Balita

7 Kalimat Terlarang dalam Cara Mendidik Anak yang Baik

7 Kalimat Terlarang dalam Cara Mendidik Anak yang Baik

Banyak cara mendidik anak agar ia menjadi pribadi yang matang ketika dewasa. Orang tua mungkin memilih untuk menerapkan aturan-aturan baku dengan tetap mengedepankan kompromi bersama anak, namun ada juga orang tua yang lebih memilih untuk mengarahkan setiap jengkal kebiasaan anaknya tanpa kompromi.

Ruby Natale PhD, PsyD, seorang profesor di bagian anak-anak Klinik Kedokteran University of Miami mengatakan apapun pola parenting yang dipilih oleh orang tua, anak tidak boleh mengalami kekerasan fisik, apapun bentuknya. Dengan kata lain, orang tua bahkan tidak boleh menampar, mencubit, bahkan memukul bokong anak, sekalipun mereka berdalih bahwa itu merupakan salah satu cara mendidik anak mereka sendiri.

Menurut Ruby, kekerasan hanya akan membuat anak menjadi tidak percaya dengan orang tua sehingga mereka cenderung tidak akan mendengarkan segala kata maupun nasehat orang tua. Untuk jangka panjang, menerapkan kekerasan fisik sebagai cara mendidik anak berpotensi membuat anak tumbuh sebagai orang yang kasar dan menerapkan cara mendidik anak yang sama dengan yang pernah dialaminya.

“Banyak orang tua menerapkan cara mendidik anak yang sama dengan pola parenting orang tua mereka dahulu, sekalipun metode parenting itu bisa dibilang kasar,” kata Ruby.


Prinsip Cara Mendidik Anak yang Baik

Dalam bukunya yang berjudul The Ten Basic Principles of Good Parenting, pakar parenting Laurence Steinberg, PhD, menyatakan orang tua mungkin memiliki cara mendidik anak yang berbeda-beda. Biasanya, mereka mendasarkan pola parenting itu kepada tujuan mendidik sang anak itu sendiri.

Apakah orang tua ingin dianggap sebagai bos alias pemimpin dalam pola anak-orang tua? Ataukah orang tua ingin menanamkan rasa takut? Ataukah ingin menjadi orang tua yang disegani memang karena kesadaran anak itu sendiri? Dan yang terakhir, orang tua bisa memposisikan dirinya sebagai teman anak agar anak lebih percaya diri dan mau lebih terbuka terhadap orang tua?

Apapun pilihan orang tua, cara mendidik anak yang baik selalu akan mendukung anak untuk berempati, menanamkan kejujuran, kemandirian, kontrol diri, kebaikan, kerja sama, dan kebahagiaan. Cara mendidik anak yang baik juga mendukung anak untuk mengembangkan sikap ingin tahu yang besar, motivasi, dan semangat untuk mencapai tujuan tertentu.

Di pihak lain, orang tua juga selalu melindungi anak dari kecemasan yang berlebihan, depresi, penyimpangan pola makan, perilaku anti sosial, serta penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.

Lebih jauh, Steinberg mengungkapkan 10 prinsip dasar mengenai cara mendidik anak yang baik, sebagai berikut:


  1. Contohkan hal-hal baik

    Ada dua cara dalam menerapkan prinsip pertama dan yang paling utama ini. Pertama, ibu dan ayah jangan melakukan hal yang tidak ingin dilakukan oleh anak. Kedua, aturan atau larangan bagi anak berarti juga aturan dan larangan bagi orang tua. Kedua hal ini akan membangun rasa hormat dan kepercayaan dalam diri anak terhadap kedua orang tuanya.

    Misalnya, ibu dan ayah melarang anak untuk menonton televisi di waktu makan, maka ibu dan ayah juga tidak boleh menonton televisi ketika makan. Lakukan hal ini secara konsisten, terutama ketika berada bersama anak-anak.

