Mendengar kabar bahwa kelas BPJS dihapus, pasti membuat semua orang yang selalu mengandalkan layanan tersebut menjadi panik. Terlebih bagi mereka yang seringkali melakukan rawat inap dengan menggunakan bantuan BPJS.
Tenang ya Bu, pemerintah Indonesia memang akan berencana menghapus kelas BPJS yang semula dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan iuran pembayaran. Tapi kali ini, tiga kelas tersebut akan dihapus dan hanya akan terbagi menjadi dua atau satu kelas saja.
Besaran iuran pun tak akan dikelompokkan kembali menjadi tiga. Hal tersebut akan diterapkan melalui kelas standar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Rencananya, proses penghapusan kelas peserta BPJS Kesehatan akan dilakukan secara bertahap dan akan efektif berlaku pada 2022 mendatang. Meski begitu, nggak perlu panik ya Bu sebab pemerintah mengklaim bahwa hal ini hanya bertujuan untuk memperbaiki ekosistem JKN saja.
Ibu pasti penasaran, seperti apa sih konsep terbaru dari penerapan kelas standar BPJS Kesehatan tersebut? Lalu berapa besaran tarif iurannya? Simak selengkapnya dalam ulasan berikut ini ya Bu.
Bagaimana sistem pembagian kelas selanjutnya?
Photo source: BPJS Kesehatan
Jika dahulu kelas terbagi menjadi tiga bagian maka saat ini direncanakan hanya akan ada dua kelas yakni kelas A dan B. Melansir dari beberapa sumber rencana kelas BPJS dihapus sedang dirancang secara matang oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) selaku perumus kebijakan Jaminan Sosial Nasional (JSN).
Mereka telah menetapkan rancangan 11 konsep kriteria rawat inap (KRI) program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan pihak-pihak terkait lainnya.
Menurut anggota DJSN, Muttaqien mengungkapkan bahwa penghapusan kelas BPJS ini bertujuan untuk memperbaiki ekosistem JKN. Sistem ini juga tak asal dibuat saja, sebab hal tersebut dilakukan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas yang menjadi salah satu dari prinsip JKN.
Lalu berapa kelas yang akan dihapus? Muttaqien menyebutkan, rencananya hanya akan ada konsep kelas standar yang terdiri dari kelas A dan B saja. Jadi yang akan dihapus adalah konsep terdahulu yang membagi antara kelas 1, 2 dan 3 sesuai iuran.
Kelas A diperuntukkan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN) dan Kelas B diperuntukkan bagi peserta Non-PBI JKN, yaitu Pekerja Penerima Upah (PPU) dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri.
Nah, kalau dua kelas ini nantinya bisa berhasil maka kemudian akan kembali disesuaikan menjadi satu kelas tunggal bernama Kelas Rawat inap JKN.
Hal tersebut berdasarkan diambil dari kebijakan yang ada di Kemenkes berupa Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit-Ruang Rawat Inap, Permenkes No. 24 Tahun 2016 tentang Persyaratan Teknis Bangunan dan Prasarana Rumah Sakit, berdasarkan draft konsep kelas standar Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes, serta masukan dari PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) dan ARSADA (Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia) dalam rapat penyusunan kriteria Kelas Standar JKN.
Lalu apa saja sih nantinya yang akan berbeda dari kelas BPJS dihapus tersebut?
Salah satunya mungkin ada pada tagihan iuran dan standar kamar dan tempat tidur ya Bu. Namun, perbedaan ini dijamin tidak akan jauh berbeda dengan sistem kelas sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan pembagian kelas kamar tidurnya?
Photo source: Sehatq
Kalau peraturan terdahulu pembagian kamar dan tempat tidur sesuai dengan kelasnya, lalu bagaimana dengan peraturan terbaru saat ini?
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, maka kelas standar akan mewujudkan akses dan mutu sesuai standar pelayanan, menyediakan kebutuhan standar minimal sarana prasarana dan alat kesehatan, serta menyediakan sumber daya manusia yang sesuai dengan rasio pasien.
Nantinya akan ada kelas PBI JKN dan Non-PBI JKN yang rencananya bakal ditetapkan tahun depan, maka ketentuan luas kamar dan jumlah tempat tidur tiap kamar juga akan berbeda.
Untuk kelas peserta PBI JKN, minimal luas per tempat tidur sebesar 7,2 meter persegi dengan jumlah maksimal 6 tempat tidur per ruangan, sedangkan di kelas untuk peserta Non-PBI JKN, luas per tempat tidur sebesar 10 meter persegi dengan jumlah maksimal 4 tempat tidur per ruangan.
Hal ini menurut Muttaqien akan memudahkan DJKN dalam membuat perhitungan iuran menjadi lebih sederhana. Jika ada layanan kesehatan yang kemungkinan nanti tidak ter-cover oleh BPJS Kesehatan, maka akan bisa ditutupi dengan asuransi kesehatan swasta.
Menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin nantinya pemerintah akan menetapkan berapa dan apa saja mekanisme urun biaya atau benefit sharing supaya bisa melibatkan asuransi kesehatan swasta. Mana yang ditanggung BPJS Kesehatan dan mana yang ditanggung asuransi swasta sehingga bisa seimbang.
Soal tarif iuran, apakah ada perbedaan nantinya?
Kelas BPJS dihapus ini rencananya akan dilakukan mulai tahun depan. Pastinya akan ada penyesuaian tarif iuran juga nantinya ya Bu. Apakah akan lebih besar atau lebih murah?
Muttaqien menjelaskan sampai saat ini pihaknya bersama otoritas terkait masih terus memformulasikan mengenai tarif iuran BPJS Kesehatan jika nanti mulai diterapkan kelas standar. Jadi kemungkinan pihaknya masih belum tahu apakah akan ada kenaikan atau ada penurunan tarif iuran nantinya.
Hal ini karena pihak DJSN saat ini masih menunggu finalisasi KDK Kemenkes. Nantinya kalau sudah final pihak DJSN baru bisa melakukan hitung iuran.
Perlu diketahui bahwa kisaran tarif iuran BPJS kesehatan saat ini berkisar antara Rp 50 ribu hingga Rp 70 ribu sesuai dengan kelas yang diambil. Dengan adanya kelas BPJS dihapus masyarakat berharap tarif BPJS selanjutnya tidak terlalu mahal agar tidak menjadi beban bagi mereka.
Sebelumnya daftar kelas BPJS iurannya memang mengalami kenaikan. Berikut adalah daftar kelas BPJS terbaru dengan kondisi kelas BPJS belum dihapus:
- Kelas I: Rp 150.000 per bulan;
- Kelas II: Rp 100.000 per bulan; dan
- Kelas III: Rp 42.000 per bulan, namun pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 7.000, sehingga peserta membayar Rp 35.000 per bulan.
Sedangkan iuran bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang bekerja di lembaga pemerintahan yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar 5% dari gaji. Dari besaran itu, 4% dibayar pemberi kerja dan sisanya oleh peserta.
Jumlah yang yang sama untuk peserta pekerja penerima upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan swasta, dengan besaran 5% dari gaji, 4% oleh pemberi kerja dan 1% dibayar peserta.
Editor: Dwi Ratih