Ibupedia

6 Metode Pembelajaran yang Sering Jadi Kurikulum Preschool

6 Metode Pembelajaran yang Sering Jadi Kurikulum Preschool
6 Metode Pembelajaran yang Sering Jadi Kurikulum Preschool

Metode pembelajaran jadi salah satu hal penting yang perlu Ibu pertimbangkan saat mencari prasekolah atau preschool yang cocok untuk anak. Preschool atau yang di Indonesia lebih sering disebut playgroup atau Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah pembelajaran yang diberikan kepada anak-anak yang masih berusia 2-4 tahun. Jenjang pendidikan ini dilalui anak tepat sebelum masuk Taman Kanak-kanak (TK). Meski tidak bersifat wajib, namun banyak orangtua yang ingin anaknya masuk playgroup dulu sebelum TK, salah satu alasannya mungkin karena ingin anaknya belajar berinteraksi dengan teman-teman sebaya, atau bisa juga karena orangtuanya yang harus bekerja sehingga tidak memungkinkan untuk mengasuh anaknya sendiri.

Apapun alasan yang mendasari para orangtua untuk memasukkan anaknya ke preschool, sebaiknya Ibu dan Ayah tetap memerhatikan beberapa hal sebelum memilih preschool untuk anak. Selain metode pembelajaran, ada juga sejumlah faktor yang bisa jadi pertimbangan, apa saja?

Pertimbangan dalam Memilih Preschool

Memilih preschool atau playgroup tidak bisa dilakukan hanya dalam sekejap mata. Orangtua perlu mempertimbangkan matang-matang sebelum akhirnya memilih preschool yang mana. Ini karena preschool, seperti halnya TK atau SD, akan menjadi tempat anak belajar, bermain, dan bersosialisasi dalam waktu yang lama, bisa sampai 1 atau 2 tahunan. Untuk itu, pemilihan preschool perlu dilakukan dengan hati-hati. Tak hanya menyesuaikan dengan karakter anak, namun juga kondisi orangtua, mulai waktu hingga finansial. Berikut ini beberapa tips memilih preschool, seperti yang dikutip dari laman Very Well Family:

1. Waktu untuk mulai melakukan pencarian


Setiap preschool biasanya akan menerima siswa di waktu yang berbeda-beda. Jadi sebelum memilih preschool, pastikan Ibu telah memeriksa terlebih dahulu kapan pendaftarannya dibuka dan kapan pula tanggal pertama masuk sekolah. Mengecek tanggal-tanggal penting ini bisa membantu Ibu agar tidak terlewat mendaftar. Tanyakan juga soal syarat-syarat hingga kualifikasi usia, atau faktor-faktor lain seperti latihan toilet training (bila anak Ibu belum bisa BAK dan BAB di kamar mandi sendiri).

2. Kenali karakter anak terlebih dahulu

Setiap anak terlahir dengan karakter dan kepribadian yang berbeda-beda. Sebelum memutuskan preschool untuk anak, sebaiknya Ibu dan Ayah mengenali karakter si kecil terlebih dulu supaya ia cocok dengan lingkungan sekolahnya maupun metode pembelajaran di sana. Belum tentu sekolah yang cocok di anak tetangga, cocok juga di anak Ibu. Petakan juga keinginan orangtua, apakah Ibu ingin sekolah yang berbasis akademik yang ketat, atau justru yang menonjolkan nilai-nilai sosial dan berbasis kreativitas.

3. Buat daftar sekolah yang terdekat dengan tempat tinggal

Ada banyak opsi sekolah yang berbeda di luar sana. Jika Ibu bingung mau mulai pencarian dari mana, mulailah dari tanya ke sekitar, terutama yang memiliki anak yang seumuran dengan anak Ibu. Ibu juga bisa mencari berdasarkan lokasi yang paling dekat dengan rumah. Kalau sudah memiliki beberapa referensi, jangan lupa dicatat dan cari tahu lebih mendalam bagaimana plus minusnya, ya!

4. Renungkan nilai-nilai dan jenis kurikulum yang diterapkan di sana

Setiap prasekolah memiliki gaya dan filosofi pendidikan yang berbeda. Mengenai apa saja jenis-jenisnya yang populer, akan kita bahas di bawah, ya. Nah, sebelum menentukan preschool untuk anak, Ibu perlu melakukan banyak riset untuk menemukan metode pembelajaran mana yang cocok dengan anak. Semua tentu ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ibu hanya perlu berdiskusi dengan suami, tentunya dengan mempertimbangkan karakter anak juga.