    “Ini adalah prinsip paling penting. Anak selalu menjadikan orang tua sebagai role model, jadi rencanakan segala sesuatu dan konsisten dalam penerapannya,” ujar Steinberg.


  2. Tidak ada istilah ‘terlalu sayang’

    Sebagai bentuk cinta kepada anak, orang tua akan melakukan berbagai cara untuk menjamin anak mereka bahagia dan menjadi pribadi yang sukses di kemudian hari. Bagi Steinberg, cara mendidik anak dengan memperlihatkan rasa sayang yang besar terhadap anak seperti ini tidak salah karena memang tidak ada istilah ‘terlalu sayang kepada anak’ dalam dunia parenting.

    Hanya saja, Steinberg mengingatkan cara menyayangi anak bukan hanya dengan memberikan benda-benda yang diidamkan anak maupun mengabulkan semua permohonannya. Bersikap tegas terhadap anak juga bisa diartikan sebagai wujud kasih sayang asalkan tidak dibarengi dengan kekerasan fisik.


  3. Menjadi bagian dalam hidup anak

    Pepatah yang mengatakan bahwa uang bukanlah cara mendidik anak yang baik, menurut Steinberg, memang ada benarnya. Anak membutuhkan kehadiran orang tua di dalam hidupnya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik, melainkan mengisi pikiran dan hatinya. Misalnya, ibu mungkin tidak mampu membantu anak menyelesaikan pekerjaan rumah matematikanya, atau mendaftarkannya ikut les matematika, tapi setidaknya ibu selalu mendampingi dan menyemangati anak untuk tidak menyerah.

    ”Menjadi orang tua yang selalu hadir di dalam hidup anak memang membutuhkan usaha lebih dan kerja lebih keras. Mengambil hati anak juga butuh proses yang terkadang sampai mengorbankan kepentingan orang tua demi memenuhi kebutuhan anak. Hadirlah dalam hidup anak secara fisik maupun mental,” kata Steinberg.


  4. Beradaptasi

    Setiap anak memiliki sifat berbeda-beda, begitupun ketika ia tumbuh dari bayi menjadi anak-anak kemudian beranjak remaja. Tentu orang tua harus beradaptasi dalam menerapkan cara mendidik anak yang sesuai di setiap tahap pertumbuhannya. Tidak mungkin remaja usia 13 tahun diperlakukan sama dengan anak usia 3 tahun, bukan?


  5. Tetapkan dan disiplinkan aturan 

    Ketika anak tidak diberi batasan-batasan tertentu ketika ia masih berusia dini, maka akan sangat sulit membuatnya menjadi pribadi yang menaati aturan ketika dewasa. Anak juga akan cenderung sulit mengatur dirinya sendiri ketika beranjak dewasa dan orang tuanya sudah tidak selalu mendampinginya. Dengan kata lain, aturan yang ibu dan ayah buat akan menjadi nilai dan norma yang akan selalu dipegang anak, bahkan ketika ia sudah tidak lagi tinggal bersama orang tua.

    Meskipun demikian, ada kalanya ibu harus memberi kebebasan pada anak untuk melakukan hal-hal yang disukainya. Di sekolah, misalnya, ibu tidak bisa mengaturnya berbuat sesuai norma dan nilai di rumah sehingga anak bisa saja tidak menuruti aturan yang berlaku di rumah.

    “Menetapkan batasan tertentu kepada anak mengajarkannya mengenai kontrol diri, sedangkan memberinya kebebasan membantu anak mengembangkan kemandiriannya. Untuk bisa sukses dalam hidup, anak harus menyeimbangkan keduanya,” kata Steinberg.


  6. Biarkan anak mandiri

    Pada suatu titik, anak ingin menjadi pribadi yang mandiri. Ketika ia masih berusia 4 tahun, misalnya, ia mungkin meminta untuk mandi sendiri, makan sendiri, atau memakai sepatu sendiri tanpa bantuan dari orang tua. Atau ketika remaja, ia tidak lagi ingin diantar orang tuanya ke sekolah dan memilih untuk naik kendaraan umum.

