Setelah menjadi seorang Ibu, perempuan seringkali dihadapkan pada keadaan untuk memilih bekerja atau mengurus anak. Biasanya kegalauan ini muncul ketika Ibu baru saja melahirkan anak pertama. Kedua pilihan tersebut tentu memiliki konsekuensinya masing-masing.
Misalnya, Ibu rumah tangga yang merasa sulit mendapat penghargaan dari masyarakat. Atau justru Ibu bekerja yang merasa bersalah karena tidak bisa sepenuhnya mendedikasikan diri untuk keluarga.
Memilih untuk bekerja atau mengurus anak di rumah tentu bukan perkara yang mudah. Namun demikian, apakah benar jika setelah menjadi Ibu, perempuan hanya memiliki dua pilihan tersebut? Apakah tidak bisa jika memilih menjalankan keduanya sekaligus?
Artikel berikut akan mengupas tuntas tentang faktor penyebab munculnya pilihan menjadi Ibu rumah tangga atau Ibu bekerja, berdasarkan penjelasan dari dua narasumber profesional di bidangnya, yaitu Fathya Artha, M.Psi., Piskolog dan Kalis Mardiasih, seorang penulis dan aktivis keadilan gender. Daripada penasaran, simak penjelasan selengkapnya di sini.
Dilema dari dalam diri sendiri
Kehidupan perempuan mengalami perubahan sangat drastis ketika menjadi Ibu. Mereka tidak hanya dihadapkan pada perubahan rutinitas, tetapi juga perubahan kondisi biologis. Hal ini mengakibatkan cara kerja otak mengalami perubahan.
Menurut penjelasan psikolog Fathya Artha, setelah melahirkan bagian otak perempuan yang bekerja dominan adalah bagian empati. Akibatnya, secara otomatis Ibu memiliki kecenderungan untuk lebih memikirkan orang lain.
Kondisi tersebut membuat Ibu sering mendahulukan pikiran tentang anak daripada kebutuhan diri sendiri. Perasaan dilema inilah yang membuat Ibu kemudian merasa harus memilih antara menjadi Ibu rumah tangga atau Ibu bekerja.
Padahal sebagai seorang individu, Ibu memiliki banyak peran lain. Termasuk sebagai diri sendiri, pasangan, anak, kakak, adik, maupun sahabat. Artinya, pilihan Ibu tidak hanya terbatas tentang mengurus anak dan pekerjaan saja.
Stigma terhadap sosok Ibu
Sebagai seorang aktivis keadilan gender, Kalis Mardiasih melihat bahwa stigma tentang sosok Ibu juga bisa menjadi faktor penyebab perempuan harus memilih antara bekerja atau mengurus anak. Stigma bahwa seorang Ibu hanya bisa berperan dalam urusan domestik saja, sementara peran produktif dan sosial ditujukan untuk laki-laki saja. Pemahaman ini pada dasarnya jelas keliru, sebab laki-laki dan perempuan bisa mengambil peranan yang sama.
Di samping itu, penggunaan istilah "full time-mom" untuk para Ibu rumah tangga seolah membenarkan stigma bahwa Ibu bekerja bukanlah Ibu seutuhnya. Padahal sekalipun sedang bekerja, seorang Ibu tidak begitu saja kehilangan identitasnya sebagai Ibu bagi anak-anaknya di rumah. Stigma-stigma terhadap sosok Ibu inilah yang kemudian membuat perempuan merasa harus memilih untuk bekerja atau mengurus anak.
Perubahan ruang sosial masyarakat
Jika melihat jauh ke belakang, pada dasarnya seorang Ibu bisa menjalankan multi peran. Di zaman dahulu, seorang Ibu bisa berjualan di pasar, bercocok tanam di ladang, bahkan berburu di hutan tanpa mendapat label "part-time mom" dari orang-orang di sekitarnya. Ada pula Ibu rumah tangga yang mengurus anak dan rumah tanpa melabeli dirinya dengan istilah "full time-mom".
Sayangnya, perubahan ruang sosial masyarakat justru menghapuskan hal tersebut. Sosok Ibu semakin sempit ruang geraknya, karena selalu mendapat sorotan dari berbagai pihak. Baik Ibu bekerja atau Ibu rumah tangga, keduanya sama-sama tidak terlepas dari kritikan. Sementara sosok Ayah lebih mendapat keleluasaan dalam menjalankan perannya.
Kesalahan dalam memahami konsep berdaya
Menjadi Ibu rumah tangga atau Ibu bekerja tentu bukan persoalan benar dan salah. Pasalnya, masing-masing Ibu memiliki kondisi yang berbeda. Namun demikian, bukan berarti ketika memilih menjadi Ibu rumah tangga, perempuan menjadi tidak berdaya. Kesalahan dalam memahami konsep berdaya inilah yang justru membuat Ibu bekerja agar terlihat berdaya. Faktanya, berdaya tidak selalu berarti menghasilkan uang.
Menurut psikolog Fathya Artha, Ibu rumah tangga pun adalah perempuan yang berdaya. Mengurus anak dan mengatur rumah tangga memang tidak menghasilkan uang, tetapi bukan berarti Ibu perlu merasa powerless atau kehilangan daya. Sebaliknya, untuk menjadi dan merasa berdaya Ibu perlu meregulasi emosi diri sendiri. Misalnya, memberi kesempatan diri sendiri memilih untuk memasak atau tidak. Dengan kesempatan memilih dan membuat sebuah keputusan itulah Ibu bisa merasa lebih berdaya.
Sebaliknya, ketika memilih menjadi Ibu bekerja sebaiknya bukan sekadar karena Ibu ingin menjadi berdaya. Bekerjalah karena Ibu memang nyaman dan senang melakukan pekerjaan tersebut. Bekerjalah jika memang melalui pekerjaan tersebut, Ibu bisa merasa menjadi diri sendiri seutuhnya.
Pilihan untuk menjadi Ibu bekerja atau Ibu rumah tangga memiliki konsekuensinya masing-masing. Ada baiknya jika Ibu menentukan pilihan dengan kepala dingin. Hal ini penting sebab setiap pilihan tentu memiliki konsekuensinya masing-masing. Dengan memahami faktor penyebab munculnya dua pilihan tersebut, semoga Ibu bisa mengambil keputusan yang tepat dan terbaik.
Perlu diingat untuk tidak menghakimi apapun pilihan yang diambil oleh seorang Ibu. Kamu tidak tahu apa yang menjadi alasan seseorang memilih untuk menjadi Ibu bekerja atau Ibu rumah tangga. Jadi, yuk saling memberi dukungan untuk semua Ibu di luar sana! Tujuannya agar para Ibu mendapat dukungan penuh atas segala keputusan hidup yang diambil.
Editor: Atalya