Keluarga

Hindari 15 Hal Ini Agar Tidak Merusak Hubungan Pernikahan

Hindari 15 Hal Ini Agar Tidak Merusak Hubungan Pernikahan

Hubungan pernikahan sejatinya tidak selalu mulus dan harmonis. Masalah dan pertikaian adalah hal wajar yang niscaya terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Terkadang, masalah inilah yang menjadi bumbu dalam hubungan pernikahan agar berjalan dinamis untuk menguji kekuatan tali perkawinan Ibu dan Ayah. Meski masalah dan perdebatan ini lumrah terjadi, bukan berarti Ibu dan Ayah tidak perlu waspada dan membiarkannya terjadi begitu saja, bahkan dalam hal sepele sekalipun.

Dibutuhkan antisipasi dan solusi ketika masalah tersebut datang agar tidak menjadi racun yang merusak hubungan pernikahan yang telah terjalin. Tak jarang, pemicu masalah dalam hubungan pernikahan ini muncul dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak sadar dilakukan dan dibiarkan berkepanjangan oleh suami atau istri, sehingga sewaktu-waktu dapat meledak dan membahayakan hubungan pernikahan. Untuk mengidentifikasinya, mari simak 18 hal yang bisa merusak hubungan pernikahan dan tips mengatasinya:

  1. Mengkritik Pasangan Secara Berlebihan

    Kekurangan pasangan akan semakin tampak setelah menikah. Kebiasaan buruk pasangan yang terkesan sepele seperti lupa menutup pintu kamar mandi, meletakkan handuk basah di tempat tidur, atau menarik baju dari lemari dengan sembarangan akan menjadi hal-hal kecil yang juga bikin kesal. Menegur dan mengkritisi pasangan tentu sah- sah saja, tentu jika tidak dilakukan secara berlebihan. Jika tidak segera diatasi, hal ini dikhawatirkan bisa menjadi bibit-bibit percekcokan yang merusak hubungan pernikahan.

    Kebanyakan pasangan salah satunya bertipe yang rapi sedangkan satunya tidak. Jika istri mengkritisi kekurangan suami terlalu sering atau sebaliknya, maka hal ini akan membuat pasangan yang dikritisi menjadi jengah. Suami atau istri akan merasa pasangannya terlalu cerewet dan tidak menerima mereka apa adanya.

    Solusi: Berdamailah dengan kekurangan pasangan. Bicaralah dengan pasangan secara baik-baik mengenai kebiasaan apa yang bisa disepakati bersama untuk dibenahi. Jangan terlalu mengkritik pasangan saat bicara dengannya. Mintalah pasangan untuk mengevaluasi juga kekurangan apa yang tidak ia sukai. Jadi, suami-istri bisa saling bersikap adil menerima kekurangan dalam hubungan pernikahan.

  2. Bersikap Negatif dalam Menghadapi Permasalahan

    Masalah yang timbul dalam hubungan pernikahan banyak jenisnya. Bisa dari pasangan suami-istri sendiri, atau bahkan dari keluarga besar. Bersikap negatif dalam menyikapi permasalahan akan menjadikan masalah semakin runyam dan tidak menemukan jalan keluar. Suami-istri hendaknya mencari solusi bersama. Contoh masalah yang bisa timbul adalah saat Ayah di-PHK dari tempatnya bekerja. Lantas Ibu menyalahkan Ayah dengan mengatakan bahwa Ayah tidak kompeten dalam bekerja, lalu marah-marah dan stres sendiri karena sudah memikirkan hal-hal negatif lain yang mungkin terjadi di masa-masa selanjutnya.

    Padahal jika dapat mengolah permasalahan dengan baik, Ibu bisa menenangkan Ayah yang sebenarnya masih shock dengan masalah pekerjaannya, lalu mulai diskusi soal rencana ke depan akan seperti apa.

    Solusi: Bersikaplah tenang saat menghadapi masalah. Buatlah hubungan pernikahan jadi menyenangkan dengan berpikir positif dan mengedepankan solusi ketimbang bersikap negatif.

  3. Tidak Saling Bekerja sama

    Memasrahkan semua pekerjaan rumah dan mengurus anak pada Ibu atau memasrahkan segala pekerjaan kasar pada Ayah, juga dapat menjadi racun bagi hubungan pernikahan. Ayah dan Ibu hendaknya bekerja sama dalam menyelesaikan tugas dan permasalahan selama hidup bersama. Ayah memang sudah lelah saat pulang kerja, tapi menggantungkan semua pekerjaan rumah pada Ibu dan Ayah enggan ikut andil tentu akan menimbulkan masalah baru. Padahal, Ibu dan Ayah tentu memiliki kapasitas masing-masing dalam memikul beban pekerjaan di kantor maupun di rumah.

    Solusi: Dalam hubungan pernikahan, alangkah lebih baik jika Ayah dan Ibu bekerja sama dan selalu saling membantu dalam berbagai hal. Ayah bisa membantu hal-hal sederhana di saat sedang di rumah seperti mencuci piring setelah makan malam, bermain bersama anak sepulang kerja, atau merawat halaman rumah dan tanaman saat akhir pekan. 

    Ibu juga sebaiknya tidak bergantung pada Ayah untuk hal-hal yang biasa Ayah lakukan di keseharian. Bicarakan dengan pasangan dan temukan solusi bersama saat Ibu maupun Ayah merasa beban kerja di rumah atau kantor terlalu berat dan butuh istirahat sejenak. 

  4. Memprioritaskan Keluarga Besar Salah Satu Pihak

    Hubungan pernikahan tidak hanya menyatukan dua orang saja. Faktanya, ada dua keluarga besar juga yang disatukan karena suatu hubungan pernikahan. Suami atau pun istri yang terlalu memprioritaskan keluarganya dapat berdampak pada kecemburuan salah satu pihak. Suami akan protes jika istri selalu mengedepankan masalah keluarganya dibandingkan keluarga inti mereka sendiri. Begitu pula istri tentu tidak akan suka jika suami terlalu memprioritaskan kebutuhan keluarganya dibandingkan kebutuhan anak dan istrinya. Tentu saja ini sangat mengganggu dan rentan menimbulkan kerenggangan dalam hubungan pernikahan.

    Solusi: Untuk mempertahankan hubungan pernikahan agar tetap harmonis, setiap paangan perlu membatasi ikut campur dalam urusan keluarga besar salah satu pihak. Membatasi bukan berarti menutup diri. Orangtua tetap perlu dibantu jika mengalami masalah, tapi akan lebih bijaksana bagi suami dan istri untuk membicarakan solusi permasalahan orangtua mereka tersebut agar tidak terjadi kecemburuan sosial pada salah satu pihak.

  5. Terlalu Lama Berada di Comfort Zone

    Hubungan pernikahan yang monoton dan berkutat pada hal itu-itu saja bisa dikategorikan sebagai zona nyaman yang mematikan. Tidak adanya letupan-letupan kecil pada hubungan pernikahan akan membuat suami-istri merasa jenuh dengan kehidupan yang stagnan.

    Solusi: Buatlah rencana liburan bersama pasangan dan anak-anak untuk menjaga kewarasan dan membuat hal berbeda. Sesekali hadirkan kejutan romantis saat momen merayakan ulang tahun pernikahan. Ibu dan Ayah juga jadi tidak jenuh menghadapi rutinitas harian yang membosankan.

  6. Boros untuk Keperluan Pribadi

    Saat memutuskan menikah, segala hal tentunya akan direncanakan bersama. Bukan berarti Ibu atau Ayah akan kehilangan hak untuk memenuhi kebutuhan pribadi, misalnya berkaitan dengan hobi. Namun, keperluan-keperluan tersebut sebaiknya tidak berlebihan sehingga mengabaikan prioritas lainnya. Pendapatan akan dialokasikan untuk keperluan berdua dan anak-anak juga.

    Bila salah satu terlalu boros dalam memenuhi keperluan pribadinya, tentu akan membuat pasangan merasa pengeluaran untuk kebutuhan keluarga tidak lagi menjadi prioritas dan memicu timbulnya masalah finansial. Padahal, urusan finansial ini termasuk elemen yang sensitif dan memerlukan keterbukaan serta kesepakatan bersama. Jika tidak, ini tentu dapat mengganggu hubungan pernikahan. 

    Solusi: Aturlah budget tertentu untuk keperluan pribadi setiap bulannya. Sehingga Ayah atau Ibu bisa membatasi hal-hal yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan.