    Sayangnya, banyak orang tua yang menganggap  hal ini sebagai bentuk pembangkangan dan ketidakpatuhan. Padahal, ini hanyalah bagian dari sifat alamiah manusia, yaitu ingin memiliki kontrol atas dirinya maupun segala kegiatan yang dilakukannya dibanding selalu merasa berada di bawah kontrol orang lain, sekalipun orang lain itu adalah orang tuanya sendiri.


  7. Konsisten

    Ketika orang tua tidak menerapkan aturan dengan disiplin tinggi dan konsistensi, maka perilaku anak yang tidak sesuai ekspektasi adalah karena kesalahan orang tua, bukan anak itu sendiri. Ketika anak melihat bahwa aturan yang ibu terapkan tidak konsisten, berbeda setiap hari, ia akan menjadi bingung dan lama-kelamaan berlaku sesuka hatinya juga.

    Untuk mendisiplinkan cara mendidik anak yang baik, ibu perlu menentukan aturan mana yang tidak bisa dinegosiasikan dan konsisten menerapkannya. Misalnya, anak hanya boleh menonton televisi setelah mengerjakan pekerjaan rumahnya, maka terus terapkan aturan itu. Sekali saja ibu memperbolehkan anak berlaku sebaliknya, maka ia akan kembali meminta hal yang sama di kemudian hari, bahkan bisa marah jika permintaannya tidak dipenuhi.


  8. Jangan memukul

    Seperti dijelaskan sebelumnya, menerapkan pukulan sebagai salah satu cara mendidik anak bukanlah hal yang baik. Steinberg menjelaskan anak yang sering dipukul oleh orang tuanya akan mengakibatkan ia menjadi anak yang suka berkelahi, suka merundung teman-temannya, serta mengedepankan kekerasan fisik sebagai solusi atas setiap masalah.

    “Ada banyak bukti yang mengatakan bahwa anak yang sering mendapat kekerasan fisik akan tumbuh menjadi anak yang agresif yang kemudian juga suka bersikap kasar terhadap anak lain,” ujar Steinberg.

    Daripada memukuli anak, orang tua bisa memberlakukan time out sebagai cara mendidik anak yang baik jika ia terbukti melakukan hal-hal tak terpuji. Time out bisa berbentuk banyak hal, seperti mendudukkannya di kursi atau membiarkannya berada di kamar dengan harapan anak akan merenungkan kesalahannya dan tidak mengulanginya di masa mendatang.


  9. Jelaskan alasan di balik aturan yang dibuat orang tua

    Setiap aturan yang dibuat oleh orang tua harus bisa dijelaskan secara logis kepada anak agar mereka bisa mengikuti dengan benar pula. Nah, cara menjelaskan kepada anak juga harus disesuaikan dengan usianya ya, Bu. Kadang kala, anak yang sudah lebih dewasa akan banyak mempertanyakan setiap keputusan maupun larangan yang dibuat oleh orang tua terhadapnya sehingga ibu dan ayah juga harus bisa meyakinkannya bahwa setiap keputusan yang diambil orang tua memang dimaksudkan untuk kebaikan anak itu sendiri.


  10. Hormati anak

    Cara terbaik untuk mendapatkan rasa hormat dari anak ialah dengan juga memperlakukannya dengan hormat. Beri kesempatan kepada anak untuk mengutarakan pendapat seperti ibu memberi kesempatan orang lain untuk berpendapat. Selain itu, bicaralah dengan anak menggunakan bahasa dan gaya yang sopan, hargai pendapatnya, tatap matanya setiap kali berkomunikasi dengan anak, kalau perlu berikan pujian kepadanya.

    Cara mendidik anak seperti ini bisa menular kepada anak. Ketika tidak sedang didampingi orang tua, anak akan melakukan hal yang sama kepada temannya. Dengan kata lain, hubungan ibu dengan anak akan menjadi fondasi hubungan anak dengan orang lain.


