Keluarga

Micromanaging, Pola Asuh Orang Tua Otoriter Bikin Anak Tidak Mandiri

Micromanaging, Pola Asuh Orang Tua Otoriter Bikin Anak Tidak Mandiri

Terkadang sebagai orang tua, kita mungkin seringkali merasa khawatir berlebihan pada semua perilaku anak. Niat orang tua tentu baik, salah satunya adalah untuk melindungi anak dari segala macam bahaya.

Tapi, tanpa disadari ternyata sering membatasi aktivitas anak alih-alih terlalu khawatir justru masuk tindakan pola asuh orang tua micromanaging, lho! Micromanaging anak adalah sebuah tindakan mendikte maupun mengontrol setiap hal yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar rumah.

Biasanya, tipe pola asuh orang tua seperti ini punya peraturan tak tertulis dan berharap sang anak tahu bahwa peraturan tersebut ada dan harus selalu dipatuhi. Sayangnya tindakan ini. Dapat menyebabkan anak rentan stress, kurang mandiri dan tak tahu bagaimana cara menghadapi tantangan. Yuk, kenali lebih lanjut tentang perilaku otoriter micromanaging dalam pola asuh orang tua melalui ulasan berikut ini!

Pola asuh orang tua micromanaging dan cirinya


Jika dikutip dari WebMD secara keseluruhan menurut psikolog anak Marc Nemiroff, PhD, micromanaging dalam hal pola asuh orang tua adalah keterlibatan berlebihan orang tua hingga hal terkecil dalam hal mengasuh anak. Biasanya ditandai dengan seringnya orang tua melarang anak melakukan ini dan itu.

Perilaku micromanaging dalam pola asuh orang tua sejatinya bertujuan untuk menjaga anak agar tidak terluka atau tersakiti oleh lingkungan luar. Sayangnya, pola asuh ini masuk ke dalam kategori otoriter dan membuat anak jadi lebih sulit mandiri.

Selain itu, anak juga jadi lebih mudah menyerah, tidak bisa menyelesaikan masalahnya dan takut mencoba hal baru. Beberapa ciri pola asuh orang tua micromanaging anak adalah sebagai berikut:

1. Sering mengganggu waktu bermain anak

Ciri pola asuh orang tua micromanaging yang pertama adalah sering mengganggu waktu bermain anak. Biasanya dilakukan orang tua tanpa disadari akibat ingin anak melalukan sesuai aturan.

Perilakunya berupa mendikte terus-terusan sehingga si kecil tak bebas bermain dan berkreasi sesuai dengan kreatifitasnya. Padahal, melansir Healthline bermain adalah salah satu aspek terpenting dalam kehidupan anak.

Mengapa? Karena bermain bisa membuat anak belajar berpikir kreatif dan mudah dalam interaksi sosial. Melalui bermain, otak anak akan berkembang dan menemukan banyak keterampilan emosional.

Singkatnya, bermain adalah cara anak-anak belajar. Bahkan menurut studi berjudul Play, Stress, and the Learning Brain tahun 2012 mengatakan bermain dapat mengurangi kemungkinan anak mengalami stress, karena meski hanya bermain ciluk-ba saja dapat membantu anak untuk lebih bahagia.

2. Sering memata-matai anak tanpa alasan jelas

Anak-anak usia sekolah terkadang sudah perlu diberikan ruang privasi sendiri. Namun hal ini berbanding terbalik dengan pola asuh orang tua micromanaging.

Orang tua tipe ini biasanya akan sering memata-matai anak, dari mulai menggeledah tas atau bahkan membaca buku harian anak. Akibatnya si kecil jadi tak punya ruang privasi dan merasa tidak dipercaya oleh orang tuanya.

Lama kelamaan anak jadi menjauh dari orang tua dan kemungkinan akan sering melakukan kebohongan. Hal ini dilakukan agar ia bisa memiliki ruang privasi dan kebebasan.

3. Sering mengambil alih tugas sekolah anak

Namanya juga pekerjaan rumah, alias PR ya Bu. Biasanya tugas ini sengaja diberikan oleh guru di sekolah untuk dikerjakan sendiri oleh anak di rumah.

