Para Ibu yang melahirkan bertepatan dengan berlangsungnya bulan Ramadan, mungkin bertanya-tanya bagaimana ya cara membayar fidyah Ibu melahirkan? Setelah melahirkan, seorang Ibu pasti mengalami nifas, yaitu keluarnya darah dari rahim selama kurang lebih 40 hari. Sebenarnya nifas tidak jauh berbeda dengan haid. Yang membedakan hanyalah kuantitas darah yang keluar dan durasi atau lamanya masa nifas. Darah nifas cenderung lebih banyak dan durasi nifas pun juga lebih lama jika dibandingkan dengan haid.
Lalu, bagaimana hukum puasa bagi wanita nifas yang bertepatan dengan berlangsungnya bulan Ramadan? Apakah dihukumi sama dengan wanita haid? Dan bagaimana cara membayar fidyah ibu melahirkan yang tidak bisa berpuasa karena nifas?
Hukum Puasa Wanita Nifas
Wanita nifas seperti halnya wanita haid, mereka ini diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Begitu juga dengan wanita hamil, menyusui, orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), dan orang yang sakit atau sudah tua. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah:
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya mengqada puasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185).
Dalam ayat tersebut memang tidak disebutkan secara lugas bahwa wanita hamil, menyusui, haid, atau nifas tidak diwajibkan berpuasa. Namun, sebagian besar ulama sepakat bahwa wanita-wanita tersebut dapat digolongkan sebagai orang yang sakit, seperti yang disebutkan dalam ayat di atas. Wanita yang mengalami kondisi di atas, dianggap berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk puasa. Mereka lemah, belum suci (untuk yang haid dan nifas), dan butuh banyak energi untuk mengurus bayinya. Jadi memang ada alasan dari segi kesehatan yang dikhawatirkan menjadi beban dan berpengaruh pada kondisinya maupun bayinya, jika mereka tetap berpuasa.
Sama seperti ibadah puasa, wanita nifas juga tidak diperbolehkan salat karena berada dalam keadaan belum suci. Namun, berbeda dengan puasa, walau sama-sama ibadah wajib, salat yang tidak dilakukan selama masih nifas tidak perlu didobel di hari lain. Hanya puasa Ramadan saja yang perlu diganti di lain waktu. Hal ini sesuai dengan hadis yang disebutkan dalam Bukhari Muslim. Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya oleh seorang wanita: “Mengapa wanita haid diharuskan mengqada puasa dan tidak diharuskan mengqada salat?”. Aisyah pun menjawab, “Dulu kami mendapati haid. Kami diperintahkan (oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) untuk mengqada puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqada salat.”
Hukum Mengganti Puasa Ramadan Wanita Nifas
Pada dasarnya, wanita nifas dianggap sama seperti wanita haid. Wanita haid yang tidak berpuasa wajib mengganti puasanya di hari lain ketika haidnya sudah selesai (seperti perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas). Namun, dengan catatan saat nifas ia tidak menyusui bayinya. Jadi, wanita nifas yang tidak menyusui bayinya, tidak wajib berpuasa dan harus mengqada puasanya itu di hari lain. Tapi, jika wanita nifas itu juga sekaligus menyusui bayinya, hukum penggantian puasanya sedikit berbeda karena ada pilihan lain untuk membayar puasa, yaitu membayar fidyah.
Jadi bisa dikatakan hukum mengganti puasa Ramadan untuk wanita nifas perlu dilihat dulu, apakah dia menyusui bayinya atau tidak. Jika tidak, maka ia wajib mengqada puasa Ramadannya, sebagaimana wanita haid yang diwajibkan hal serupa. Tapi kalau wanita nifas (setelah melahirkan ia menyusui bayinya), maka hukumnya disamakan dengan wanita menyusui. Ada beberapa pendapat mengenai cara membayar fidyah ibu melahirkan dan kewajiban penggantian puasa wanita menyusui, berikut ini adalah dua pendapat terkuat seperti yang dilansir dari laman Almanhaj:
1. Wajib mengqada tanpa membayar fidyah
Wanita nifas yang menyusui wajib mengqada puasa tanpa harus membayar fidyah. Ini sifatnya mutlak, baik karena ia khawatir akan kondisinya, maupun khawatir akan kondisi bayi yang disusui. Wanita nifas yang menyusui ini disamakan dengan Ibu hamil dan para musafir. Mereka memiliki uzur atau halangan yang membuatnya tidak bisa berpuasa. Sehingga ketika uzur itu hilang, qada wajib dilakukan.
Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Baqarah ayat 184: “...Maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…”
Pendapat ini seperti halnya yang diutarakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah, di laman Dalam Islam. Menurutnya, asalnya kewajiban wanita nifas ketika ia tidak berpuasa adalah dengan mengqadanya di hari lain (jika ia merasa kuat berpuasa). Tapi jika keadaan tidak memungkinkan, seperti kondisinya lemah atau usianya sudah senja, maka diperbolehkan menggantinya dengan membayar fidyah. Yang kurang tepat dari pendapat beliau adalah ketika seseorang masih mampu mengqada di hari lain, tapi justru langsung memutuskan membayar fidyah.
2. Wajib membayar fidyah tanpa mengqada puasa
Selain pendapat di atas, ada juga pendapat lain yang mengatakan kalau wanita menyusui atau wanita nifas yang menyusui hanya wajib membayar fidyah tanpa harus mengganti puasanya di hari lain. Para ulama yang condong ke pendapat ini beranggapan bahwa kedudukan Ibu menyusui sama seperti orang yang tidak mampu berpuasa, misalnya karena sakit menahun yang sulit sembuh atau karena sudah tua. Maka, mereka pun diwajibkan membayar fidyah. Fidyah Ibu menyusui bisa berupa memberi makan orang miskin sebagai pengganti setiap hari berbuka.
Pendapat ini juga berlaku ketika misalnya, seorang Ibu menyusui bayinya selama lebih dari 2 tahun, atau ketika ia hamil lagi sebelum atau setelah masa menyapih. Sehingga akan terasa berat jika harus membayar utang puasa berbulan-bulan lamanya. Jika Ibu termasuk kondisi ini, diperbolehkan untuk membayar fidyah saja tanpa mengqada puasa.
Cara Membayar Fidyah Ibu Melahirkan
Lalu, bagaimana cara membayar fidyah Ibu melahirkan atau yang masih berada dalam masa nifas dan menyusui sehingga tidak memungkinkan untuk berpuasa? Sebetulnya, cara-caranya tidak terlalu beda jauh dengan cara membayar fidyah pada umumnya, atau yang berlaku bagi wanita menyusui. Yuk, simak lebih lengkapnya!
1. Cara pertama: membayar fidyah dengan satu bungkus makanan per hari batalnya puasa
Cara membayar fidyah Ibu melahirkan bisa dengan memberikan satu bungkus makanan ke fakir miskin sejumlah hari batalnya puasa. Jenis makanan yang boleh diberikan sebetulnya tinggal mengikuti kebiasaan yang berlaku di masyarakat saja. Yang penting, dengan satu bungkus itu orang sudah bisa dikatakan makan berat. Contoh makanannya bisa berupa nasi, lengkap dengan lauk pauk dan sayurannya. Soal porsi atau ukurannya juga bisa disesuaikan dengan porsi rata-rata satu orang. Hal ini berarti memberikan fidyah berupa makanan ringan belum bisa dikatakan fidyah.
Beberapa ulama berpendapat bahwa cara membayar fidyah Ibu melahirkan tidak mesti dengan memberi fakir miskin makan 3 kali sehari. Untuk utang puasa 1 hari, cukup dibayar dengan membayar fidyah 1 kali kepada 1 orang. Fidyah paling mudah adalah dengan memberikan makanan siap saji dan dibungkus dalam satu bungkus makanan. Selain nasi, lauk, dan sayur, bisa juga dengan menambahkan air minum atau buah. Jika Ibu punya utang puasa 30 hari, maka Ibu wajib membayar fidyah dengan 30 bungkus makanan, yang dibagikan kepada 30 orang. Namun, pembagiannya juga bisa dilakukan kepada 1 orang yang sama setiap hari selama 30 hari (30 kali makan).