Jangan Pernah Katakan Ini kepada Anak

Cara mendidik anak yang baik juga bisa dilihat dari bagaimana orang tua berkomunikasi dengan anak-anaknya. Pemilihan kata yang baik bisa membentuk mental anak yang baik pula, sedangkan penggunaan kata yang buruk oleh orang tua bisa mengakibatkan anak tidak percaya diri.

Berikut 7 kalimat yang sebaiknya tidak diucapkan oleh orang tua kepada anak beserta alternatifnya.


  1. “Dengarkan kata-kata orang dewasa!”

    Yang anak pikirkan: “Semua orang dewasa pasti pintar dan tahu yang terbaik sehingga saya harus selalu mengikuti kata-kata mereka.”

    Pemikiran seperti ini bisa berbahaya karena anak mungkin akan mempercayai semua orang dewasa, sekalipun itu adalah orang asing.

    Yang seharusnya orang tua katakan: “Dengarkan kata-kata ibu dan ayah ya.”

    Perkataan seperti ini bukan hanya akan membuat anak tidak lekas percaya dengan sembarang orang dewasa, namun juga menumbuhkan rasa percaya pada anak bahwa orang tua merekalah yang harus dijadikan panutan lewat kata-kata yang keluar dari mulut mereka.


  2. “Berhenti menangis!”

    Yang anak pikirkan: “Menangis dan menunjukkan emosi itu tidak baik. Saya akan menangis sendiri saja di kamar atau di manapun yang penting tidak ketahuan ibu dan ayah.”

    Cara mendidik anak dengan mengatakan hal tersebut bukan tidak mungkin akan menghasilkan anak yang tertutup, penyendiri, dan tidak percaya diri. Para psikolog bahkan percaya bahwa anak yang sering diperintahkan orang tua untuk berhenti menangis bisa terganggu kondisi psikologisnya bahkan sampai melahirkan sifat agresif dalam diri anak.

    Yang seharusnya orang tua katakan: “Kenapa kamu menangis? Coba cerita ke ibu.”

    Kata-kata ini akan memancing anak untuk menumpahkan emosinya. Jika anak tidak juga menceritakan mengenai penyebabnya menangis, ibu bisa memancingnya dengan kalmat “kamu menangis karena jatuh? Mana yang sakit?” atau sebagainya.


  3. “Jangan serakah!”

    Yang anak pikirkan: “Saya harus berbagi segala hal yang saya miliki. Tidak ada satupun benda di dunia ini yang bisa saya miliki sendiri.”

    Berbagi merupakan sikap bagus yang harus ditanamkan oleh orang tua sejak anak usia dini. Tetapi, para ahli parenting percaya bahwa anak di bawah usia 4 tahun memang belum fasih mengenal konsep ‘berbagi’ ini karena ia sudah memiliki sense of belonging, yakni rasa memiliki terhadap barang tertentu yang diklaim sebagai miliknya.

    Yang seharusnya orang tua katakan: “Teman kamu ini mau pinjam mainan kamu, boleh apa tidak?” atau “Ayo tukeran mainan dengan teman ini.”

    Dengan demikian, anak akan memiliki kesempatan untuk memproses apakah ia akan melepas mainan miliknya atau tidak. Jika anak memang menolak untuk berbagi, sebaiknya orang tua tidak perlu memaksakan ya.


  4. “Siapa yang mengajari berbuat nakal seperti ini?”

    Yang anak pikirkan: “Ibu dan ayah tidak tahu kalau ini murni perbuatan saya.”

    Anak akan berpikir bahwa ia bisa lolos dari hukuman dengan melimpahkan kesalahan kepada orang lain atas perbuatan yang sebetulnya murni merupakan kenakalan pribadinya.

    Yang seharusnya orang tua katakan: “Kenapa kamu berbuat seperti itu?”

