Keluarga

Terjebak Dalam KDRT, Haruskah Cerai?

Terjebak Dalam KDRT, Haruskah Cerai?

Jika mengalami KDRT haruskah cerai jadi keputusan yang diambil? Tidak bisakah kita mengubah perilaku pelaku KDRT? Atau mungkinkah kekerasan yang dilakukan pelaku disebabkan oleh kesalahan diri kita sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Ibupedia beruntung memiliki kesempatan untuk ngobrol langsung dengan pakarnya, yaitu dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ,  Psikiater dan Mindfulness Based Stress Reduction Teacher yang berpraktik di Rumah Sakit Siloam Bogor. 

Berikut rangkuman yang bisa kamu pelajari. Yuk, simak sampai akhir dan jangan ada yang terlewatkan, ya!

Ketahui faktor penyebab KDRT

Sebelum menjawab pertanyaan 'jika mengalami KDRT, haruskah cerai?' Terlebih dulu sebaiknya kamu tahu faktor penyebab KDRT. Terlebih biasanya kekerasan terjadi dengan dalih karena sayang. 

Padahal menurut dr. Jiemi Perasaan yang bertolak belakang bisa hadir bersamaan tanpa saling meniadakan. Artinya, kalimat "Katanya sayang, kok pakai kekerasan" itu bisa saja terjadi. Pasalnya, rasa sayang tidak begitu saja bisa menghilangkan kekerasan.

Perlu diketahui, kekerasan biasanya dikaitkan dengan kemarahan. Dalam hal ini, marah seolah selalu menjadi puncak atau sisi emosional yang nampak. Faktanya, justru lebih banyak perasaan tidak tampak, yang bisa saja mendasari amarah seseorang. 

Termasuk perasaan malu, takut, terluka, dan frustrasi. Hampir sebagian besar kekerasan muncul karena perasaan-perasaan rapuh tersebut. Oleh karena itu, tidak bisa sepenuhnya dibenarkan jika kekerasan dianggap sebagai hubungan sebab-akibat dari perbuatan orang lain.

KDRT adalah bentuk kekerasan berpola

Setelah memahami faktor penyebab KDRT, perlu diketahui pula bahwa kekerasan tersebut bisa dilakukan berulang dengan pola yang sama. Pola ini disebut dengan istilah cycle of abuse atau siklus kekerasan

  1. Dimulai dari adanya tension building atau konflik yang memicu ketegangan. Kondisi ini bisa dipicu oleh kecemasan, frustasi, rasa takut, atau bahkan kelelahan.
  2. Setelah mencapai puncak tension building, maka terjadilah tindakan kekerasan atau incident. Tak hanya sebatas kekerasan fisik, tapi juga kekerasan verbal dan mental. 
  3. Pola KDRT ini kemudian berlanjut dengan fase honeymoon. Dinamakan demikian sebab di tahap ini biasanya ketegangan mereda dan pelaku kembali menunjukkan "kasih sayang", sehingga sering diterima korban sebagai tanda penyesalan dan bahwa pelaku akan berubah.
  4. Pola KDRT berlanjut pada fase calm atau ketenangan. Biasanya di tahap ini pelaku kekerasan akan meminta maaf dan mencari pembenaran atas perilakunya. Dengan begitu, korban bisa memaklumi dan memaafkan pelaku.

Kita bisa memilih untuk tidak melakukan kekerasan

Jika mengalami KDRT, apakah kita bisa merubah perilaku pelaku kekerasan? Mungkin banyak di antara kita yang merasa perilaku kekerasan bisa diubah. 

Padahal, yang terpenting dalam hal ini sebenarnya adalah apakah yang melakukan kekerasan sadar bahwa dia bermasalah dan dia sudah berusaha berubah tapi tidak bisa berubah. 

Jika yang bersangkutan sudah menyadari, maka ini adalah pertanda baik. Pasalnya, di dalam kesadaran ada pilihan untuk berubah.

Sayangnya, banyak pelaku kekerasan justru meminta orang-orang di sekitarnya mengerti atau memaklumi kekerasan yang dilakukan. Jelas ini sebuah pemahaman yang keliru, sehingga apabila dibiarkan begitu saja akan memicu terjadinya kekerasan-kekerasan yang lain dan terus berulang.

Pelaku kekerasan bisa berubah, karena pada dasarnya manusia memiliki kapasitas untuk berproses. Keinginan dan tanggung jawab untuk berubah harus datang dari diri sendiri. 

Cinta bisa dibangun dalam hubungan, tetapi keterampilan berselisih paham tidak bisa dibangun begitu saja. Artinya, jika sejak awal kamu dan pasangan tidak bisa mengatasi pertengkaran dengan baik, maka disarankan untuk tidak melanjutkan hubungan tersebut.

Penyebab sulit keluar dari hubungan abusive

Apakah jika mengalami KDRT, perceraian adalah pilihan terbaik? Jika iya, kenapa begitu banyak yang masih sulit keluar dari hubungan yang abusive?

Pada dasarnya, KDRT bukan lagi hal baru di Indonesia. Namun, budaya yang ada justru tampak seperti menormalisasi kekerasan. Di sisi lain, ketika mendapat tindak kekerasan dari pasangan, biasanya korban akan kehilangan harga dirinya. Merasa bahwa tidak ada orang lain yang bisa menerima, selain pasangannya tersebut.

Lebih lanjut, adanya fase honeymoon yang membuat korban meyakini pelaku kekerasan akan berubah. Belum lagi persoalan finansial atau adanya  ancaman-ancaman yang membuat korban merasa jika keluar dari hubungan abusive ini kondisinya semakin berbahaya. 

Seseorang yang baru saja keluar dari hubungan abusive lebih rentan mengalami kekerasan, dr. Jiemi bahkan mengatakan korbannya 7x lebih besar berpotensi mengalami kekerasan dari pasangannya.

Pemulihan dampak KDRT

Kondisi psikis korban KDRT bisa dipulihkan. Akan tetapi, ada sejumlah syarat dan ketentuan yang menyertainya. Antara lain, memastikan sudah berada di keadaan yang aman, belajar ulang regulasi tubuh, dan memiliki hubungan yang aman. 

Hal ini penting diperhatikan, agar korban KDRT tidak kembali jatuh ke hubungan yang abusive. Pertanyaannya, jika mengalami KDRT kapan kamu membutuhkan pertolongan? Saat sudah menunjukkan 3 hal berikut ini;

  1. Distress, artinya kondisi psikis kamu terganggu akibat kekerasan yang dilakukan pelaku.
  2. Disability, yaitu ketika secara fisik kamu sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
  3. Danger, adalah kondisi paling berbahaya dimana tindak KDRT sudah mengancam keselamatan nyawa.

Jadi, jika mengalami KDRT haruskah cerai? Pilihan kembali ada di tanganmu. Namun, jangan pernah ragu untuk segera meminta pertolongan jika mengalami KDRT. Ingat, KDRT bukan aib yang harus ditutupi. Tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan dan tidak bisa dimaklumi.

Editor: Dwi Ratih