Keluarga

11 Bentuk Kebohongan Orang Tua kepada Anak

11 Bentuk Kebohongan Orang Tua kepada Anak

Semua orang tua tentu setuju bahwa kebohongan adalah hal yang harus dihindari dalam pola asuh anak alias parenting. Lalu, bagaimana jika kebohongan itu dilakukan demi kebaikan atau yang biasa kita kenal dengan istilah 'kebohongan putih' alias white lies?

Kebohongan putih bisa diartikan sebagai kebohongan yang tujuannya bukan menyakiti lawan bicara. Dalam hal mengasuh anak, misalnya, orang tua kadang-kadang melakukan kebohongan ini, baik secara sadar maupun tidak sengaja, sekali-dua kali dalam satu hari.

Ibu pernah melakukan kebohongan putih ini? Kalau iya, tenang, ibu tidak sendiri.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan melalui situs Irish Examiner, 45% orang tua melakukan kebohongan demi kebaikan kepada anak-anak mereka setidaknya satu kali dalam seminggu. Seperlima (20%) di antaranya mengaku berbohong sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan 'ajaib' yang kerap dilontarkan oleh anak-anak mereka.

Apakah setelah berbohong tersebut orang tua merasa bersalah? Ternyata, 58% ibu-ibu mengatakan sebaliknya. Bagi mereka, melakukan kebohongan putih merupakan bagian dari seni menjadi orang tua. Mereka justru merasa bangga karena bisa menjawab pertanyaan aneh dari anak-anak, sekalipun apa yang mereka katakan tidak sepenuhnya benar.

 

11 Kebohongan yang Sering Dilakukan Orang Tua

Menjadi orang tua memang banyak tantangannya, terlebih bagi orang tua yang memiliki anak dengan usia antara 2 hingga 4 tahun dengan rasa ingin tahu yang tinggi. 

Kadang kala, si anak tidak segan melontarkan pertanyaan yang banyak dan aneh-aneh. Apa yang mereka lihat, dengar, atau rasakan, itu pula yang terlontar melalui bibir anak-anak. Yang kadang terdengar menyebalkan bagi orang dewasa, pernyataan itu kerap diulang-ulang.

Di usia 2-4 tahun, anak juga belum bisa membedakan mana hal yang baik atau buruk. Kadang kala, mereka hanya ingin semua keinginan terpenuhi. Jika tidak, maka mereka akan mengeluarkan jurus pamungkas, yaitu menangis, berteriak-teriak, bahkan tantrum.

Di sinilah kadang-kadang orang tua, sadar atau tidak, membalasnya dengan jurus 'kebohongan putih'. Orang tua hanya ingin anak berhenti mengulang-ulang pernyataan atau pertanyaan serta sekedar berhenti mengamuk.

Apa saja kebohongan putih yang biasa diluncurkan orang tua?

  1. Itu tidak dijual

    Ibu pernah mengajak anak ke super market, mini market, atau warung? Biasanya, Ibu harus menyediakan bujet lebih karena si anak hampir pasti meminta barang di luar daftar belanjaan Ibu.

    Kalau sudah begini, ada orang tua yang langsung mengeluarkan jurus kebohongan putih, salah satunya dengan mengatakan bahwa barang yang diinginkan anak itu tidak dijual. Hal ini dengan harapan si anak akan menurut dan mengurungkan niatnya untuk membeli barang tersebut, sedangkan Ibu bisa menghemat bujet belanja.

  2. Telepon genggam rusak

    Sudah menjadi rahasia umum bahwa dewasa ini gawai seperti telepon genggam atau komputer jinjing kadang merupakan 'sahabat terdekat' dari anak-anak. Bahkan di Bondowoso, Jawa Timur, belum lama ini terjadi kasus ekstrem mengenai anak kecanduan gawai yang sampai membenturkan kepalanya ke tembok karena dilarang orang tuanya menggunakan gawai.

    Jika sudah terlanjur terjadi kecanduan seperti ini, biasanya orang tua akan melakukan apapun untuk melepaskan anak dari ketergantungan terhadap gawai, sekalipun dengan melakukan kebohongan-kebohongan kecil.

    Misalnya, ketika anak bertanya di mana gawai mereka, orang tua mengatakan bahwa alat itu sudah rusak, sedang diservis, atau disimpan. Anak kemudian dialihkan ke kegiatan lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan gadget tersebut.