2. Cara kedua: membayar fidyah dengan makanan pokok atau bahan mentah
Cara membayar fidyah Ibu melahirkan juga bisa dengan memberikan bahan mentah yang bisa diolah menjadi makanan pokok sehari-hari, seperti beras, gandum, atau yang semisal. Mengenai takaran bahan mentah yang dijadikan fidyah, para ulama memiliki perbedaan pendapat. Seperti Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi, yang berpendapat besaran fidyah berupa bahan mentah itu ukurannya ½ sha’. Jika satu sha’ disamakan dengan 2,5 kg maka ½ sha’ berarti sekitar 1,25 kg.
Lain halnya dengan pendapat Imam Malik dan Imam As-Syafi’i, yang mengatakan kalau fidyah itu sebesar 1 mud gandum atau kira-kira sekitar 0,75 gram. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, ukuran atau besaran fidyah adalah 1,25 kg. Nah, misalnya seorang Ibu yang nifas sekaligus menyusui memiliki utang puasa 30 hari, jika ia memakai konversi Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi, maka jumlah bahan mentah yang harus ia siapkan adalah 37,5 kg, yang dibagi untuk 30 orang atau beberapa orang saja.
3. Cara ketiga: membayar fidyah dengan uang
Selain dua pendapat utama di atas, ada juga pendapat yang membolehkan membayar fidyah dengan uang. Cara membayar fidyah Ibu melahirkan satu ini termasuk pandangan para ulama Hanafiyah. Dalam pendapat ini, fidyah boleh dibayar menggunakan uang yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan si penerima fidyah atau fakir miskin. Nominal yang dikeluarkan harus sebanding dengan harga kurma, anggur, atau jewawut seberat 3,25 kg. Pilihan lain, bisa juga dengan menggunakan harga yang setara dengan 1,625 kg gandum, untuk satu hari utang puasa. Katakanlah harga 1,625 kg gandum adalah 29 ribu rupiah, dan Ibu memiliki utang puasa 30 hari, maka Ibu wajib membayar dengan uang sebesar Rp870.000. Uang tersebut bisa dibagikan kepada 30 orang fakir miskin.
Namun, banyak juga ulama yang menyangkal pendapat bahwasannya fidyah boleh dibayar dengan uang. Hal ini karena mereka merujuk pada Surah Al-Baqarah ayat 184, “...Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin…”. Maka mereka pun menganggap membayar fidyah dengan menggunakan uang telah menyelisihi ayat di atas. Ada juga kekhawatiran jika membayar fidyah memakai uang, para penerimanya akan menggunakan uang tersebut untuk keperluan lain, bukan untuk membeli makan. Jadi, jika Ibu memang ragu atau takut penerima fidyahnya tidak amanah, lebih baik pilih cara pertama atau kedua sebagai cara membayar fidyah Ibu melahirkan.
Waktu Membayar Fidyah Ibu Nifas dan Menyusui
Setelah mengetahui cara membayar fidyah Ibu melahirkan, muncul pertanyaan lain: Kapan waktu yang tepat membayar fidyah bagi Ibu nifas yang masih menyusui? Mengenai waktu pembayaran fidyah, Ibu bisa membayarnya pada hari itu juga ketika Ibu tidak berpuasa. Mempercepat pembayaran fidyah sebelum masuk waktu Subuh juga diperbolehkan. Cara lain, bisa juga dengan menggabungkan pembayaran fidyah sampai hari terakhir di bulan Ramadan. Contohnya jika Ibu utang puasa 30 hari, maka fidyah untuk membayar utang tersebut dibayarkan di hari terakhir Ramadan.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan kalau pembayaran fidyah tidak mesti dilakukan di bulan Ramadan. Ibu tetap bisa membayar fidyah walaupun Ramadan telah usai. Pembayaran fidyah sendiri sebenarnya tidak ada batasan waktu. Fidyah bisa ditunaikan sesuai kelapangan dan kemampuan, hal itu tidak mengapa walau harus ditunda beberapa tahun. Nah, itulah cara-cara membayar fidyah Ibu melahirkan, lengkap dengan informasi mengenai hukum wanita nifas puasa Ramadan. Jangan lupa utang puasanya dibayar ya, Bu!
Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih