Keluarga

Pola Asuh Co-Parenting, Merawat Anak Pasca Perceraian Orangtua

Pola Asuh Co-Parenting, Merawat Anak Pasca Perceraian Orangtua

Saat perceraian orangtua terjadi, banyak yang luput memikirkan dampaknya pada anak-anak. Padahal perceraian tentu memengaruhi anak-anak, terutama dari aspek kejiwaan.  Agar anak tetap tumbuh dengan baik, sebenarnya ada beberapa pola asuh yang bisa dicoba. Salah satunya adalah pola asuh co-parenting. 

Pola asuh co-parenting sebenarnya sudah sangat lazim ditemukan di negara-negara barat. Di Amerika Serikat, setidaknya 40% anak-anak dibesarkan dengan pola asuh tersebut. Namun di Indonesia sendiri praktiknya masih jarang ditemukan. Sebenarnya, apa itu pola asuh co-parenting dan bagaimana cara menjalaninya? Untuk mengenal lebih jauh mengenai co-parenting, mari simak ulasan berikut ini.


Berkenalan dengan pola asuh co-parenting

Dalam laman Psychology Today disebutkan bahwa co-parenting adalah pola asuh yang muncul karena perceraian orangtua. Meskipun demikian, istilah ini tidak cuma berlaku pada pasangan yang bercerai. Di luar negeri, co-parenting juga berlaku pada pasangan yang memiliki anak namun tidak terikat hubungan pernikahan. 

Secara singkat, pola asuh co-parenting terjadi saat terdapat dua orang yang tidak terikat suatu ikatan resmi, mengasuh dan membesarkan anak bersama-sama.  Imbuhan “co” pada co-parenting sendiri berarti collaboration atau kolaborasi. Itu berarti, dua individu yang berperan sebagai orang dua harus saling berkolaborasi; terlepas mereka sudah tak lagi terikat dalam hubungan pernikahan.

Mengapa menerapkan pola asuh co-parenting? Idealnya, membesarkan anak memang dilakukan oleh kedua orangtua yang tinggal bersama. Namun jika terjadi perceraian, co-parenting bisa dipertimbangkan. Dengan co-parenting, anak bisa tetap memiliki kesempatan untuk mendapat pengasuhan yang baik. Pola asuh ini juga dapat mengurangi dampak negatif pada anak setelah perceraian orang tua.

Bagaimana cara menjalani co-parenting?

Co-parenting yang sukses akan memberikan banyak manfaat terhadap perkembangan anak. Sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Applied Family Science menemukan bahwa anak yang dibesarkan dengan pola asuh co-parenting cenderung lebih stabil pada aspek kejiwaan.

Berikut adalah beberapa cara menerapkan co-parenting yang baik untuk perkembangan anak:

1. Melepaskan apa yang terjadi di masa lalu

Co-parenting tidak akan pernah berhasil jika orangtua masih terus mengingat masalah mereka. Wajar jika merasa kesal atau frustrasi karena masalah yang menyebabkan perceraian. Namun sebaiknya hal tersebut tidak dilampiaskan pada anak. Sebagai gantinya, orang tua bisa berkeluh kesah kepada teman, keluarga atau berkonsultasi dengan ahli.

2. Fokus pada perkembangan anak

Apa pun yang terjadi pada kedua orangtua di masa lalu, ingatlah hal tersebut sudah lewat dan berlalu. Tidak untuk dibahas dan diungkit-ungkit kembali, terutama di depan anak-anak. Fokus pola asuh co-parenting ada pada anak-anak. Usahakan untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka meski situasi tak lagi sama.

3. Menerapkan pola komunikasi yang baik

Sudah tidak tinggal serumah lagi tentu pola komunikasi akan berubah. Jika sebelumnya bisa berkomunikasi langsung, kini harus melalui aplikasi chatting. Meski begitu, bukan berarti komunikasi dengan anak berakhir setelah perceraian orangtua.  Sebisa mungkin komunikasi dilakukan dengan jelas. Hindari penggunaan kalimat yang bertele-tele dan punya makna ganda. Jika iya katakan iya dan jika tidak katakan tidak. Akan lebih baik lagi jika komunikasi dilakukan secara langsung agar tidak terjadi miskom.

Selain itu, komunikasi juga harus dilakukan secara kooperatif. Ingat, sekarang ada lebih banyak orang yang terlibat. Sebelum berkomunikasi, pikir masak-masak, apakah pesan tersebut sopan dan tidak mengganggu pihak lain.

4. Mendengarkan anak secara aktif

Poin ini masih berhubungan dengan poin sebelumnya. Agar anak tidak merasa ditinggalkan, usahakan untuk selalu mendengarnya. Bukan sekadar mendengar, tapi juga mendengar secara aktif (active listening). Dikutip dari laman Very Well Mind disebutkan bahwa dalam active listening, si pendengar harus benar-benar menyimak dan terlibat dengan kata-kata si pembicara. Sambil mendengar cerita anak, coba berikan saran. Jika tidak, bisa juga dengan menanyakan perasaannya agar ia merasa didengar.

Hindari menyela omongan anak atau menanggapi dengan kalimat yang menggurui. Menyela omongan hanya akan membuat anak atau pihak yang berbicara merasa tidak didengarkan.

Hal-hal yang harus dihindari dalam co-parenting

Selain melakukan hal-hal yang dianjurkan di atas, ada baiknya orangtua juga menghindari hal-hal berikut ini:

  • Hindari membicarakan hal-hal buruk tentang pihak co-parenting lain (dalam hal ini mantan pasangan) di hadapan anak-anak.
  • Jangan pernah meminta anak memihak. Sebisa mungkin, hindari pertanyaan semacam, “kamu lebih sayang siapa, Ayah? Ibu?” atau meminta anak memilih salah satu pihak.
  • Usahakan untuk tetap mendekatkan anak pada kedua orangtua mereka. Jangan pernah menjauhkan anak-anak karena rasa dendam pada orangtua. Bagaimanapun juga, anak-anak memiliki perasaan sendiri. Jika memang harus menjauhkan anak, pastikan didasari oleh alasan yang jelas, misalnya karena masalah keamanan.
  • Jangan pernah meminta anak untuk menjadi “mata-mata” yang harus mengamati kehidupan baru mantan pasangan.
  • Sebisa mungkin, pola asuh co-parenting sejalan dengan pola asuh yang telah disepakati bersama.
  • Pastikan untuk selalu menepati janji, terutama janji yang dibuat dengan anak-anak. Hal ini dilakukan agar mereka tetap merasa percaya dan aman.

Perceraian orangtua jelas bukanlah hal yang mudah untuk anak-anak. Oleh karenanya, sebisa mungkin anak tetap mendapatkan pengasuhan dan perawatan yang baik agar tumbuh-kembangnya tidak terganggu. 

Pola asuh co-parenting yang melibatkan kedua orangtua adalah solusi yang bisa dicoba untuk memastikan anak tetap mendapat pola pengasuhan yang baik. Ingat, istilah mantan pasangan memang ada, namun tidak pernah ada yang namanya istilah mantan anak. 


Editor: Atalya