Namun, hal ini tidak berlaku bagi orang tua penganut micromanaging. Orang tua tipe ini paling nggak tahan lihat anak mengalami kesulitan, terutama dalam belajar.

Mereka jadi lebih sering mengambil alih tugas anak, dan segala hal yang dirasa sulit bagi anak. Akibatnya, anak malah jadi tak bisa merasakan proses perjuangan yang menempa ia untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Intinya, anak jadi sangat tergantung pada orang tua.

4. Sering mengabaikan perasaan negatif anak

Sedih, marah dan kecewa merupakan sifat alami yang kerap dimiliki oleh manusia. Tiap orang tentu memiliki sifat seperti ini, tak terkecuali anak-anak.

Nah, pada pola asuh orang tua micromanaging biasanya akan sering mengabaikan perasaan negatif anak seperti ini. Bentuknya kurang lebih dengan mengabaikan dan tidak memvalidasi perasaan si kecil.

Akibatnya justru kebutuhan emosional anak jadi tidak terpenuhi. Anak jadi rentan stress dan susah mengekspresikan diri saat sudah dewasa nanti.

5. Tidak membolehkan anak ambil keputusan sendiri

Kebanyakan pola asuh orang tua micromanaging menganggap, apa yang dilakukan orang tua sudah merupakan hal yang terbaik untuk anak. Orang tua merasa pilihan mereka pasti selalu tepat.

Anak tidak akan bisa apa-apa jika orang tua tidak ikut turun tangan. Padahal, terus berdebat dan mengkritik pilihan anak bikin ia jadi merasa tidak dihargai, lho! Jelas hal ini bahaya banget buat perkembangannya.

Menurut International Journal of Environmental Research and Public Health hal ini juga bisa berakibat anak memiliki harga diri yang rendah dan sulit mengeksplorasi diri. Karena orang tua sering mengontrol setiap hal yang dilakukan oleh anak, baik di dalam maupun di luar rumah.

6. Selalu membantu tugas anak di rumah

Meski sekadar membereskan mainan, terkadang pola asuh orang tua micromanaging cenderung ini punya ciri kurang percaya dengan segala tindak-tanduk yang dilakukan anak. Orang tua jadi lebih sering menawarkan diri untuk membantu tanpa membiarkan anak bereksplorasi terlebih dahulu. Jelas hal ini membuat anak jadi kurang bekal untuk tumbuh menjadi sosok yang mandiri.

7. Sering mengintervensi anak

Pilihan baju, selera musik, hobi dan segala rupa tak lepas dari campur tangan orang tua. Anak jadi merasa tak mudah berekspresi dan merasa ruang geraknya dibatasi. Pola asuh orang tua seperti ini dapat menyebabkan relasi dengan orang tua jadi tidak harmonis saat si kecil dewasa nantinya.

8. Tak terima kegagalan dan kekalahan anak

Gagal dan kalah merupakan hal yang wajar dalam proses kehidupan. Tapi, hal ini jelas tidak berlaku bagi penganut pola asuh orang tua micromanaging.

Orang tua tipe ini tak segan mengkonfrontasi guru atau juri lomba saat kalah ataupun saat nilai anak turun akibat kelalaiannya sendiri. Saat anak terlibat pertikaian dengan kawannya, orang tua juga buru-buru menyelesaikan. Hal ini membuat anak jadi kurang bisa menyelesaikan masalahnya dikemudian hari, lho!

Memang, sebagai orang tua terkadang kita punya rasa egoisme mengenai keyakinan bahwa orang tua selalu tahu yang terbaik untuk anak. Tapi, meski niatnya baik namun hal ini malah bisa membuat anak jadi rentan stress dan terlalu tergantung dengan orang tuanya.

Yuk! Pelan-pelan ubah pola asuh orang tua seperti ini, Bu. Cobalah untuk memberikan anak kesempatan agar bisa menanggung segala konsekuensinya sendiri.