    Awalnya, anak mungkin menolak ide tersebut. Namun, jika hal itu konsisten dilakukan oleh orang tua, bisa jadi anak akan perlahan lepas dari kecanduannya terhadap gadget.

  3. Mainan hilang

    Membelikan mainan untuk anak kadang kala membutuhkan pertimbangan matang juga. Padahal, orang tua mungkin melakukan hal itu hanya untuk menyenangkan anak atau berpikir tentang edukasi anak tanpa mencari tahu lebih lanjut mengenai mainan itu sendiri.

    Ternyata setelah dibeli, mainan tidak sesuai harapan. Mungkin mainan itu terlalu berisik, atau membahayakan, atau selalu membuat rumah berantakan serta kotor.

    Untuk itu, orang tua memilih jalan pintas berupa kebohongan putih dengan menyembunyikan mainan tersebut dan mengatakan kepada si anak bahwa mainan telah hilang. Bisa juga, orang tua memberi tahu bahwa mainan sudah rusak, atau baterai sudah habis, kemudian tidak bisa dibetulkan seperti sedia kala.

  4. Hampir sampai

    Mengajak anak-anak turut serta dalam perjalanan jauh rasanya memang menyenangkan. Banyak hal yang bisa diajarkan oleh orang tua selama perjalanan, mulai dari bernyanyi, bermain tebak-tebakan, maupun kegiatan mewarnai atau bermain busy board.

    Meskipun demikian, anak-anak tetap punya kecenderungan untuk cepat bosan sehingga kerap bertanya kapan sampai di tujuan. Kalau dijawab jujur bahwa perjalanan masih jauh, mereka bisa rewel sehingga orang tua kadang menjawabnya dengan "iya, sudah hampir sampai."

  5. Tokonya tutup

    Masih soal belanja, biasanya orang tua membohongi anaknya yang suka beli mainan atau jajanan dengan mengatakan bahwa tokonya hari ini tutup. Selain mencegah tantrum, orang tua kerap mengelak dengan beralasan hal itu dilakukan agar si anak tidak jajan melulu.

  6. Kalau bandel, ditangkap polisi

    Kalau anak melakukan hal yang menjengkelkan, dinasehati baik-baik tidak bisa, dimarahin pun rasanya tak tega. Solusi singkatnya ya dengan menakut-nakuti anak bahwa kalau dia nakal nanti bisa ditangkap polisi dan dipenjara. Tentu sambil digambarkan bahwa di penjara tidak bisa makan permen atau tidur dengan mainan.

  7. Obatnya manis kok

    Merawat anak yang sakit tentu bukan momen yang menyenangkan bagi orang tua. Sudah rewel, anak jadi susah makan, apalagi mengonsumsi obat pereda sakitnya yang rasanya tidak enak sekalipun obat untuk anak-anak sudah diberi perasa jeruk atau anggur.

    Tidak jarang, para orang tua sering berbohong kecil dengan mengatakan kalau obat itu manis sepeti permen, es krim, atau apapun makanan kesukaan anak. Semua dilakukan demi kesembuhan cepat sang buah hati. Hayo, siapa yang pernah melakukan trik ini?

  8. Tidak usah mandi, guyur sedikit saja

    Tidak jarang mengajak mandi anak-anak usia 2-4 tahun menciptakan kehebohan sendiri di rumah kita. Anak-anak bisa tiba-tiba tantrum jika dengar kata 'mandi'.

    Di saat inilah, kosa kata orang tua seperti mendapat ujian. Ibu dan Ayah bisa membujuk anak dengan cara mengganti kata 'mandi' dengan 'guyur saja' atau 'cebok saja' dengan satu tujuan, yaitu yang penting si anak masuk kamar mandi terlebih dahulu.

  9. Satu suap lagi ya

    Bersyukurlah bagi orang tua yang anaknya termasuk gampang diberi makan. Sedangkan bagi orang tua dengan tipe anak picky eater alias makannya pilih-pilih dan cenderung susah, memang butuh skill dan segudang trik untuk meminta anak agar sekedar buka mulut.

    Salah satunya ialah membujuknya untuk makan satu suap lagi. Teknik 'satu suap lagi' ini diulang-ulang terus sampai makanan di piring habis atau si anak mengamuk tanda tidak ingin makan lagi.

  10. Pergi sebentar

    Memiliki anak yang tidak bisa lepas dari ibunya memang dilematis, terutama bagi ibu pekerja alias working mom. Di satu sisi, Ibu harus pergi meninggalkan anak, tapi anak kerap menangis setiap kali Ibu akan berangkat bekerja.

    Kalau sudah kepepet, Ibu biasanya menenangkan anak dengan mengatakan "Ibu pergi cuma sebentar kok, nanti juga pulang lagi" walaupun sebetulnya akan meninggalkan anak untuk durasi 8-10 jam. Sedih ya, Bu…

  11. Kebohongan soal pola asuh

    White lies alias kebohongan putih bukan hanya biasa dilakukan orang tua kepada anak-anaknya, namun juga kepada sesama orang tua lainnya. Hal ini dilakukan biasanya untuk menghindari pergunjingan karena perbedaan pola asuh dirinya dengan mayoritas pola asuh yang ada di lingkungan.

    Misalnya, ada Ibu yang tidak ingin kebiasaannya memberikan makanan terfortifikasi kepada anaknya diketahui Ibu lainnya karena ada anggapan bahwa anak-anak harus selalu diberikan makanan buat rumah alias homemade yang penuh gizi dan tanpa pengawet. Atau ada pula Ibu yang mengaku anaknya sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah.

Apakah Kebohongan Demi Kebaikan itu Boleh Dilakukan?

Psikolog Linda Blair mengatakan bahwa jawaban dari pertanyaan di atas tidak bisa langsung 'iya' atau 'tidak'. Pasalnya, setiap orang tua memiliki gaya parenting sendiri-sendiri dan bisa jadi berbohong demi kebaikan memang diperlukan untuk mendidik sang anak.

"Setiap orang tua punya pemikiran sendiri tentang hal apa yang baik untuk anaknya, tapi saya menyarankan agar kita memperhatikan tujuan berbohong itu sendiri," ujar Linda Blair.

Jika berbohong dilakukan untuk bersenang-senang, maka hal itu boleh-boleh saja. Misalnya ketika orang tua tengah bermain harta karun, kemudian sang anak bertanya di mana letak harta karun tersebut, maka Ibu boleh berkata 'tidak tahu' sekalipun jika Ibu adalah orang yang justru menyembunyikan harta karun itu.

Meskipun demikian, Linda tidak menyarankan orang tua berbohong kepada anak jika kebohongan itu hanya menjadi jalan pintas atas pertanyaan anak-anak yang kerap tidak diketahui jawabannya oleh orang tua. Terlebih, ada pula orang tua yang ingin segera menyudahi pertanyaan anaknya hanya demi mendapatkan waktu sendiri alias me time yang lebih panjang.

Lalu, bagaimana jika anak-anak mengajukan pertanyaan yang di luar nalar orang tua? Misalnya ketika anak selesai nonton film kartun tentang binatang-binatang yang berbicara, kemudian mereka bertanya "benarkah binatang bisa bicara?"

Jika orang tua menjawab tidak, maka dikhawatirkan bahwa daya imajinasi anak akan berkurang. Anak pun bisa menjadi kecewa karena kenyataan tidak seperti bayangan mereka yang menyenangkan.

Mengenai hal ini, Linda yang juga pernah menulis buku 'The Happy Child' menyarankan bahwa orang tua bisa terlebih dahulu memancing pendapat si anak. Misalnya dengan berbalik bertanya, "menurut kamu bagaimana?"

"Apakah kita berbohong atau tidak, anak-anak harus ditanamkan nilai bahwa mereka bisa mempercayai orang tua mereka sendiri," kata Linda.

Jangan lupa juga bahwa tujuan pertama menjawab pertanyaan anak-anak ialah memberi edukasi kepada mereka. Anak tetap harus dipersiapkan untuk bisa bertahan di dunia luar, terlebih orang tua tidak bisa mendampingi anak setiap saat.

Kedua, anak harus merasa bahwa orang tua merupakan tempat pertama yang bisa mereka datangi setiap ada pertanyaan mengenai apapun. Oleh karenanya, orang tua harus mempersiapkan jawaban terbaik terhadap setiap pertanyaan anak, apakah itu berbohong atau tidak.

Ketiga, anak harus ditanamkan bahwa mereka bisa mempercayai orang tua di saat apapun. Hal ini akan terasa di jangka panjang, terutama ketika mereka tengah memasuki masa remaja.

 

4 Dampak Kebohongan Demi Kebaikan

Kebohongan, sekalipun dimaksudkan untuk kebaikan, tetaplah merupakan sebuah kebohongan. Sebisa mungkin, mengajarkan kebohongan terhadap anak-anak harus dihindari demi menjauhkan anak-anak dari efek negatif dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

 

  1. Kebohongan orang tua membuat anak bingung

    Anak diibaratkan sebagai kanvas kosong yang akan penuh dengan goresan orang tua serta orang-orang yang berada di sekitarnya. Jika mereka memberi goresan baik, maka akan tercipta lukisan yang baik pula di atas kanvas. Begitu pula sebaliknya.

    Oleh karenanya, jika anak kerap menerima kebohongan, sekalipun itu dilakukan demi kebaikan, maka anak akan menjadi bingung. Pasalnya, di usia dini itu mereka belum memiliki panduan nilai baik dan buruk.

    Orang tua pasti kerap mengajarkan secara lisan bahwa berbohong adalah tindakan tidak terpuji. Namun di sisi lain, orang tua juga kerap mencontohkan kebohongan lewat tutur kata maupun perbuatan sehingga anak menjadi bingung nilai mana yang harus mereka anut di kemudian hari.

  2. Kebohongan orang tua mematikan nalar anak

    "Malam-malam jangan main di luar rumah ya, nanti ketemu setan lho!"

    Maksud Ibu berkata seperti itu pasti baik, misalnya ingin mengajarkan kepada anak bahwa malam hari saatnya istirahat, bukan lagi untuk bermain di luar rumah. Namun, kebohongan putih seperti itu bisa membekas selamanya dalam diri anak dengan menganggap bahwa malam hari pasti ada setan meski wujudnya tidak kelihatan. Jika white lies itu terus diulang-ulang, bukan tidak mungkin juga anak akan mengalami trauma dan menjadi orang yang penakut di saat ia tumbuh dewasa.

  3. Kebohongan orang tua menciptakan anak yang juga suka berbohong

    Psikolog Anak dan Keluarga, Anna Surti Ariani SPsi. MSi. menyatakan anak-anak pada hakikatnya belum bisa membedakan hal yang baik atau buruk, apalagi hal di wilayah abu-abu seperti white lies. Di sinilah sebetulnya peran orang tua untuk memberikan nilai-nilai tersebut dalam diri anak.

    Jika anak kerap diajarkan atau diperlihatkan bentuk kebohongan, sekalipun itu untuk kebaikan, maka anak akan menanamkan dalam alam bawah sadar mereka bahwa kebohongan itu boleh-boleh saja dilakukan. Lama kelamaan, anak pun memiliki toleransi yang lebih besar akan kebohongan sehingga mereka lama kelamaan bisa memproduksi kebohongan itu sendiri.

    "Jadi anak akan berpikir seperti 'ya udahlah bohong-bohong dikit nggak apa' dan hal tersebut bisa memicu anak melakukan kebohongan lagi," kata Anna.

  4. Kebohongan menimbulkan ketidakpercayaan anak terhadap orang tua

    Ketika anak tumbuh besar, pemahaman dan akalnya juga kian matang. Pada satu titik, anak akan bisa menilai bahwa selama ini ia telah merima kebohongan yang bertubi-tubi dari orang tuanya.

    Psikolog Linda Blair mengatakan hal tersebut bisa menimbulkan rasa tidak percaya anak terhadap orang tuanya sendiri. Asumsi seperti inilah yang kerap membuat anak remaja tidak nyaman untuk curhat kepada orang tua saat mereka beranjak remaja. Padahal, masa-masa labil itulah yang merupakan momen krusial bagi orang tua untuk membimbing anak agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas.

    "Efek jangka panjang dari serangkaian kebohongan yang dilakukan orang tua kepada anak ialah anak tidak ingin lagi bertanya kepada orang tua tentang hal-hal yang membuat mereka penasaran," kata psikolog asal Inggris tersebut.

    "Ini akan menjadi bumerang kepada orang tua sendiri ketika anak sudah menjadi remaja di mana pada masa itu seharusnya orang tua mengintensifkan komunikasi dengan anak, namun para anak justru merasa enggan bertanya atau sekedar mengobrol dengan orang tua mereka," lanjut wanita yang memiliki situs psikologinya sendiri itu.


(Asni / Dok. Freepik)