Keluarga

7 Faktor Penyebab Stres Selama Pandemi dalam Keluarga

7 Faktor Penyebab Stres Selama Pandemi dalam Keluarga

Hai, Ibu, tidak terasa ya kita sudah hampir tiba di penghujung tahun. Itu berarti, kita sudah berhasil melalui bulan ke-8 sejak pandemi melanda Indonesia di bulan Maret. Oh iya, Ibu masih ingat tidak dengan resolusi awal tahun Ibu? Hm, mungkin ada yang merencanakan liburan keluarga, menambah ekspansi bisnis, atau menengok saudara di negeri seberang. Tapi alih-alih mewujudkannya, kita harus menahan diri di rumah dan saling menguatkan antar anggota keluarga. Pandemi memang masalah bersama, tak ada satu pun yang luput dari duka, tapi bukan berarti Ibu tidak boleh merasa frustrasi. 

"Siapa sih yang tidak stres saat ini? Bukan kamu saja yang susah, aku juga!"

Pernahkah Ibu mendengar pernyataan itu? Belum sempat berkeluh kesah kepada kawan, bibir harus diam rapat karena takut menambah beban orang lain. Lantas, harus lari ke mana? Jika dipendam, pasti suatu saat meledak dan malah terjebak dalam depresi. Kesadaran akan kesehatan mental memang penting. Tapi jangan dihadapi sendiri ya, Bu. Demi menjaga kewarasan di situasi serba tidak pasti ini, Ibu harus memiliki support system yang sehat dan dapat diandalkan. Baik itu untuk sekadar bercerita atau berbagi beban pekerjaan. Apa dukungan yang lebih berarti selain keluarga?

Kenali Sebab dan Cara Mengelola Stres saat Pandemi

Mengelola stres itu tugas bersama, bukan melulu tugas Ayah untuk menghibur Ibu maupun sebaliknya. Juga bukan kewajiban anak untuk terus riang dan rajin di rumah. Ada kalanya masing-masing merasa jenuh dan tertekan hingga akhirnya melampiaskan emosi satu sama lain. Masalah rumah tangga paling sepele pun membuat darah tinggi. Kalau sudah begitu, Ayah dan Ibu harus berusaha untuk mengenali faktor apa saja yang membuat stres selama di rumah. Baru setelah melakukan pengamatan, Ayah dan Ibu bisa menemukan cara yang tepat untuk menjaga kesehatan mental selama pandemi. 

7 Faktor Pemicu Stres dalam Keluarga Selama Pandemi

  1. Berkurangnya Pendapatan/Gaji

    Ketika salah satu penghasil uang dalam keluarga mengalami penurunan gaji bahkan kehilangan pekerjaan, maka itu bisa jadi masalah besar bagi seluruh keluarga. Pasangan dan anak pun akan ikut cemas. Masalah finansial adalah salah satu pencetus utama masalah kesehatan mental. Melansir dari laman very well mind, sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masalah finansial sangat memengaruhi kesehatan mental seseorang. Semakin banyak faktor pemicunya, seperti kehilangan pekerjaan, penurunan pendapatan, dan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, semakin sulit untuk mengelola kondisi kesehatan mental seseorang. Hal ini tentu saja perlu kita antisipasi. 

    Baik Ayah, Ibu, maupun anak harus saling terbuka agar mampu berempati. Demi kesehatan mental yang baik, Ibu sebaiknya mulai memetakan mana kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Terdengar mudah, namun kebiasaan yang berubah secara mendadak bisa sangat membuat frustrasi. Misalnya, dulu anak biasa main ke mall setiap akhir pekan. Kini ia tak bisa leluasa dan harus berdamai dengan mainan yang itu-itu saja. Berbelanja daring juga tak bisa sesering dulu, apalagi memikirkan kebutuhan tersier seperti liburan? Urusan uang memang sensitif, coba bicarakan baik-baik dan beri semangat setulus hati. Jangan biarkan Ayah atau Ibu malu mengakui masalah finansial dan malah berujung utang, duh malah semakin memperparah kondisi kesehatan mental! 