5. Pertimbangkan kapasitas siswa per kelas

Demi bisa memenuhi kebutuhan individu anak, Ibu perlu mencari sekolah yang jumlah siswa per kelasnya sedikit atau yang rasio guru-muridnya rendah. Pedoman umumnya adalah satu orang dewasa untuk setiap empat hingga enam anak usia 2-3 tahun, enam orang dewasa untuk sepuluh anak berumur 3-5 tahun, tidak lebih dari 12 siswa di sebuah ruangan untuk anak usia 2 hingga 3 tahun, dan tidak lebih dari 20 siswa di sebuah ruangan untuk anak usia 3 hingga 5 tahun. 

Ruang kelas juga harus memiliki banyak mainan dan perlengkapan bermain lainnya yang bersih, aman, dan mudah dijangkau oleh si kecil. Jika ada ruang bermain di luar, pastikan dipagari dan tanyakan apakah staf terlatih dalam memberi pertolongan pertama.

6. Transportasi dan jarak sekolah dari tempat tinggal

Perihal transportasi dan jarak antara rumah dan sekolah juga perlu jadi pertimbangan, lo, Bu. Siapa yang akan mengantar anak ke sekolah? Seberapa jauh sekolah dari rumah? Berapa menit kira-kira anak bisa sampai ke sekolah? Semua itu mungkin kelihatannya sepele, tapi juga tak kalah pentingnya dengan hal-hal lain di atas. Apalagi jika Ibu dan Ayah sama-sama bekerja dan memandang preschool sebagai tempat penitipan juga. Perjalanan dari rumah ke preschool lalu ke kantor, sebaiknya perlu dipertimbangkan dengan teliti.

7. Lama waktu belajar atau sekolah

Percaya atau tidak, preschool bisa menjadi kegiatan berat bagi banyak anak, terutama bagi mereka yang belum pernah mengikuti program formal jauh dari rumah. Banyak program prasekolah yang berlangsung setengah hari atau hanya beberapa jam, tentunya dengan alasan yang beragam. Anak-anak usia prasekolah yang lebih muda, mungkin akan butuh waktu istirahat walau hanya beberapa jam di sekolah. Beberapa playgroup juga ada yang menawarkan program perpanjangan waktu sehari penuh, yang biasanya ideal bagi para orangtua yang bekerja full-time.

8. Menjadwalkan kunjungan untuk observasi langsung

Jika pilihan Ibu sudah semakin mengerucut ke beberapa preschool, sebisa mungkin kunjungi langsung calon sekolah yang masuk dalam daftar. Hubungi dulu pihak sekolah untuk menjadwalkan waktu kunjungan dan bertemu dengan kepala sekolah, staf pengajar, bahkan dengan direkturnya langsung bila memungkinkan. Ibu dan Ayah juga bisa meminta mini tur ke fasilitas-fasilitas yang dimiliki sekolah.

Bila diizinkan, minta juga untuk selama maksimal setengah jam, berada di dalam kelas dan melihat langsung bagaimana anak-anak di sana bermain, belajar, dan berinteraksi. Cari tahu juga apakah mereka memiliki program free trial yang bisa Ibu manfaatkan agar anak merasakan sendiri bagaimana rasanya berada di preschool.

Macam-macam Metode Pembelajaran

Setelah mengetahui beberapa tips dalam memilih preschool, mari sekarang kita masuk ke pembahasan jenis-jenis metode pembelajaran yang sering dijadikan kurikulum di banyak preschool. Apa saja ya?

1. Montessori

Jenis kurikulum yang satu ini mungkin sudah sering didengar oleh para orangtua. Ya, Montessori adalah salah satu kurikulum internasional yang dikembangkan oleh Dr. Maria Montessori sekitar tahun 1900. Awalnya, metode ini diperuntukkan bagi anak-anak dengan kondisi keterbelakangan mental. Namun, seiring perkembangannya, saat ini Montessori bisa diterapkan ke semua anak dan sudah digunakan di seluruh belahan dunia.

Montessori fokus pada pembentukan kemandirian pada anak. Anak akan dibebaskan memilih sendiri jenis mainan, bahan, atau aktivitas apa yang mereka sukai. Mereka juga bergerak sesuai dengan preferensi dan minat belajarnya, tidak didorong atau dipaksa melakukan sesuatu. Di metode ini anak akan belajar dari kesalahan (trial and error) dan mengoreksi dirinya sendiri. Pengajar atau guru di kelas sifatnya hanya sebagai pembimbing dan pengamat. 

Dalam satu kelas, usia siswa bisa berbeda-beda. Tapi meski begitu, aktivitasnya tetap disesuaikan dengan usia mereka. Dikutip dari laman Niche, pendekatan montessori dipercaya dapat membentuk kemandirian, tanggung jawab, dan hasrat alami belajar anak. Metode pembelajaran ini juga percaya bahwa otak anak bersifat layaknya sponge, yang mampu menyerap banyak informasi. Maka dari itu, Montessori sangat menghargai cara alami belajar anak.

2. Reggio Emilia

Metode pembelajaran satu ini sebetulnya kurang lebih mirip dengan metode pembelajaran montessori, yaitu yang konsep atau pendekatannya student-centered. Reggio Emilia dikembangkan oleh Loris Malaguzzi pada tahun 1970-an, yang mana berfokus pada kebebasan berekspresi dan bereksplorasi siswanya, serta mengembangkan ide menggunakan gerakan, active listening, serta aktivitas langsung. Pendekatan ini mempertimbangan juga potensi intelektual dan emosional siswanya. Kegiatan kelas juga seringkali dilakukan secara berkolaborasi dan mendorong anak untuk membangun hubungan dengan orang lain dan dunia sekitar mereka.

Dikutip dari laman Global Indian International School, terdapat 4 prinsip utama yang menjadi inti dari metode pembelajaran Reggio Emilia:

  1. Kurikulum yang spontan: Baik siswa maupun orang tua mengembangkan topik kurikulum berdasarkan minat siswa. Para guru kemudian memutuskan kegiatan yang paling cocok untuk kelas mereka dan mendorong orangtua untuk tetap terlibat.
  2. Proyek mendalam: Anak-anak dapat berpartisipasi dalam proyek selama setahun yang diperkenalkan kepada mereka sebagai bagian dari “petualangan” yang mengasyikkan. Melalui proyek-proyek ini, anak-anak dapat mengeksplorasi konsep dan ide yang menarik minat mereka dengan bimbingan guru. Para guru juga membantu anak-anak memilih mode representasi untuk proyek mereka. Sebagian besar proyek membutuhkan waktu satu hingga dua minggu.
  3. Kolaborasi: Siswa didorong untuk mengambil bagian dalam kegiatan kolaboratif untuk meningkatkan keterampilan kognitif mereka. Dalam kelompok belajar ini, anak-anak belajar bernegosiasi, membandingkan, dan mendiskusikan solusi satu sama lain untuk meningkatkan keterampilan interpersonal mereka. Guru mengamati untuk memastikan setiap anak didengar dan dihargai sebagai anggota kelompok.
  4. Pengembangan representasi: Siswa diperbolehkan mempresentasikan karyanya dalam berbagai format seperti karya seni, musik, cetak, dan banyak lagi lainnya. Ide-ide baru juga diterima untuk memungkinkan anak memahami subjek dengan cara yang paling nyaman bagi mereka.

3. Waldorf Steiner

Waldorf Steiner adalah metode pembelajaran yang dikembangkan seorang ilmuwan Austria, Rudolf Steiner di awal abad ke-20 setelah Perang Dunia I. Jenis kurikulum ini bertujuan untuk melihat potensi pada setiap anak sebagai individu yang utuh. Setidaknya ada 3 poin utama yang mendasari metode pembelajaran ini: berpikir (thinking), merasakan (feeling), dan melakukan (doing). Waldorf Steiner dapat diterapkan untuk anak-anak usia 0-7 tahun.

Waldorf Steiner memfasilitasi rasa ingin tahu anak yang tinggi, membentuk kemandirian, dan mendorong kreativitas dan imajinasi siswa, serta memahami secara mendalam setiap topik yang mereka jelajahi. Metode pembelajaran satu ini juga memperhatikan perkembangan anak secara moral dan sosial. Sehingga penilaian akhir pun lebih ke kualitatif, bukan kuantitatif atau yang dapat diukur menggunakan angka (skor atau nilai). Ruang kelas dirancang untuk melibatkan indra anak karena itulah cara terbaik untuk mengajar anak-anak prasekolah.

4. Bank Street

Metode pembelajaran preschool lainnya adalah Bank Street, dikembangkan di New York pada pergantian abad ke-20 oleh Lucy Sprague Mitchell. Seperti kebanyakan metode pembelajaran lainnya, Bank Street juga fokus pada perkembangan anak. Anak-anak belajar melalui pengalaman dalam lingkungan interdisipliner dan kolaboratif, dan pengajaran sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan emosi siswa. Anak-anak berkembang dengan cara yang berbeda dan pada tahap yang berbeda. Guru yang menggunakan metode ini memperhatikan perubahan perkembangan tersebut dan menyesuaikan metode mereka agar cocok.

Seperti halnya Montessori, Ibu mungkin akan menemukan anak-anak yang berbeda usia di dalam satu kelas yang menerapkan metode pembelajaran Bank Street. Ini karena anak-anak yang lebih kecil cenderung belajar melalui peniruan pada yang lebih tua. Konsep ini juga bisa menghambat persaingan antar siswa, lo. Pendidik yang mendukung metode ini mengatakan bahwa anak-anak jarang mempedulikan fakta bahwa mereka bermain atau belajar dengan teman sekelas yang lebih tua. Oleh karena itu, perbedaan usia ini sebenarnya tidak mempengaruhi kemajuan akademis mereka, justru sebaliknya, kondisi ini dapat meningkatkannya.

5. STEM-based

Metode pembelajaran selanjutnya adalah STEM-based. STEM merupakan singkatan dari Science, Technology, Engineering, and Math. Metode pengajaran ini relatif baru tetapi menjadi semakin populer hingga hari ini. Berdasarkan makna akronimnya, orang mungkin berpikir bahwa pendidikan STEM terlalu rumit atau terlalu sulit untuk anak-anak prasekolah. Namun, nyatanya anak-anak sudah terlibat dalam aktivitas STEM secara spontan di lingkungan alaminya, lo, Bu. Contohnya seperti ketika ia memasukkan air ke botol, sama saja ia belajar tentang volume. Atau ketika ia melempar bola, di situ ia belajar tentang hukum gravitasi. Membantu Ibu membuat kue juga termasuk aktivitas STEM! Ketika anak mengukur takaran bahan, itu termasuk matematika. Lalu saat ia mencampur bahan satu dengan bahan lain, itu termasuk sains. Dan ketika ia memanggangnya dengan oven, itu termasuk teknologi. Selain itu, masih banyak lagi kegiatan sehari-hari yang sebenarnya tergolong STEM juga.

Ide STEM muncul karena para pendidik merasa bahwa sistem pendidikan tradisional mengajarkan matematika dan sains secara terpisah dengan kegiatan sehari-hari, sehingga kurang ada keterkaitan satu sama lain. Sedangkan anak-anak menikmati kegiatan yang memungkinkan mereka bereksperimen dan bersenang-senang. Di era teknologi saat ini, sangat penting bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan STEM sejak usia dini.

6. High Scope

Metode pembelajaran yang terakhir adalah High Scope. Pendekatan ini mendasarkan kurikulumnya pada serangkaian indikator utama, seperti: pendekatan pembelajaran, bahasa dan komunikasi, perkembangan sosial dan emosional, pengetahuan sosial dan kesenian, kesehatan jasmani, matematika, sains, dan teknologi. Indikator-indikator tersebut memandu guru untuk memilih kegiatan atau proyek yang sesuai untuk setiap jenjang usia.

Inti dari metode pembelajaran High Scope adalah bermain, dengan guru bertugas sebagai mitra bagi anak, mendorong perkembangan, taktik pemecahan masalah, dan keterampilan menyelesaikan konflik melalui proyek langsung. Kegiatan sehari-hari di dalam kelas mengacu pada urutan “play-do-review”. Siswa memilih kegiatan atau proyek, membuat rencana untuk mencapai tujuan, kemudian bekerja sama dengan guru atau siswa lain untuk menganalisis hasilnya.

Itulah beberapa metode pembelajaran yang banyak diterapkan terutama pada sekolah-sekolah dengan kurikulum internasional. Selamat memilih, Bu!

Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih