Keluarga

Marak KDRT Selama Wabah Covid-19: Bagaimana Cara Mencegahnya?

Marak KDRT Selama Wabah Covid-19: Bagaimana Cara Mencegahnya?

Pandemi Covid-19 yang dimulai sejak Desember 2019 lalu berdampak besar tidak hanya pada kondisi kesehatan dunia, tetapi juga memengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti sektor sosial, ekonomi, pendidikan, perkembangan teknologi dan sains, serta kondisi unit terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga. Seluruh lapisan masyarakat dihimbau untuk melakukan sosial distancing yang kemudian diubah menjadi physical distancing atau pembatasan jarak interaksi dan menerapkan PHBS (Pola Hidup Bersih Sehat), bahkan tidak sedikit negara yang memberlakukan sistem lockdown atau karantina wilayah untuk menekan angka penyebaran Covid-19.

Bagi masyarakat kebanyakan yang memiliki keluarga, masih ada rumah yang bisa menjadi tempat mencari kenyamanan dan perlindungan. Bahkan tidak sedikit yang mengaku bahwa kegiatan #dirumahaja ini menjadi momen untuk memperkuat kualitas hubungan dengan pasangan maupun anak. Masa karantina mandiri yang dilakukan sekaligus menjadi kesempatan untuk mengganti masa-masa bersama keluarga yang terlewatkan saat sebelumnya harus bekerja.

Namun, ternyata tidak semua masyarakat merasa kebersamaan ini adalah sebuah anugerah. Rupanya, masa pandemik Covid-19 juga ikut menyumbangkan dampak negatif terhadap kerukunan keluarga dan bahkan mengakibatkan meningkatnya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di berbagai belahan dunia. 

Mengapa Kasus KDRT Meningkat Selama Wabah Covid-19?

Melansir dari laman The New York Times, Marianne Hester sebagai seorang sosiolog dari Universitas Bristol menjelaskan bahwa kemungkinan ini sangat bisa terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga justru meningkat setiap kali sebuah keluarga menghabiskan waktu terlalu lama bersama, seperti saat Natal atau liburan musim panas. Peningkatan kasus KDRT ini bahkan sudah terlihat sejak dua minggu pertama Cina melakukan lockdown. Dalam laman yang sama, sebuah kasus tentang seorang perempuan berusia 26 tahun mengalami luka memar di kedua kakinya akibat hantaman kursi yang dilakukan oleh pasangannya di tengah pemberlakuan karantina wilayah yang mengharuskan suaminya lebih banyak beraktivitas di rumah. Saat kekerasan itu terjadi, dia sedang menggendong bayinya yang baru berumur 11 bulan. 

Beberapa negara di Asia lainnya seperti Korea Selatan dan Jepang, juga banyak memberitakan tentang bertambahnya kasus KDRT hingga perceraian dengan presentase yang cukup signifikan. Hal ini juga terjadi di negara lain seperti Eropa dan Amerika. Spanyol, dalam 2 minggu setelah keputusan lockdown, menyebutkan kenaikan kasus KDRT sebanyak 18%., sementara Prancis mencapai 30% dalam hal peningkatan kasus KDRT. Lonjakan laporan kasus kekerasan dalam rumah tangga ini mendapat respons dari PBB yang mulai mendesak setiap negara di berbagai penjuru dunia agar ikut memperhitungkan keselamatan dan perlindungan terhadap wanita dan anak selama karantina besar-besaran ini.

Di Indonesia sendiri, The Jakarta Post mewartakan wawancaranya dengan direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Situ Zuma, yang mencatat adanya 17 kasus KDRT dari total 59 kasus pemerkosaan, kekerasan, pelecehan seksual, dan pornografi online. Menurut Situ Zuma, jumlah kasus KDRT ini adalah angka tertinggi yang terjadi dalam waktu 2 minggu di tengah pandemi Covid-19. Kondisi ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan berdampak pada keselamatan dan nyawa tiap anggota keluarga. KDRT sama berbahayanya dengan wabah Covid-19 itu sendiri, sehingga masyarakat juga harus melakukan upaya untuk menekan dampak buruk berupa KDRT yang diakibatkan oleh wabah Covid-19 ini.