  2. Ibu Terikat Rutinitas

    Bangun pagi menyiapkan sarapan, memastikan anak siap untuk sekolah daring, menemani belajar, memasak makan siang, membersihkan rumah, wah banyak sekali! Bahkan sebelum pandemi, rutinitas Ibu rumah tangga sudah banyak, apalagi sekarang? Tak heran banyak Ibu yang rentan terkena masalah kesehatan mental. Jika dulu Ibu bisa punya me-time untuk rehat sejenak nonton drama Korea selagi anak bersekolah, kini waktu Ibu sepenuhnya dihabiskan untuk mengurusi keluarga. Lelah yang biasa terobati dengan liburan singkat, sekarang hanya berupa angan-angan yang belum jelas muaranya. "Duh, kapan ya pandemi selesai agar kami bisa ke Bali?". Terikat rutinitas memang membosankan, lama-lama pasti stres karena tidak ada pelampiasan. Cara paling mudah adalah menyediakan space di rumah untuk me-time agar kesehatan mental Ibu terjaga. Banyak lho para perempuan yang mulai menekuni hobi baru seperti berkebun, menyulam, atau menulis. 

  3. Fenomena Work From Home dan Susahnya Membagi Waktu

    Jika dulu suami ingin lekas pulang selepas bekerja agar bisa bermain dengan anak, sekarang Ayah lebih memilih rebahan setelah meeting online berjam-jam. Nyatanya, banyak orang yang mengaku jauh lebih capek bekerja dari rumah dibanding di kantor. Selain terlalu banyak distraksi, berada di depan komputer terlalu lama cukup membuat mata lelah. Tracy Brower dalam artikelnya di Forbes menyarankan untuk meletakkan distraksi tersebut sebagai kebiasaan baru. Misalnya makan siang bersama seluruh keluarga saat jam istirahat kantor atau bermain bersama anak saat ada jeda presentasi. Hal-hal yang mendistraksi pikiran dan membuat fokus terpecah harus disikapi dengan lebih luwes. Merasa kesal hanya akan menambah masalah kesehatan mental, lebih baik hadapi saja seperti makanan sehari-hari.

  4. Uji Kesabaran saat Mengajar Anak dari Rumah

    Salah satu alasan mengapa pekerjaan guru itu sangat terhormat adalah karena kesabaran mereka yang luar biasa! Jika Ibu mengomel menghadapi satu anak saja, bayangkan betapa repotnya para guru yang harus berurusan dengan puluhan anak hampir setiap hari? Bukti betapa susahnya mengajari anak, UNICEF menyatakan bahwa jumlah anak yang mengalami kekerasan saat pembelajaran daring cenderung meningkat. Mengajari anak memang membutuhkan kesabaran ekstra, terlebih bila Ayah atau Ibu juga sama-sama bekerja dari rumah.

    Contoh kekerasan pada anak yang kerap terjadi adalah kekerasan verbal seperti menjelekkan tingkat intelegensi anak atau memarahinya karena tidak bisa mengerjakan tugas dengan cepat. Kekerasan fisik yang sering terjadi adalah mencubit atau menjewer anak karena susah memahami suatu pelajaran. Padahal, bisa saja Ibu hanya sedang melampiaskan kemarahan karena frustrasi dengan pekerjaan di kantor. Atau, si kecil menjadi susah sekali paham karena bosan terus-terusan di rumah. Cobalah bergantian dengan pasangan untuk mendampingi anak dan jangan ragu meminta bantuan guru atau sesama orang tua murid untuk mendapatkan tips terbaik menyampaikan bahan ajar sehingga sekolah di rumah bisa minim stres.

  5. Komunikasi Memburuk karena Terlalu Sering Bertemu Pasangan

    Mesra bersama pasangan memang asik, tapi kalau terus-terusan malah bisa konflik! Menurut survei, tingkat KDRT dan perceraian justru meningkat selama pandemi. Salah satu penyebabnya adalah kurang menghabiskan waktu berkualitas dengan pasangan. Saat pandemi, pikiran Ibu dan pasangan pasti diliputi aneka kekhawatiran yang bisa berujung gangguan kesehatan mental. Hal ini tentu berpengaruh pada keintiman dan kehangatan keluarga. Ibu dan pasangan bisa mencoba mengurangi kecemasan ini dengan terus memelihara keintiman dan tak ada salahnya kencan sederhana di rumah seperti menonton film bersama saat anak tidur, rutin berhubungan seks, hingga obrolan panjang sebelum tidur. Terlalu sering bertemu memang rawan cek-cok karena meributkan hal-hal sepele. Beri waktu sendiri untuk satu sama lain, bagi tugas untuk menjaga anak, serta tetap rutin melakukan kegiatan intim agar kesehatan mental terjaga.

  6. Terlalu Banyak Mengonsumsi Berita yang Membuat Cemas 

    Melihat angka penderita Covid-19 kian meningkat serta masa isolasi diri yang terus diperpanjang tentu membuat resah. Terlebih melihat masih banyak orang yang belum menerapkan protokol kesehatan. Memilih tetap optimis tentu pilihan sulit ketika dihadapkan dengan realitas yang entah bagaimana ujungnya. Kalau sudah begini, Ibu harus disiplin memilah mana informasi yang baik bagi kesehatan mental Ibu. Sesekali berhenti mengecek perkembangan kasus wabah corona dan membaca buku seharian, misalnya. Atau, bermain bersama si kecil sambil membahas hal-hal yang akan dilakukan kelak setelah pandemi usai. Saling menguatkan sesama anggota keluarga bahwa pandemi ini akan berlalu akan mengusir nuansa suram di rumah.

    Apabila menonton berita membuat Ayah atau Ibu jadi mudah uring-uringan, cemas, bahkan mengalami sakit kepala atau leher, maka segera berdiri dan berhenti sejenak ya. Ibu bisa berjalan-jalan di taman sekitar rumah, mendengarkan musik, atau menenangkan diri dengan meditasi guna mengatur ulang kondisi mental.

  7. Interaksi Sosial Berkurang Drastis

    Hal-hal sepele seperti pergi ke mall atau nongkrong di kafe tiba-tiba menjadi hal yang sangat berharga dan dirindukan saat pandemi. Rindu bertemu kawan, orang tua, dan saudara di kota lain tentu bisa jadi pemicu gangguan kesehatan mental. Bagaimanapun, melihat serta memeluk orang yang kita sayang memang bisa jadi obat manjur untuk stres. Jika kerinduan akan interaksi sosial itu sangat membuat frustrasi, maka jalan utamanya adalah latihan mengelola pikiran. Ibu harus belajar untuk fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan dan menerima hal-hal yang berada di luar kontrol.

    Pandemi adalah hal di luar kendali, cara Ibu menunjukkan sayang pada orang terkasih adalah dengan patuh pada protokol kesehatan dan selalu menjaga jarak. Sediakan waktu untuk rutin berkomunikasi secara virtual dengan kolega terkasih. Atau, melakukan lebih banyak kegiatan bersama pasangan dan si kecil. Siapa tahu, interaksi sosial dengan kawan berkurang namun bonding dalam keluarga semakin erat. Bisa jadi, si kecil malah jadi sahabat baik Ibu.

Berada di tengah pandemi memang amat berpengaruh pada kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental akibat stres dalam jangka panjang bisa mengganggu fungsi kekebalan tubuh, pencernaan, reproduksi, dan kognitif. Agar tetap aman dan memiliki kesehatan mental prima, setiap anggota keluarga perlu membiasakan diri pada perubahan dan menjaga optimisme. Jangan ragu mencari bantuan profesional seperti psikolog dan psikiater untuk membantu Ibu dan keluarga mengatasi masalah kesehatan mental selama pandemi Covid-19. Keluarga adalah support system terbaik, seburuk-buruknya masalah pasti jadi ringan jika dipikul bersama.

Penulis: Yusrina
Editor: Dwi Ratih