Balita

6 Langkah Validasi Perasaan Anak Untuk Optimalkan Psikisnya

6 Langkah Validasi Perasaan Anak Untuk Optimalkan Psikisnya

Tugas orang tua cakupannya tak hanya kesehatan fisik dan kecukupan gizi anak saja, tapi juga termasuk di dalamnya adalah hal validasi perasaan anak. Siapa yang mengira kalau ternyata validasi perasaan anak ternyata memberikan peranan penting bagi perkembangan emosinya hingga dewasa.

Kebanyakan orang tua menganggap anak adalah manusia yang belum memahami apa-apa. Padahal, selayaknya manusia pada umumnya, anak juga memiliki jenis perasaan yang sama persis dengan orang dewasa.

Sama halnya seperti sama-sama punya tangan, punya hidung, punya mulut dan telinga. Aneka ragam perasaan pun juga demikian. Hanya saja, keberadaan perasaan ini perlu diakui, diyakini, dan divalidasi agar baik bagi perkembangan emosinya.

Sejauh mana ya pentingnya validasi perasaan anak dari orang tua dan gimana cara melakukannya?

Validasi perasaan


Melansir dari Parenting for Brain, validasi perasaan adalah tindakan untuk mendengarkan, menerima, dan mengakui perasaan orang lain tanpa meremehkan, menghakimi, atau menolak perasaan tersebut, baik perasaan positif atau negatif.

Menerima secara utuh dan mengakui bahwa perasaan tersebut boleh dan sah-sah saja dirasakan oleh si pemilik adalah bagian dari validasi perasaan ini. Begitu pula pada situasi perasaan anak.

Validasi perasaan anak bertujuan meyakinkan anak bahwa perasaannya, pendapatnya dan pengalaman pribadinya adalah nyata (valid). Bagi anak-anak, orang tuanya sangat penting. Debra Kessler, Psy.D, seorang psikolog klinis yang fokus pada anak dan keluarga mengungkapkan bahwa, ketika seseorang yang sangat penting untuk kita memvalidasi perasaan kita, kita akan merasa bahwa perasaan ini penting, nyata adanya dan berarti.

Karena pada dasarnya dimengerti adalah kunci utama kita merasa terhubung dengan orang lain dan didukung secara penuh. Kita sebagai orang tua tentu bisa mengerti bagaimana rasanya didukung penuh secara psikis dan dipahami oleh orang kepercayaan kita.

Nah, cobalah untuk menempatkan diri pada sepatu anak kita dan lihat dari sudut pandangnya. Dengan begini, langkah awal validasi perasaan anak bisa kita lakukan tanpa menghakimi mereka.

Mengapa validasi perasaan anak penting?

Rupanya, validasi perasaan anak mempengaruhi perkembangan anak. Sisi psikisnya berkembang, maka fisiknya pun juga ikut terdampak.

Anak-anak yang terlatih mengutarakan perasaannya dan mendapatkan validasi akan memahami bahwa, segala jenis perasaan itu wajar dan tidak apa-apa untuk diekspresikan, apapun jenis kelamin anak. Inilah beberapa alasan pentingnya validasi perasaan anak:

1. Kesehatan mental anak terjaga


Masalah kesehatan mental bukan hal remeh yang perlu ditangani sejak dini. Banyak orang dewasa mengalami goncangan dalam kesehatan mentalnya karena pengalaman buruk di masa lalu, rasa trauma, dikucilkan atau mengalami masalah-masalah psikis lainnya.

Validasi perasaan anak membantu anak merasa lebih dianggap dan dihargai sehingga meningkatkan kepercayaan dirinya sebagai seorang manusia yang bersosialisasi. Anak-anak ini akan meyakini bahwa dirinya berharga dan memiliki pandangan positif terhadap dirinya sendiri. Sehingga kesehatan mentalnya lebih terjaga dan lebih sedikit kemungkinan melakukan penyimpangan saat menginjak remaja.

2. Memiliki secure attachment yang baik dengan orang tua

Secure attachment diartikan sebagai ikatan emosional yang melibatkan rasa aman, nyaman, dan keterbukaan. Dengan validasi perasan anak, anak akan lebih terbuka dan nyaman saat berkomunikasi dengan orang tua.