Nah, sebelum itu, Ibu dan Ayah perlu mengidentifikasi terlebih dahulu apa saja penyebab kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga nantinya akan memudahkan Ibu dan pasangan saat mencari solusi yang tepat. Yuk, simak penjelasan berikut ini:

  1. KDRT Sebagai Bahaya Laten

    Disadari atau tidak, pelaku kekerasan dalam rumah tangga ternyata tidak hanya dilakukan oleh suami atau Ayah. Meskipun marak diberitakan bahwa korban KDRT adalah perempuan dan anak-anak, tidak menutup kemungkinan bahwa pasangan perempuan atau istri bisa menjadi pelaku KDRT. Mengapa demikian? Faktanya, kita lebih sering mengidentikkan kekerasan dengan laki-laki padahal kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin. Meskipun tidak bisa dimungkiri hingga saat ini data menunjukkan bahwa perempuanlah yang lebih banyak menjadi korbannya.

    Menurut WHO, yang dikutip dari artikel The Guardian, kekerasan fisik maupun seksual yang sebenarnya sedang marak terjadi secara global ini justru paling sedikit yang dilaporkan sebagai pelanggaran HAM dan tubuh perempuan lah yang paling sering menjadi lading pertempuran.

    Tanpa adanya Covid-19 pun, KDRT sendiri merupakan kondisi berbahaya yang cukup mengkhawatirkan. Apalagi di masa sekarang, KDRT tersebut bertambah intensitasnya karena pelaku dan korban berada dalam satu tempat dalam waktu lama. Pelaku kekerasan akan cenderung melampiaskan emosinya kepada orang-orang yang saat itu berada di sekitarnya, sementara korban pun terjebak di sana tanpa bisa ke mana-mana. Selain itu, kasus-kasus KDRT baru yang muncul juga tidak sedikit yang dipicu oleh ledakan emosi akumulatif yang tak mendapatkan media penyaluran yang tepat. Kekerasan yang identik dengan energi marah yang biasanya bisa disalurkan dengan beraktivitas di luar rumah, sekarang sudah tidak memungkinkan lagi karena dalam masa pandemi memaksa semua orang untuk membatasi aktivitas di luar. Rumah yang semestinya menjadi tempat paling aman untuk menghindari Covid-19, bisa saja berubah menjadi tempat paling berbahaya bagi korban.

    Kekerasan dalam rumah tangga yang merebak di tengah wabah Covid-19 ini tidak hanya berupa kekerasan fisik, tapi juga kekerasan verbal kepada anggota keluarga; suami, istri, orangtua, atau anak. Kekerasan fisik bisa berupa pukulan, pelecehan seksual, hingga pembunuhan. Sementara kekerasan verbal bisa berupa komentar negatif, bullying, caci maki, sumpah serapah, terlalu mengatur hal-hal yang mendetail, hingga bentakan-bentakan. Biasanya, kekerasan verbal yang seringkali tidak disadari sebagai bentuk kekerasan ini mengarah pada timbulnya kekerasan fisik yang bisa berakibat fatal bahkan sampai merenggut nyawa korbannya.

  2. Komunikasi yang Buruk dengan Pasangan

    Meski terdengar sepele, komunikasi adalah kunci utama untuk menentukan kelanjutan interaksi setiap pasangan. Komunikasi yang buruk akan menyebabkan kesalahpahaman yang berujung pada perdebatan yang tidak ada habisnya. Selama pandemik Covid-19 ini, masalah komunikasi yang sering ditemui sering kali berhubungan dengan pembagian pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, bahkan hingga persoalan sepele seperti hal-hal kecil tentang perbedaan cara meletakkan barang di tempat tertentu. Seolah-olah Ibu dan Ayah mengulang kembali proses beradaptasi dengan kebiasaan pasangan, padahal sudah menjalani pernikahan selama belasan bahkan puluhan tahun.

    Komunikasi yang buruk akan lebih mudah mengaduk-aduk emosi tanpa menghasilkan solusi untuk menyelesaikan masalah perbedaan pendapat. Inilah yang mengakibatkan banyak pasangan akhirnya saling menyalahkan, berbicara dengan nada tinggi atau membentak, adu mulut, hingga berakhir dengan kekerasan fisik maupun verbal.

  3. Masalah Psikologis Individu

    Tidak bisa dimungkiri bahwa masalah psikologis setiap individu akan memengaruhi pola pikir dan tindakannya. Pengalaman traumatis, stres, bosan, dan kesulitan dalam mengelola emosi ini diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat gerak-gerik Ibu dan Ayah semakin terbatas.

