Sudahi Sekarang! Mengancam Anak Tak Membuat Mereka Disiplin
Tahukah Ibu bahwa mengancam anak dengan ancaman kosong tidak akan merubah kebiasaan buruk anak dan hanya akan membawa dampak buruk bagi mereka? Yup! Meski kebiasaan mengancam anak balita sering dilakukan orang tua generasi sebelumnya, namun kebiasaan ini justru tidak dianjurkan untuk diteruskan.
Mengapa ancaman kosong tidak efektif untuk membuat anak menurut? Simak ulasannya dalam artikel ini ya, Bu!
Ancaman kosong untuk anak
Ancaman kosong merupakan tindakan menakut-nakuti anak tanpa realisasi. Akhirnya malah anak cenderung meremehkan ancaman orang tuanya.
Ancaman kosong umumnya berupa intimidasi. Anak pun fokus pada hukuman saja karena takut dan malah menentang nilai dari edukasi baik yang ditujukan untuk mereka.
Bahkan, rasa takut ini tidak akan membuat anak disiplin saat jauh dari orang tuanya. Ketika anak tidak bersama orang tua, anak justru cenderung akan melakukan apa yang dilarang.
Ancaman ini akan membuat anak berkeinginan kuat untuk melampaui batas dari ancaman yang diberikan. Anak justru berpikir untuk melakukan apa yang sedang diancamkan oleh orang tuanya.
Jadi nggak heran kalau beberapa anak justru menantang orang tuanya untuk segera melakukan ancamannya, karena mereka yakin itu hanya ancaman kosong yang tidak akan dilakukan oleh orang tuanya.
Nggak hanya itu, dalam laman Fatherly juga disebutkan bahwa mengancam anak bukan hal sepele. Ini juga mengancam identitas mereka, karena seolah anak sedang diberitahu bahwa dirinya tidak berarti jika melakukan beberapa hal tertentu.
Mengancam anak dengan ancaman kosong merupakan kebiasaan yang diwariskan dari orang tua sebelumnya. Menurut Psikolog dari Universitas Autonomous, Guerrero, Maricela Fonseca Analco, dalam laman Exploring Your Mind, orang tua yang mengancam anak melakukan ini karena pengalamannya sendiri menerima hal yang sama di masa lalu. Nah, inilah saatnya untuk para orang tua menghentikan ancaman kosong dan mengubahnya dengan edukasi yang tepat.
Dampak mengancam anak dengan ancaman kosong
1. Ancaman memengaruhi harga diri anak
Anak jadi merasa dirinya tidak berarti karena ancaman yang mereka terima terasa merendahkan harga diri mereka. Di masa depan, justru ini akan melahirkan sikap agresif yang menentang orang tua.
2. Menyebabkan anak stres
Stres karena mengancam anak akan menyebabkan perubahan karakter dan sikap anak.
3. Ancaman tidak mengajarkan tanggung jawab
Anak hanya akan memikirkan cara untuk menjauhi hukumannya. Bukannya menerima hukumannya dengan rasa tanggung jawab.
4. Ancaman membolehkan tindakan agresif
Karena terbiasa diancam untuk hal-hal tertentu, anak jadi merasa kalau mengancam adalah hal yang biasa dan diperbolehkan. Mereka akan melakukan hal yang sama pada orang di sekitar atau melakukannya pada anak-anak mereka di masa depan. Inilah mengapa ancaman kosong bersifat diturunkan.
5. Mengancam hanya membuat orang tua kehilang otoritas pada anak
Otoritas dan ketakutan adalah dua hal yang berbeda. Orang tua yang terbiasa mengancam anak melihat dua hal ini sama. Padahal rasa takut akan membuat anak tetap melakukan hal yang dilarang saat jauh dari orang tua.
Sedangkan otoritas tercermin dari anak tetap patuh pada orang tua di manapun mereka berada. Mengancam hanya akan membuat jarak antara hubungan orang tua dan anak mereka.
Cara mengubah ancaman kosong dengan edukasi yang lebih baik
Menurut Psikolog Dr. Nancy Darling, untuk membantu anak disiplin pada aturan ajarkan konsekuensi yang jelas dan konsisten. Konsekuensi ini perlu memiliki nilai:
- Kejujuran
- Kebaikan
- Integritas
- Keamanan
Sebagai contoh, saat mengancam anak dengan ancaman kosong, orang tua akan mengatakan, “Kalau Adik nggak mau beresin mainan, Ayah buang semua mainannya, ya!”.
Alih-alih mengatakan hal tersebut, gunakan cara ini:
- Beritahu anak tentang tanggung jawab: “mainan Adik adalah tanggung jawab Adik. Termasuk untuk dijaga, dirawat, disayang, dan dirapikan setelah bermain.”
- Beritahukan konsekuensi apa jika mereka tidak melakukan hal yang dimaksud: “semua mainan ini akan cepat rusak, mudah hilang, dan kamar Adik jadi makin berantakan kalau Adik nggak mau beresin mainan. Sekarang, tolong rapikan mainannya, ya! Ibu beri waktu 10 menit sambil Ibu temani di sini ya. Kalau setelah 10 menit Adik masih belum selesai bereskan mainan, Ibu yang akan bereskan, tapi Adik nggak bisa main pakai mainan ini lagi seharian besok.”
- Jika dalam rentang waktu yang telah orang tua berikan ternyata anak belum membereskan, maka orang tua bisa melaksanakan konsekuensi yang sudah disampaikan pada anak sebelumnya. Tentu akan ada drama tangisan dan merajuk. Tapi, teguhlah, Parents! Ini akan baik untuk mengajarkan anak tentang nilai-nilai dari perilaku kita.
Tips mengajarkan konsekuensi agar anak disiplin
1. Apresiasi perilaku baik anak
Setiap anak patuh, ucapkan terima kasih dan beri reaksi positif supaya ia terbiasa dan bersemangat untuk mengulangi hal tersebut.
2. Biarkan konsekuensi berjalan natural
Misalnya ketika anak jatuh karena tidak memperhatikan jalan, hindari menyalahkan benda atau orang lain. Tenangkan anak, cek kondisinya, obati bila ada luka, lalu beri pengertian kalau kita berjalan tidak hati-hati, maka besar kemungkinan kita akan jatuh.
3. Terapkan konsekuensi yang logis
Terapkan aturan sendiri yang disepakati bersama. Misalnya jika anak bermain gadget lebih dari waktu yang ditentukan, maka Ayah atau Ibu berhak memotong jatah bermain gadget di hari berikutnya.
Rantai ‘mengancam anak’ sebagai sebuah budaya dalam keluarga sebaiknya segera diputus dan disudahi. Efeknya muncul dalam jangka panjang, di mana Parents akan menumbuhkan generasi yang beradab dan bertanggung jawab.
Editor: Aprilia