Keluarga

Marital Rape, Pemerkosaan Dibalut Isu Sosial dan Agama

Marital Rape, Pemerkosaan Dibalut Isu Sosial dan Agama

Masyarakat Indonesia masih asing dengan istilah marital rape. Padahal, setiap tahunnya selalu saja ada aduan hukum berkaitan tentang kasus kekerasan seksual dengan marital rape menjadi salah satu kasusnya. 

Sebenarnya apa itu marital rape? Apakah benar jika sudah sah menjadi suami istri, maka tidak ada yang namanya pemerkosaan karena status perkawinannya legal?

Marital Rape


Marital rape adalah pemerkosaan di dalam hubungan pernikahan yang sah. Di Indonesia, meskipun kasus ini terbilang banyak, tetapi banyak juga yang berasumsi bahwa hal ini tidak dapat digolongkan sebagai pemerkosaan. 

Karena hubungan seksual dalam pernikahan sah di mata hukum dan agama.  Selain itu, pemahaman masyarakat adalah bahwa pemerkosaan terjadi di luar nikah, oleh orang yang tidak sah menikah dan bersifat paksaan.

Sayangnya, tindakan kekerasan seksual, pemaksaan dalam berhubungan seksual, dan penolakan salah satu pihak dalam hubungan seksual termasuk dalam kategori marital rape. 

Menikah bukan berarti selalu setuju mengikuti kemauan pasangan, apalagi jika kemauan pasangan bersifat menyakiti atau melanggar HAM. Sejatinya, seks dalam pernikahan bertujuan untuk kesenangan kedua belah pihak, bukan salah satunya saja.

Dilansir dari Hukum Online, bentuk marital rape ada beberapa macam menurut Jurnal Media Hukum berjudul Islamic Perspective on Marital Rape, yaitu:

1. Battering Rape


Tipe ini ditafsirkan sebagai kondisi istri mendapatkan kekerasan fisik dan seksual ketika suami memaksa berhubungan seks. 

Dijelaskan lebih lanjut dalam Marital Rape oleh Kersti Yllo, Ph.D, tindakan marital rape tipe ini termasuk di antaranya kekerasan verbal berupa penghinaan atau ancaman, serta hubungan seks saat istri tidak sadar, baik karena sedang tidur atau diberi obat-obatan tertentu agar pingsan;

2. Force-only Rape


Setelah istri menolak hubungan seks suami menggunakan kuasa dan kekerasan untuk memaksa bahkan mengancam istri agar mau berhubungan seks. 

Dijelaskan juga dalam Marital Rape oleh Kersti Yllo, Ph.D bahwa tipe ini dapat berupa tindakan menekan tangan istri, memelintir tangan istri ke belakang, atau mengancam akan membunuh istri dan ancaman-ancaman lain terkait anak dan keluarga.

3. Obsessive Rape


Ketika istri mendapatkan kekerasan berupa penganiayaan agar suami mencapai kepuasan seksual, seperti memukul, menarik rambut, mencekik, atau menggunakan benda tajam. 

Di Indonesia pernah mencuat aduan tentang adanya kekerasan berupa suami yang memaksa memasukkan benda-benda tak lazim ke vagina istri, seperti wortel atau terong.

 Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2019, tercatat kasus berupa memaksa berhubungan saat istri menstruasi; dan memaksa berhubungan lewat dubur sampai istri menderita penyakit tertentu.

Masih banyak pelaku marital rape yang menghalalkan tindakannya karena istri dianggap sebagai pihak yang wajib menuruti perintah dan kemauan suami. Benarkah hukum agama membenarkan hal ini?

Marital Rape Menurut Hukum


Marital rape baru mendapat perhatian hukum di tahun 2004 lewat Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang tersebut jelas mengatur jenis kekerasan apa yang dilakukan oleh suami atau setiap orang yang tinggal di dalam lingkup rumah yang sama dengan korban. 

Diatur dalam pasal 5 UU PKDRT, jenis kekerasan yang dapat dikenai sanksi pidana dan atau denda adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Marital rape digolongkan dalam kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual.

Dengan adanya payung hukum yang sudah mewadahi korban dan memberikan perlindungan, diharapkan akan lebih banyak korban yang melapor. Karena berdasarkan data di lapangan, jumlah kasus yang tercatat masih kurang dari kasus yang sebenarnya terjadi.

Ini karena banyak korban merasa takut nyawanya terancam jika melapor dan tekanan dari pelaku bahwa apa yang dilakukan ini adalah hal wajar dan istri wajib menerimanya.

Marital Rape dalam Islam

Dalam hukum Islam, hubungan seksual suami dan istri bersifat halal, memiliki nilai ibadah dan berarti sedekah. Apalagi adanya hadis Nabi Muhammad yang disampaikan Abu Hurairah yang berbunyi,

“Jika seorang suami mengajak istrinya berhubungan, tetapi istrinya menolak hingga suaminya marah malam itu, maka sang istri mendapat laknat para Malaikat sampai subuh.”

Hadis ini kemudian asal digunakan oleh suami untuk menekan istri agar memenuhi permintaannya, tanpa memperhatikan kondisi istri. Padahal, dalam Islam, penafsiran hadis Nabi dan firman Allah perlu mempertimbangkan beberapa hal lain, seperti hadis atau ayat dengan isi serupa.

Dalam surat Al Baqarah ayat 223, Allah berfirman:

“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah  ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah yang baik untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.”

Selanjutnya dalam Surat An Nisa’ ayat 19 ditegaskan bahwa,

“Wahai orang-orang yang beriman!  Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”

Dari hadis dan firman Allah ini jelas bahwa suami harus menggauli istri dengan cara yang baik, kecuali istri sangat membangkang dan tidak menurut. Artinya hubungan seksual haruslah dengan cara yang baik dan tidak menyakiti.

Efek Marital Rape


Efek marital rape sudah jelas terlihat, yaitu rasa trauma mendalam pada korban, bekas luka fisik yang menetap, hingga penyakit kronis seperti kerusakan organ atau infeksi virus dan bakteri. 

Korban tidak hanya membutuhkan perawatan medis, tapi juga perawatan kejiwaan untuk menyembuhkan luka dan trauma. Belum lagi, kesiapan mental korban untuk kembali ke masyarakat juga rendah, karena masih dibayangi rasa takut bertemu dengan orang yang setipe dengan pelaku, atau menghadapi hujatan dari masyarakat.

Editor: Dwi Ratih