    Misalnya, Ibu atau Ayah yang memiliki karakter extrovert akan cenderung lebih cepat merasa bosan dan stres karena kebutuhannya untuk berinteraksi dengan banyak orang tidak terpenuhi selama masa karantina di rumah. Sementara beberapa orang yang biasanya menantikan kedamaian saat rumah sedang sepi, kini harus beradaptasi lagi dengan rumah yang selalu ramai karena pasangan diharuskan bekerja dari rumah dan anak-anak pun belajar dari rumah. Terlebih, apabila pasangan adalah seorang yang abusive, maka rumah bukan lagi tempat yang aman untuk berlindung.

    Ditambah lagi dengan masalah-masalah baru yang berdatangan. Misalnya saat daycare terpaksa ditutup selama wabah Covid-19 sementara Ibu dan Ayah tetap harus bekerja di kantor maupun WFH sambil mengasuh si kecil tanpa bantuan ART. Terlebih saat pasangan yang menjadi tulang punggung keluarga ternyata dinyatakan positif Covid-19 dan tidak bisa bekerja selama masa penyembuhan atau telah meninggal dunia, tentu ini menjadi pukulan telak bagi keluarga karena harus memikirkan bagaimana caranya agar tetap bisa bertahan hidup sekaligus merawat anak.

  4. Masalah Keuangan

    Semenjak Covid-19 masuk ke Indonesia dan membawa dampak buruk dalam berbagai sektor, termasuk perekonomian, tidak sedikit masyarakat pekerja yang terpaksa dirumahkan tanpa pesangon, di-PHK secara sepihak, maupun mengalami penurunan omset dan penghasilan harian karena sepinya peminat atau pembeli. Masalah keuangan yang tak menentu ini pasti memicu stres yang diakibatkan oleh perasaan bersalah sekaligus khawatir karena tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga seperti biasanya dan tak bisa dimungkiri juga dapat memengaruhi hubungan dengan pasangan dan saling menyalahkan. Pasangan yang terus-menerus menuntut pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mau mengerti situasi sulit ini tentu akan memancing pertengkaran yang berakhir dengan kekerasan verbal hingga kekerasan fisik.

Upaya Mencegah Masalah Rumah Tangga dan KDRT Selama Wabah Covid-19

Untuk menjaga keharmonisan hubungan rumah tangga selama wabah Covid-19 dan mencegah KDRT, berikut beberapa cara yang bisa dilakukan Ibu dan pasangan:

  1. Jaga Kesehatan Mental dengan Manajemen emosi

    Memprioritaskan kesehatan mental sangatlah penting dalam situasi mendesak di tengah pandemi ini. Bila perlu, lakukan detox digital untuk mengurangi efek serangan kecemasan setelah membaca berita kehilangan maupun kabar-kabar buruk yang dirasa akan memengaruhi mood Ibu dan pasangan. 

    Karena pandemi Covid19 menjauhkan kita dari orang-orang yang kita cintai, sangat wajar jika merasa cemas, terisolasi, atau kewalahan dengan tanggung jawab pekerjaan atau keluarga. Ibu bisa mulai menciptakan momen-momen kebahagiaan dengan tetap menghubungi teman dan keluarga melalui aplikasi online.

    Hal yang sama juga berlaku saat Ibu mulai merasa jenuh dengan aktivitas yang terbatas di rumah hanya dengan pasangan atau anak yang sering kali menguras emosi. Untuk itu, Ibu atau Ayah harus lebih dulu menemukan cara untuk mengelola emosi diri dan memenuhi kebutuhan diri untuk mengurangi risiko stres dan seperti tips yang diberikan oleh @keluargakitaid. Selain itu, tak ada salahnya mencoba kegiatan baru seperti mencari hobi baru, mengikuti komunitas online, kuliah WhatsApp, rutin berolahraga, yoga, hingga membuat jadwal khusus untuk me time. Saat masing-masing individu merasa telah terpenuhi kebutuhannya, risiko stres dan KDRT akan semakin berkurang.

  2. Perbaiki Komunikasi dengan Pasangan

    Sebagai kunci utama keharmonisan hubungan rumah tangga, komunikasi yang baik harus diterapkan. Berbicara dengan nada keras atau membentak tidak hanya memblokir percakapan, tapi juga membuat lawan bicara cenderung merespons dengan cara yang sama. Oleh karena itu, Ibu dan Ayah harus benar-benar memperhatikan cara agar komunikasi menjadi efektif dan tidak menuai pertengkaran. Hal ini tentu tidak mudah, karena bentuk komunikasi yang dibutuhkan bukan hanya soal apa yang disampaikan, namun juga bagaimana Ibu dan pasangan memaknai komunikasi tersebut.

