Keluarga

8 Cara Menjaga Kesehatan Mental Keluarga Tanpa Keluar Rumah

8 Cara Menjaga Kesehatan Mental Keluarga Tanpa Keluar Rumah


“Pandemi memang bikin stres, tapi siapa sih yang nggak begitu? Tahan sajalah sampai keadaan membaik.”

“Seharian di rumah tapi kok badan malah capek ya? Makin susah tidur.”

“Anakku jadi makin temperamental di rumah. Bikin emosi!”


Familier dengan ucapan-ucapan di atas? Mungkin kalimat tersebut sudah menjadi keluhan umum yang saking seringnya mampir di telinga, lantas tak lagi ditanggapi serius. Seperti kehilangan bobot, toh semua orang mengalami! Padahal, semua manusia memiliki perasaan yang valid dan kadar toleransi terhadap problematika hidup berbeda-beda. Hal yang bagi Ayah merupakan masalah sepele dan dapat ditunda penyelesaiannya, mungkin bisa membuat Ibu susah tidur sampai stres. Masalah kesehatan mental memang tidak bisa disamaratakan, semua orang punya perjalanan masing-masing yang layak untuk diberi ruang bicara.

Menyambut hari kesehatan mental sedunia yang jatuh pada 10 Oktober, kita kembali diingatkan tentang pentingnya melatih kesadaran bahwa semua orang rentan terhadap stres terutama di situasi pandemi yang tak menentu. Sebelum pandemi Covid-19 saja, akses ke fasilitas kesehatan mental cenderung terbatas, apalagi saat semakin banyak orang membutuhkan pertolongan berkualitas dan terjangkau.

Hal ini mendasari WHO untuk menggandeng United for Global Mental Health serta World Federation for Mental Health agar secara masif berinvestasi terhadap kesehatan mental. Semakin terbukanya fasilitas kesehatan mental umum yang terjangkau, turut memudahkan Ibu untuk mencari pertolongan. Tinggal membuka mata dan peka terhadap kondisi psikis diri dan orang di sekitar, terutama kondisi keluarga di rumah.

Tanda Kesehatan Mental Keluarga Terganggu

Mengutip pernyataan WHO, kesehatan mental adalah salah satu bidang kesehatan masyarakat yang paling terabaikan. Ada hampir 1 miliar jiwa di dunia yang mengalami gangguan kesehatan mental. Angka ini cukup mencengangkan mengingat orang-orang di sekitar kita sangat mungkin menderita depresi tanpa menunjukkan gejala nyata. Bisa jadi pasangan, saudara, tetangga, sahabat, atau diri Ibu sendiri sedang berjuang mengatasi problem kesehatan mental. Berada di satu atap bersama keluarga selama 24 jam hampir 8 bulan ini pastinya mengubah beberapa hal. Baik perubahan yang terjadi pada orang tua maupun anak. Kenali tanda-tandanya sedini mungkin agar terhindar dari gangguan kesehatan mental.

4 Tanda Orang Tua Mengalami Stres selama Pandemi

Kecemasan akan tertular virus corona di sebagian keluarga menyebabkan burnout, yakni kelelahan emosional, fisik, dan mental karena stres berlebihan dan berkepanjangan. Melansir dari laman Healthline, burnout bisa dialami setiap anggota keluarga. Tanda Ibu mengalami burnout di antaranya:

  1. Mudah Tersinggung 

    Tidak semua orang tua merasa nyaman saat harus bekerja dari rumah. Beberapa justru merasa tertekan dan kehilangan gairah bekerja karena situasi yang tidak kondusif. Misalnya tidak memiliki area kerja pribadi, harus bergantian menjaga anak, atau kebisingan yang mengganggu konsentrasi. Belum lagi beban kerja yang melimpah dan target dari atasan yang semakin mendekat. Alhasil, orang tua pun jadi lebih temperamental karena frustrasi dikejar deadline sekaligus mengatur waktu untuk berbagi tugas di rumah. Begitu pun dengan para ibu rumah tangga. Jika selama ini mereka bisa dengan tenang mengatur rumah sambil memiliki me time selagi anak ke sekolah dan suami bekerja, kini harus siaga dan lebih produktif. Termasuk menemani si kecil dalam pembelajaran daring. Perubahan kebiasaan ini tentu berpengaruh pada kesehatan mental orang tua.

  2. Mudah merasa lelah, baik fisik atau emosional

    Seharian di rumah saja, tapi kok malah lebih capek ya? Sama-sama berada di depan komputer selama 8 jam, tapi di rumah justru menguras emosi? Hm, bayangkan saja saat Ayah atau Ibu di kantor dulu. Selama 8 jam bekerja, pasti ada rasa rindu pulang ke rumah dan menceritakan kejadian di hari itu. Ada hal untuk didiskusikan, ada seseorang yang menunggu di rumah. Karena bertemu dengan pasangan sepanjang waktu, saat ada masalah tentu akan sangat menguras emosi. Akhirnya terbawa ke pekerjaan, relasi dengan anak, dan mood seharian. Wajar jika badan dan pikiran semakin lelah.

  3. Kesulitan mengerjakan aktivitas sehari-hari

    Biasanya saat Ayah pergi ke kantor, Ibu sigap membersihkan rumah sambil memikirkan menu makan malam. Sambil menyetrika, bisa sambil menonton drama Korea atau menelepon teman. Namun kini setiap anggota keluarga memiliki tugas tambahan dan mengawasi satu sama lain. Nonton drama? Lebih baik menemani anak sekolah daring! Ayah mengerjakan tugas kantor? Lebih baik main game sebentar bersama si kecil. Di rumah terlalu banyak distraksi yang akhirnya malah mengganggu tugas utama. 

  4. Jarang menunjukkan sikap romantis

    Melansir artikel Forbes, sebuah studi melaporkan bahwa 18% responden merasa tidak bahagia saat berkomunikasi dengan pasangan sejak awal pandemi ini. Bahkan di Cina, tingkat pengajuan cerai meroket tajam selama masa karantina di rumah.

    Biasanya komunikasi membaik saat salah satu dari pasangan mau berdamai lebih dulu. Selama masih ada yang mengalah untuk kompromi, semua bisa diselesaikan baik-baik. Sayangnya, di masa pandemi ini, masyarakat rentan terkena gangguan kesehatan mental dan terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Jika sama-sama emosional, tentu sikap romantis susah dilakukan.

8 Gejala Gangguan Kesehatan Mental pada Anak Selama Pandemi

Anak pun tak luput dari masalah kesehatan mental. Apalagi jika orang tuanya lebih dulu terkena burnout dan melampiaskannya pada si kecil. Jika anak sering terlihat murung, putus asa, tidak menikmati hal-hal yang dulu ia sukai, bisa jadi anak mengalami depresi dan mungkin membutuhkan bantuan Ibu untuk bangkit kembali. Depresi adalah gangguan kesehatan mental yang sering dimulai pada masa remaja, namun anak-anak usia prasekolah pun bisa mengalaminya. Anak-anak yang memiliki riwayat depresi sangat berisiko selama masa pandemi ini.

Mark Reinecke, PhD, seorang psikolog klinis dan direktur dari Child Mind Institute menguraikan beberapa gejala depresi pada anak sebagai berikut:

  • kesedihan yang berlarut-larut dan mudah tersinggung;

  • kehilangan minat pada aktivitas yang dulu digemari;

  • perubahan berat badan;

  • perubahan pola tidur;

  • lesu;

  • penilaian diri yang keras ("Saya jelek. Saya tidak baik. Saya tidak akan pernah berteman");

  • perasaan tidak berharga, putus asa; dan

  • pikiran atau upaya mengakhiri hidup.

Jika beberapa dari gejala ini muncul pada anak setidaknya selama dua minggu, hal itu dapat menandakan anak sedang mengalami depresi dan sebaiknya Ibu segera berkonsultasi dengan tenaga profesional. “Jika melihatnya, catatlah! Apabila gejalanya bertahan, segera ambil tindakan” saran Dr. Reinecke. 

8 Cara Menjaga Kesehatan Mental Tanpa Harus Keluar Rumah

Apabila dulu Ibu menjadikan liburan keluarga sebagai hiburan, maka kini Ibu harus bisa mengatur ekspektasi itu agar tidak semakin stres. Begitu pun Ayah, kehilangan kesempatan bermain futsal atau ikut gathering komunitas hobi bukanlah akhir dunia. Jangan lampiaskan kekesalan tersebut pada si kecil. Percayalah, dia pun rindu teman-teman bermainnya atau sekadar diajak ke mall di akhir pekan. Agar tidak larut menjadi masalah kesehatan mental serius, Ibu harus mulai mengantisipasinya dengan cara berikut:

  1. Tetap aktif

    Dukung anak untuk melakukan kegiatan yang memberi mereka rasa kepuasan akan pencapaian. Terutama melakukan sesuatu untuk orang lain. Misalnya membantu kegiatan Ibu di rumah, belajar menggambar bersama Ayah, atau ikut memasak di dapur. Tetap aktif beraktivitas akan membantu anak terhindar dari gangguan kesehatan mental. Hal ini pun berlaku untuk orang tua.

  2. Menjaga perspektif tetap positif

    Seberapa buruknya kondisi pandemi ini terhadap kesehatan mental, sebaiknya stop bereaksi negatif terhadap berita-berita buruk di media. Paling tidak, jangan mengeluarkan kata-kata negatif saat berada di dekat anak. Seperti, “Duh tanda-tanda kiamat nih!” atau “Tahun ini sial sekali ya, apa-apa susah!” Tanamkan bahwa ketidakpastian ini akan segera berlalu. This too shall pass!

  3. Buat rencana

    Selagi di rumah saja, luangkan waktu untuk beraktivitas. Misalnya mengambil kelas zumba daring, mengikuti webinar yang bermanfaat bersama pasangan, atau melakukan proyek seru bersama si kecil. Menambah skill, selain lebih produktif, juga ampuh menjauhkan Ibu dari depresi dan gangguan kesehatan mental lainnya.

  4. Tetap bersyukur

    Masing-masing anggota keluarga bisa menulis hal-hal yang mereka syukuri sebelum tidur. Misalnya anak bersyukur hari ini bisa menyelesaikan tugas sekolah dengan baik atau Ibu bisa memasak resep makanan baru yang lezat.

  5. Luangkan waktu untuk diri sendiri

    Kendati di rumah saja dan berinteraksi dengan keluarga sepanjang hari, usahakan untuk tetap punya me time ya, Bu! Punya ruang sendiri sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan mental Ibu.

  6. Hindari memberikan hukuman

    Stres membuat anak jadi temperamental dan tidak bisa diatur? Alih-alih mencubit atau memberikan hukuman, gunakan pendekatan yang lembut untuk mencegah konflik lebih lanjut agar suasana di rumah tetap kondusif.

  7. Rutinitas baru

    Buat jadwal harian baru untuk tidur, makan, belajar, dan bermain setiap harinya untuk menghindari bermalas-malasan atau rasa hopelessness yang bisa berujung masalah kesehatan mental.

  8. Berbagi tugas

    Biasakan berbagi tugas dan saling membantu di rumah dengan porsi yang adil. Ibu juga berhak kok untuk meminta jeda dari kewajiban mengurus rumah tangga saat sedang betul-betul lelah.

Jika kondisi burnout tak kunjung reda dan gejala gangguan kesehatan mental semakin terlihat, Ibu jangan ragu untuk menghubungi tenaga ahli ya. Sekarang sudah banyak pakar kesehatan mental, psikolog, psikiater, dan ahli pengobatan holistik yang bisa Ibu temui secara daring. Salah satu kelas pelatihan kesehatan mental yang terpercaya adalah kelas Self Healing HATI (durasi 3-4 jam) untuk mempelajari teknik TAT (Tapas Acupressure Technique) bersama Reza Gunawan. Teknik self-healing ini berguna untuk melatih kesadaran diri agar hidup semakin ringan, ikhlas, dan selaras.

Selain itu, beberapa kanal daring seperti Greatmind dan Menjadi Manusia juga cukup rajin memberikan webinar atau informasi gratis terkait kesehatan mental. Ibu juga bisa menggunakan aplikasi kesehatan mental seperti Riliv.co, Ibunda.id, atau berkonsultasi langsung melalui hotline resmi Kemenkes dengan menekan tombol 119 extension 8 untuk layanan konsultasi kesehatan jiwa.

Memiliki masalah kesehatan mental bukanlah aib. Justru di kondisi pandemi saat ini, menjaga mental dan menghindari melampiaskan emosi ke orang lain adalah tugas semua orang. Masalah kesehatan mental juga sama berbahayanya seperti virus, emosi negatif sangat mudah menular dan menyebabkan konflik yang tidak perlu. Ayo jaga kesehatan mental diri dan keluarga!

Penulis: Yusrina
Editor: Dwi Ratih