    Beri waktu kepada anak untuk menjelaskan perbuatannya. Pertanyaan terbuka ini memberikan kesempatan bagi ibu dan ayah untuk mengetahui apakah perbuatan tersebut murni inisiatif dirinya atau ada orang lain yang memberi perintah kepada anak. Setelahnya, beritahu kepada anak bahwa tindakan tersebut tidak benar dan tidak patut untuk diulangi di masa depan.


  5. “Kenapa kamu tidak bisa seperti dia?”

    Yang anak pikirkan: “Saya lebih buruk dari orang lain. Percuma melakukan ini dan itu, tidak akan ada usaha saya yang berhasil.”

    Membanding-bandingkan anak sendiri dengan orang lain, termasuk teman sebayanya, bisa mengakibatkan kepercayaan diri anak menurun drastis. Pada satu titik, ia mungkin akan berpikir bahwa apapun yang dilakukannya tidak akan berhasil. Jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam jangka panjang, anak bisa mengalami stres hingga depresi.

    Yang seharusnya orang tua katakan: “Kamu bisa!”

    Jadikan kehebatan orang lain sebagai motivasi bagi anak. Ibu dan ayah harus terus menyemangati anak sambil menekankan bahwa ibu akan tetap menyayanginya terlepas dari ia bisa atau tidak mengerjakan sesuatu. Ingat ya, Bu, setiap anak memiliki bakat yang berbeda. Jika ia tidak pandai dalam hal akademis, misalnya, mungkin bakatnya ada pada menyanyi, menari, atau bidang olahraga.


  6. “Kita bicarakan ini di rumah!”

    Yang anak pikirkan: “Mungkin saya akan dihukum di rumah. Ibu dan ayah membenci saya. Saya tidak ingin pulang ke rumah.”

    Saat anak melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ekspektasi orang tua di ruang publik, usahakan untuk menyelesaikannya saat itu juga dengan cara mendidik anak yang baik, sekalipun ibu dan ayah mungkin akan menjadi pusat perhatian. Jangan menunda ‘hukuman’ baru saat sampai di rumah karena semakin lama anak merasa dimusuhi orang tuanya, selama itu juga pikirannya tidak tenang sehingga anak bisa menjadi stres.

    Menunda hukuman bagi anak hingga saat tiba di rumah juga bisa membuat anak mengasosiasikan rumah sebagai tempat yang menakutkan, padahal rumah seharusnya menjadi tempat anak untuk mencari perlindungan. Cara mendidik anak yang tidak sehat seperti ini sebisa mungkin dihindari untuk mencegah perasaan anak terluka dalam jangka panjang ya, Bu.

    Yang seharusnya orang tua katakan: “Ibu marah kalau kamu melakukan hal ini karena itu tidak baik.”

    Jelaskan segala hal, sekalipun hal-hal yang tidak disukai orang tua, dengan rasional. Dengan cara mendidik anak seperti ini, anak diharapkan tidak akan mengulangi hal yang sama di kemudian hari, salah satunya karena tidak ingin menyakiti perasaan orang tuanya.


  7. “Kamu tidak akan mengerti karena masih anak-anak.”

    Yang anak pikirkan: “Saya benar-benar ingin tahu. Saya akan bertanya kepada orang lain.”

    Anak suka bertanya banyak hal, sekalipun itu adalah hal yang tidak masuk akal. Tetapi, merupakan tugas orang tua untuk selalu menyediakan jawaban atas pertanyaan anak tersebut. Jika tidak, ia akan menanyakan hal yang sama kepada orang lain dan mungkin mendapatkan jawaban dari orang yang kurang kompeten.

    Yang seharusnya orang tua katakan: “Ibu belum tahu jawabannya, nanti kita bahas sama-sama ya.”

    Jangan abaikan pertanyaan anak agar tidak kehilangan kepercayaan anak. Jika memang ibu dan ayah belum mengetahui jawabannya, jelaskan hal itu kepada anak dan kalau perlu ajak anak untuk mencari jawabannya bersama-sama.


(Asni / Dok. Freepik)