    Sebaiknya menghindari waktu-waktu di mana Ibu maupun pasangan sedang dalam keadaan cemas atau tegang karena baru pulang bekerja atau ketika anak sedang menangis. Ibu dan Ayah bisa mengatur volume suara tidak terlalu keras atau kecil dan pilihlah kata-kata yang tidak berisiko menyinggung perasaan. Saat marah, usahakan untuk tidak berteriak dengan cara mengatur napas. Bila perlu ambil jeda untuk berada di tempat berbeda selama beberapa saat untuk menenangkan diri atau minum air putih. Upayakan untuk menjauhkan distraksi seperti gawai saat sedang berkomunikasi supaya Ibu dan pasangan bisa berbicara secara mindfulness, yaitu hadir secara utuh fisik dan pikiran.

  3. Jangan Sepelekan Quality Time

    Tak dapat disangkal lagi bahwa selama wabah Covid-19 ini, pikiran Ibu dan pasanganan sering dihantui oleh kekhawatiran. Hal ini tentu berpengaruh pada keintiman dan kehangatan keluarga agar terhindar dari suasana tegang dan energi negatif. Nah, untuk itu Ibu dan pasangan sebenarnya bisa lho mengurangi kecemasan ini dengan terus memelihara keintiman dan meningkatkan kualitas hubungan dengan quality time

    Quality time ini bisa dilakukan dengan cara sederhana seperti menonton film bersama saat anak tidur, rutin berhubungan seks, hingga obrolan panjang sebelum tidur atau pillow talk. Ibu dan pasangan dapat meluangkan waktu selama durasi tertentu untuk membicarakan masalah atau sekadar saling bercerita tentang unek-unek yang selama ini disimpan. Ini adalah momen yang tepat karena saat inilah tubuh sedang rileks dan pikiran lebih jernih. Sehingga komunikasi berjalan dengan lebih tenang, hubungan harmonis lebih mudah tercapai, dan akan terhindar dari kemungkinan adanya kekerasan dalam rumah tangga.

  4. Buat Jadwal Harian dan Kesepakatan Tertulis

    Semenjak aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan himbauan agar #dirumahaja, tentu berpengaruh pada jadwal keseharian Ibu dan keluarga. Ibu atau Ayah yang biasanya WFO (Work from Office), kini harus WFH dan mengurus pekerjaan rumah tangga sekaligus mengasuh anak dalam waktu yang bersamaan. Terlebih jika anak juga harus mengerjakan tugas sekolah yang memerlukan pendampingan orangtua. Tidak mudah ya, Bu?

    Untuk itu, Ibu perlu mengatur waktu dengan cara membuat jadwal dan kesepakatan baru bersama anggota keluarga lainnya. Ini dapat mempermudah dalam menentukan apa saja yang harus dikerjakan terlebih dahulu, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dan menjadi pengingat jika ada hal yang terlupakan. Begitu pula dengan kesepakatan baru yang harus dipatuhi secara konsisten. Misalnya, durasi screen time untuk anak maupun orangtua, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan si kecil selama Ibu atau Ayah sedang conference call, hingga siapa bertugas yang mencuci baju dan memasak pada hari-hari tertentu. Jadwal dan kesepakatan ini akan lebih mudah diterapkan hanya jika dibuat atas dasar kesediaan bersama. Selain itu, menulisnya dengan rinci dan ditempel di dinding agar terlihat oleh semua anggota keluarga juga akan mempermudah menjadi pengingat bersama.

  5. Cari Bantuan Tenaga Profesional

    Upaya-upaya pencegahan harus terus dilakukan untuk mengurangi risiko kekerasan dalam rumah tangga. Ibu dan pasangan tak perlu ragu berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti psikolog pernikahan secara virtual ketika mengalami masalah rumah tangga yang memerlukan mediasi selama wabah Covid-19 ini. Dan mengingat banyaknya dampak buruk KDRT, hal ini tentu tidak boleh disepelekan. Apabila mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sebaiknya Ibu dan keluarga segera melapor kepada pihak kepolisian atau Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA). Dengan demikian, pelaku KDRT bisa segera ditindaklanjuti dan korban  mendapatkan perlindungan serta pemulihan secara fisik maupun mental.

(Dwi Ratih)