  7. Terlalu Mengumbar Kehidupan Pribadi

    Stres biasanya dipicu oleh tekanan masalah. Tidak salah jika Ibu atau Ayah ingin curhat pada seseorang, dan terkadang jika tekanan tersebut berasal dari hubungan pernikahan, maka biasanya akan lebih nyaman ketika bercerita kepada orang lain.

    Namun, tahukah Ibu dan Ayah, jika terlalu banyak menceritakan kehidupan pernikahan dengan pasangan pada orangtua atau teman, akan berakibat buruk bagi hubungan pernikahan? Pasangan akan merasa kehidupan pribadinya terlalu banyak diumbar pada orang lain. Padahal seharusnya hal-hal tersebut adalah rahasia berdua.

    Solusi: Menjaga hal-hal yang terjadi bersama pasangan tetap menjadi rahasia berdua lebih baik ketimbang mengumbarnya pada orang lain. Curhatlah untuk hal-hal yang umum atau sewajarnya dengan orang lain. Lalu jika menemukan masalah dengan pasangan, bicaralah dari hati ke hati bersama dengan pasangan. Jangan ragu untuk meminta bantuan psikolog pernikahan apabila memang diperlukan.

  8. Kurang Perhatian pada Pasangan

    Kurangnya perhatian pada pasangan akan membuat pasangan merasa dikucilkan. Cuek dan tidak peduli akan membuat pasangan berpikir ia tak lagi dicintai. Banyaknya distraksi seperti kecanduan gadget atau mengacuhkan pasangan karena perhatian lebih terfokus pada hobi pribadi juga bisa berdampak negatif pada hubungan pernikahan.

    Solusi: Detail kecil seperti menanyakan bagaimana harinya di kantor atau adakah pekerjaan di rumah yang bisa dibantu, masih perlu untuk saling ditanyakan demi menjaga keutuhan hubungan pernikahan. Lakukan detox digital setiap akhir pekan agar bisa memaksimalkan perhatian kepada pasangan tanpa distraksi.

  9. Melupakan Keromantisan Sederhana

    Sebelum menikah, rasanya segala hal menjadi serba romantis. Namun setelah menikah, banyak pasangan kehilangan keromantisannya sehingga menjadikan hubungan pernikahan mereka hambar dan tidak berwarna. Romantis tidak perlu selalu mewah. 

    Solusi: Sekedar menelepon pasangan di jam makan siang untuk mengatakan bahwa sedang rindu merupakan bentuk keromantisan yang amat sederhana. Ibu atau Ayah juga dapat menyiapkan makan malam sederhana dengan lilin dan bunga romantis di rumah untuk menyambut pasangan yang pulang bekerja. Pelukan 20 detik sebelum dan sesudah pergi kerja juga satu di antaranya.

  10. Menyela pembicaraan dan Kurang Mendengarkan Pasangan

    Pernahkah Ibu atau Ayah merasa bahwa pasangan selalu menyela pembicaraan? Ternyata hal ini dapat mengarah ke hubungan pernikahan yang tidak sehat. Berpendapat adalah hak setiap orang. Maka jangan sampai pendapat Ayah maupun Ibu tidak didengarkan.

    Solusi: Saat Ayah bicara, dengarkan dahulu apa yang hendak ia sampaikan. Tahanlah agar jangan sampai Ibu menyela pembicaraan Ayah agar Ayah merasa dihargai. Sebaliknya juga demikian ya. Biarkan pasangan menyampaikan maksudnya secara utuh agar kesalahpahaman tidak terjadi.

  11. Terlalu Sering Menggunakan ‘Kode’

    Main kode-kodean biasanya banyak dilakukan oleh para ibu. Dalam hubungan pernikahan, kode atau menyampaikan maksud secara tersirat ternyata tidak efektif digunakan. Karena biasanya Ayah lebih sering tidak mengerti daripada paham.

    Terlalu sering menggunakan kode akan membuat Ayah jengah. Sama halnya seperti anak Ibu yang merasa kesal karena tidak mengerti maksud orangtuanya, Ayah pun bisa jadi kesal karena tidak mengerti kode yang Ibu buat.

    Solusi: Katakan dengan jelas apa maksud dan keinginan Ibu pada Ayah. Agar Ayah tidak perlu menerjemahkan kode tersebut yang hanya akan berujung kebingungan. Selain Ayah bingung, Ibu jadi tidak mendapatkan apa yang Ibu inginkan, bukan?

  12. Mendendam dan Kata Maaf yang Terlupakan

    Sakit hati yang dipelihara menjadi dendam merupakan racun bagi hubungan pernikahan mana pun. Dendam sudah seperti bom waktu. Biasanya ini terjadi karena ada urusan yang tidak selesai atau merugikan salah satu pihak. Yang bila terus menerus dipendam dan tidak dilepaskan, maka hanya tinggal menunggu momen saja untuk meledak. Terlebih, jika gengsi menguasai dan tidak terlontar permintaan maaf yang tulus.

    Solusi: Kemarahan yang Ayah dan Ibu rasakan hendaknya saling dibicarakan sampai menemukan titik temu dan solusi. Jangan sampai dipendam sehingga menjadi dendam tak berkesudahan. Ibu dan ayah bisa mencoba untuk menyelesaikan masalah sesaat sebelum tidur agar masalah tidak berlarut-larut dan tidak dipendam dalam hati saja. Jangan lupa untuk selalu minta maaf atas hal sekecil apa pun yang membuat pasangan merasa tidak nyaman.

  13. Saling Menyalahkan Tanpa Mau Mengalah

    Menuduh pasangan melakukan kesalahan adalah hal paling mudah saat bertengkar. Saling menyalahkan tanpa mau mengalah akan membuat pasangan merasa selalu jadi kambing hitam. Marah memang emosi yang wajar untuk dikeluarkan. Tapi hindarilah langsung menuding pasangan bersalah dalam setiap pertengkaran.

    Solusi: Jangan terlalu fokus pada siapa yang bersalah, tetapi lebih baik fokus pada inti permasalahan dan bagaimana solusi terbaik yang tidak saling merugikan. Ayah dan Ibu bisa mengambil waktu sejenak secara terpisah selama beberapa waktu untuk menjernihkan pikiran dan melihat dari sisi pasangan masing-masing. Biasanya, saat sudah menenangkan diri, Ayah dan Ibu akan mendapati segala hal jadi jelas. Masalah akan sedikit demi sedikit terurai, dan baik Ayah maupun Ibu dapat menemukan kesalahan masing-masing dalam masalah yang terjadi. Jika sudah demikian, Ibu dan Ayah lebih baik bicara berdua dan menemukan solusi bersama.

  14. Kurang Mengapresiasi Pasangan

    Apresiasi adalah hal dasar yang bisa kita lakukan untuk menghargai keberadaan maupun usaha. Anak kecil saja penting untuk mendapatkan pujian dalam membangun emosinya. Bukan berarti pasangan tidak butuh diapresiasi ya.

    Saat Ibu atau Ayah kurang mengapresiasi pasangan, maka akan menimbulkan permasalahan baru, yakni pasangan merasa kurang dihargai. Apa yang sudah dilakukan seolah tidak berarti. Efek lain yang akan timbul adalah tidak lagi bersemangat dalam melakukan aktivitas karena merasa hal tersebut hanya sia-sia belaka.

    Solusi: Apresiasi yang bisa Ibu dan Ayah lakukan terhadap pasangan di antaranya adalah: mengucapkan terima kasih untuk masakan yang lezat atau mengucapkan terima kasih atas kerja keras dalam bekerja.

  15. Tidak Konsisten Terhadap Ucapan Maupun Perbuatan

    Ingkar janji dan tidak konsisten terhadap ucapan atau perbuatan juga dapat memicu hubungan pernikahan menjadi renggang. Seperti halnya bersikap konsisten dalam mendisiplinkan anak, bersikap konsisten juga penting untuk dilakukan pada pasangan. Dengan begitu pasangan tidak akan merasa dibohongi. Jika memang harus ada perubahan rencana terhadap janji yang sudah dibuat sebelumnya, Ayah dan ibu bisa saling bicara terlebih dahulu. Tidak hanya itu, saling mengingatkan dalam banyak hal sepele seperti aturan meletakkan handuk di tempatnya setelah mandi juga harus diikuti dengan perbuatan yang sejalan.

    Solusi: Biasakan untuk melakukan introspeksi diri. Hal-hal apa saja yang ingin Ibu atau Ayah inginkan dari pasangan, mestinya juga dibarengi dengan hal yang sama yang harus dilakukan oleh diri sendiri. Dengan begitu, adu argumen tentang saling melanggar aturan atau konsistensi masing-masing bisa dihindari.

(Dwi Ratih)