kemenangan, tetapi juga proses pencapaian yang dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik, salah satunya dengan tidak takut melakukan kesalahan dan dapat memiliki tanggungjawab atas setiap perilaku yang dilakukannya dalam mencapai sebuah keberhasilan.

    Hal ini juga berlaku ketika kita sedang menemani si kecil mengikuti pertandingan, untuk memberikan dukungan secara langsung. Saat pertandingan berlangsung, tak jarang kita sebagai orangtua juga “terbawa suasana” pertandingan, sehingga sesekali kita berteriak untuk memberikan semangat. Usahakan untuk konsisten memberikan bahkan “membakar” semangat si kecil dengan memberikan sedikit goyangan semangat dan membuat yel-yel. Si kecil akan melihat bagaimana dukungan yang diberikan kepadanya, ia akan melihat bagaimana Ibu dan ayah tidak pernah menyerah kepadanya.


  3. Berikan pujian kepada kemampuan dan usahanya

    Memberikan pujian menjadi hal yang dinantikan si kecil sesaat setelah ia menyelesaikan pertandingan, apalagi saat ia mampu memenangkan pertandingannya tersebut. Tetapi, memberikan pujian yang berlebihan atau hanya menekankan pujian pada saat anak memperoleh kemenangan, akan menuntun anak pada pemikiran bahwa menang menjadi tujuan utama dalam mengikuti sebuah pertandingan. Hal ini juga akan membawa anak pada pemikiran bahwa menang jauh lebih penting dibandingkan melakukan kebaikan.

    “Lalu, pujian seperti apa yang dapat diberikan kepada si kecil? Bukannya jika ia menang memang ia pantas untuk mendapatkan pujian?”. Benar sekali, Bu, bukan berarti Ibu tidak bisa memberikan pujian karena tidak ingin sang anak besar kepala atau “haus pujian”.

    Ibu dan ayah bisa memberikan pujian terhadap bagaimana usaha yang si kecil lakukan sehingga ia bisa mendapatkan hasil yang luar biasa, menang atau kalah. Dengan begitu, cara mendidik anak seperti ini akan membuat anak tetap rendah hati dan menghargai sebuah proses dalam mencapai kemenangan atau keberhasilan.

    Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, memberi pujian secara berlebihan juga akan berdampak buruk pada perkembangan karakter sang anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh psikolog Dan Kindlon, Ph. D., pengarang dari Tough Times, Strong Children menjelaskan bahwa memberi pujian yang berlebihan akan membuat si kecil “butuh” diberikan pujian secara konsisten.

    Jika terus-menerus dilakukan, si kecil akan merasa cemas sebelum bertanding ketika belum mendapatkan pujian yang positif. “Anak seharusnya merasa percaya diri karena ia mampu menghadapi pertandingan yang akan dihadapinya, bukan karena pujian yang diberikan betapa hebat si kecil setiap pertandingan yang diikutinya.”, ungkap Kindlon.


  4. Ajari si kecil tentang sportivitas

    Si kecil penting untuk mengetahui bagaimana memiliki sikap sportivitas saat bermain atau mengikuti sebuah pertandingan. Umumnya, sportivitas ditemukan dalam olahraga, tetapi sikap ini sangat relevan di semua jenis pertandingan selain olahraga.

    Sportivitas dibutuhkan supaya si kecil dapat memahami bertanding secara sehat, yaitu secara adil serta mengetahui batasan dan peraturan apa saja yang harus diikuti sepanjang jalannya pertandingan. Tak hanya itu, berikut cara mendidik anak untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam sikap sportif atau sportivitas:

    • Bermain sesuai peraturan

    • Menjadi bagian dalam tim, termasuk pembagian peran yang adil serta sesuai kemampuan masing-masing tim

    • Menjadi teman yang baik, salah satunya belajar empati terhadap tim atau lawan yang butuh kehadiran kita, seperti cedera, merasa sedih karena kalah atau gagal, dengan memberikan kalimat yang memberi semangat

    • Menerima kesalahan yang dilakukan sendiri dengan rasa tanggung jawab dibandingkan dengan ‘ngeles’ atau bersilat lidah bahwa kesalahan bukan berasal darinya (menyalahkan keadaan atau orang lain)

    • Membicarakan lawan main dengan sikap kurang respek terhadap kemampuan lawan

    • Memiliki sikap respek jika menang, dan tetap bersyukur jika kalah dan mencoba untuk menerima serta mencoba lagi di pertandingan berikutnya


  5. Bantu si kecil pelajari apa itu kekalahan dan persiapkan diri

    Kekalahan merupakan salah satu aspek yang tidak bisa dihindari ketika sedang mengikuti sebuah pertandingan, sehingga si kecil harus mengetahui bagaimana menerima perasaan ketika kalah, serta mencari tahu bagian mana yang harus ditingkatkan berdasarkan pengalaman sebelumnya.

    Laman novakdjokovicfoundation.org menuliskan bahwa berdasarkan penelitian, anak yang memahami kekalahan dalam pertandingan dapat mengajarkan mereka perasaan empati dan mampu mengatasi kekalahan yang diterimanya.

    Cara mendidik anak dengan membiarkan si kecil mengalami kekalahan dapat memberi pembelajaran di mana ia harus berusaha lebih giat dan paham bahwa segala sesuatu tidak semudah membalikkan telapak tangan, dengan kata lain tidak hanya didapatkan begitu saja tanpa usaha. Selain itu, si kecil juga dapat menerima kekalahan dengan ikhlas.


Bagaimana jika si kecil merasa putus asa terlebih dahulu sebelum mengikuti pertandingan?

Perasaan kecewa yang dirasakan si kecil ketika dirinya mengetahui bahwa ia tidak mampu memenangkan sebuah pertandingan, kemungkinan besar akan menuntunnya pada perasaan putus asa dan patah semangat dalam mengikuti pertandingan yang selanjutnya.

Hal ini merupakan tantangan terbesar dalam cara mendidik anak untuk benar-benar bisa memahami arti dari sebuah kemenangan dan kekalahan dalam pertandingan. Weinman pun mengatakan bahwa hal ini wajar terjadi pada anak-anak yang beberapa kali mendapati dirinya kalah dalam sebuah pertandingan. Ia mengatakan bahwa kita sebagai orangtua harus terlebih dahulu memahami bahwa kekalahan bisa menjadi sebuah pelajaran yang berharga.

Ibu dan ayah dapat menerapkan cara mendidik anak dengan bantu si kecil memahami arti dari sebuah perjuangan untuk mendapatkan kemenangan, bukan hasil akhir untuk menang. Seperti contoh, ketika kita sedang berada dalam pertandingan tenis dan kita berpikir bahwa yang harus dilakukan dalam pertandingan ini adalah menang, tetapi kita sedang dihadapkan pada kondisi “sudah pasti kalah” karena lawan lebih ‘jago’ kita, pasti kita akan berpikir untuk menyerah sebelum bertanding karena hasilnya tidak sesuai yang diinginkan.

Tetapi, jika kita memilih untuk berpikir “saya pasti kalah tapi hal ini akan menjadi sebuah pertandingan yang menyenangkan, bisa jadi kemampuan saya semakin meningkat, dan lawan saya pasti menguji kemampuan yang saya miliki”, maka ketakutan kita akan semakin berkurang, dan berubah menjadi semangat untuk melakukan sebuah pertandingan, apa pun hasil yang nanti akan dicapai.

Cara mendidik anak untuk siap menerima kekalahan mungkin menjadi suatu hal yang menantang untuk kita para orangtua, Bu. Karena bagi kita orang dewasa pun juga akan merasakan hal yang sama jika menerima sebuah kekalahan. Tapi, jika cara mendidik anak yang kita terapkan kepada si kecil mengenai pentingnya usaha dan perjuangan, niscaya si kecil akan merasa bahwa kekalahan bukan akhir dari segalanya.

Again, kekalahan akan dijadikannya sebagai “pecutan” untuk dapat meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu hal penting lagi yang harus kita lakukan dalam menerapkan cara mendidik anak ketika ia mengalami kekalahan adalah sabar nih, Bu, supaya si kecil bisa menemukan ritmenya sendiri untuk memperbaiki apa yang harus diperbaiki, dan meningkatkan apa yang harus ditingkatkan.

(Hadassah)