Karena mereka tahu saat mereka menceritakan tentang dirinya, orang tuanya akan mendukungnya sepenuhnya. Bahkan membantunya mencari solusi dari apa yang tengah mereka alami.

Secure attachment inilah yang kemudian menguat karena rasa percaya dari anak ke orang tua dan membuat hubungan anak-orang tua menjadi lebih baik. Anak juga tidak mencari pelarian atau pengakuan dari pihak lain, karena merasa cukup dengan hadirnya orang tua mereka.

3. Mengembangkan kecerdasan emosi anak


Berdasarkan penjelasan ahli dalam laman Psych Central, ketika orang tua memahami perasaan anak dengan cara memvalidasinya, secara tidak langsung menstimulasi perkembangan psikisnya. Anak akan belajar untuk memperhatikan emosinya, belajar jenis emosi tersebut dan belajar mengelolanya. Inilah yang kemudian menjadikan kecerdasan emosi anak terasah.

4. Anak tahu cara mengelola emosinya


Lewat validasi perasaan anak, orang tua membantu anak untuk tahu cara mengelola emosinya. Ingat bahwa anak adalah peniru ulung, dimana cara orang tua merespon perasaannya akan mereka tiru saat mereka tidak bersama orang tuanya.

Validasi perasaan anak dibarengi dengan saling bicara dari hati ke hati, kemudian menemukan solusi terbaik bersama-sama membantu anak mengatur strategi dalam mengelola emosinya. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih tenang dalam menghadapi masalah dan mampu mencari akar permasalah dari gejolak emosinya. 

Lebih menariknya lagi, anak akan terlatih untuk melakukan hal yang sama pada orang lain. Sehingga tanpa sadar orang tua sudah menanamkan kebiasaan yang baik pada anak.

5. Anak yakin dengan jati dirinya dan menjadi pribadi yang kuat


Orang dewasa yang kuat cenderung tahan banting, bukan? Ini juga yang akan didapat anak kelak jika sejak dini dipupuk ketahanan psikisnya. Validasi perasaan anak membuat anak belajar dari orang tuanya cara menangani masalah dan merespon emosi orang lain.

Mereka akan meniru hal ini dan lebih mudah mengendalikan diri, tidak mudah terpengaruh, cepat menemukan jati dirinya, dan tangguh secara emosi. Mereka juga akan cepat memutuskan dengan logika cara mengatur emosinya, dan bagaimana menjauh dari keadaan yang tidak menguntungkan mereka (misalnya seperti lingkungan pertemanan yang toxic, teman yang suka membully, atau pertemanan yang negatif).

Dengan memberikan validasi perasaan anak, mereka akan menerima manfaat psikis yang berguna untuk dirinya saat ini hingga masa depan. Kebalikannya, ketika perasaan anak tidak tervalidasi dengan baik, mereka cenderung merasa tidak memiliki support system dan tempat berlabuh ketika mereka membutuhkannya.

Mereka lebih mudah cemas, berpotensi mengalami depresi, merasa tidak punya tempat yang aman, selalu merasa sendiri, senang mencari perhatian dari orang lain, emosi yang meledak-ledak, serta tidak mampu mengatur emosinya sendiri. Lantas, bagaimana, ya mempraktikkan validasi perasaan anak dari sisi orang tua?

Cara validasi perasaan anak


1. Tarik napas panjang dan beri diri kita jeda sebelum merespon

Nggak bisa dipungkiri kalau perasaan anak yang beraneka ragam jenisnya itu bisa muncul kapan saja. Terutama ketika kita sendiri sedang melakukan sesuatu, atau mungkin sedang berkonsentrasi dengan apa yang sedang kita kerjakan.

Rasanya seperti ingin meledak sambil bilang, “ya ampun nak, tunggu dulu kenapa, sih. Ibu lagi sibuk, nih.”

Tapi hati-hati, ya. Tahan dulu emosi kita sendiri supaya kita bisa memberi kesempatan anak mengungkapkan perasaannya. Tarik napas sebentar, pejamkan mata, lalu cerialah kembali di hadapan anak.

Cara ini juga memberikan kita waktu untuk beralih dari yang sebelumnya kita kerjakan untuk fokus memvalidasi perasaan anak.

2. Pelajari dan terapkan mindful parenting

Apakah itu mindful parenting? Ini merupakan teknik parenting yang menerapkan fokus pada kejadian yang dialami anak saat ini dan orang tua melibatkan diri juga untuk masa sekarang tanpa mengkhawtirkan hari esok atau bahkan kemarin.

Teknik ini menjadikan anak lebih excited karena merasa orang tuanya hadir sepenuhnya untuknya, meresponnya dengan baik di masa kini, tanpa memberikan petuah panjang lebar tentang apa yang akan terjadi di masa depan atau mengungkit hal yang sudah lewat.

Uniknya, ini juga menurunkan rasa khawatir dan tingkat stress orang tua, lho! Nggak heran, ya kalau manfaatnya begini. Karena pada dasarnya kekhawatiran kita sebagai orang tua bisa kita putuskan akan kita teruskan atau kita putus saja mata rantainya sampai di sini.

3. Sebutkan jenis perasaannya dan kaitkan dengan situasi yang kita observasi

Validasi perasaan anak tentunya memerlukan penyebutan nama atau jenis emosinya. Apakah itu takut, marah, kecewa, frustasi, bingung, atau sedih?

Ibu dan Ayah bisa mencontoh ini:

“Kakak marah, ya, adik rebut mainan tanpa minta ijin dulu?”

Amati respon anak, lalu lanjutkan ke langkah berikutnya.

4. Terima perasaan tersebut seolah Ibu dan Ayah juga ikut merasakannya


Kalimat yang bisa dicontoh:

“Oh, pasti rasanya seperti ada yang meledak di dalam dada, ya kak. Sampai bikin kakak ngos-ngosan”

Biasanya, anak akan menjelaskan panjang lebar tentang apa yang mereka rasa dan apa yang sebenarnya mereka inginkan. Ibu dan Ayah cukup mendengarkan dan menimpali dengan dengan kalimat sederhana, seperti “iya, pasti nggak enak banget ya rasanya” atau “kakak pasti bingung banget, ya”

Menimpali dengan sederhana tanpa menghakimi, tanpa mengeluarkan nasihat-nasihat dulu, dan berada di sebelah anak untuk menemaninya sangat besar artinya untuk anak.

Mereka akan merasa orang tuanya akan selalu ada apapun kondisinya. Semarah apapun mereka, sesedih apapun mereka, bisa atau tidak bisa orang tuanya membantunya. Keberadaan orang tua di sisi mereka sangat powerful.

Ibu dan Ayah juga bisa menawarkan pelukan sebagai langkah untuk menenangkan anak. Tidak perlu memaksa jika anak memang sedang tidak ingin disentuh.

5. Gunakan pertanyaan terbuka untuk membantu anak menjelaskan

Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang jawabannya berupa penjelasan, bukan hanya sekedar iya atau tidak. Mengunakan pertanyaan terbuka membantu anak menemukan kata dan kalimat yang tepat untuk mengekspresikan dirinya, apa yang mereka rasa, dan apa yang mereka inginkan sebagai penyelesaian.

6. Membersamai anak mencari solusi

Semuanya tentu berujung pada pencarian solusi dan penyelesaian masalah. Dengan pertanyaan terbuka pada poin sebelumnya, Ibu dan Ayah bisa mengajak anak sekaligus berdiskusi apa yang sebaiknya dilakukan bersama untuk bisa menyelesaikan masalah ini.

Upayakan agar pada titik ini anak sudah tenang, sudah merasa lebih lega dan sudah bisa berpikir lebih jernih. Validasi perasaan oleh orang tua membantu mereka lebih yakin dengan apa yang ingin mereka lakukan setelahnya.

Tentunya setelah ini orang tua bisa membimbing anak agar penyelesaian masalahnya positif. Begitulah! Memang tidak mudah menjadi orang tua. Tapi bukan berarti kita tidak bisa membersamai anak-anak kita secara fisik dan psikis. Karena kita adalah dunia mereka, ciptakanlah dunia yang membuat mereka aman, nyaman, dan selalu ingin kembali.

Editor: Aprilia