Balita

Cek Dulu! Bahaya Mengajarkan Toilet Training Terlalu Dini

Cek Dulu! Bahaya Mengajarkan Toilet Training Terlalu Dini

Mengajarkan toilet training masih menjadi PR banyak Ibu. Selain masih maju mundur melakukannya, nggak jarang para Ibu kebingungan memutuskan kapan waktu yang tepat untuk toilet training.

Beberapa Ibu memilih mengajarkan toilet training lebih awal, sebelum usia 3 tahun. Tapi banyak juga yang memilih untuk menunggu sampai anak berusia 3 tahun dengan alasan Ibunya yang belum siap mental.

Mengajarkan toilet training


Toilet training sejujurnya bukan hal mudah bagi seorang anak. Mereka menganggap ini adalah sebuah hal besar yang membutuhkan perjuangan. Mereka belajar berubah dari kebiasaan lama dan zona nyaman mereka, beralih ke kebiasaan baru.

Mempertimbangkan kapan harus pipis atau pup di toilet, bagaimana kalau sudah tidak tahan, overthinking di toilet nanti seram atau tidak, sampai ketakutan akan tenggelam saat duduk atau jongkok di toilet. Buat orang dewasa mungkin sederhana, tinggal duduk atau jongkok, lalu segera pipis atau pup. Nyatanya ini hal yang menurut anak-anak sangat rumit.

Selain itu, kesiapan anak sangat penting. Karena melansir dari Kids Healthtoilet training tidak selesai dalam 1 malam. Bisa memakan waktu 3-4 bulan sampai anak benar-benar bisa menyesuaikan diri.

Idealnya, mengajarkan toilet training sebaiknya di usia 3 tahun. Sebab, pada usia ini rata-rata anak sudah lancar berkomunikasi untuk memberitahu bahwa mereka butuh ke toilet. Kondisi psikis anak-anak usia ini juga sudah lebih kokoh. Sehingga ahli menyarankan untuk toilet training dilakukan di usia ini.

Tapi, banyak orang tua yang bahkan sudah mulai mengajarkan toilet training di usia anak belum genap 1 tahun. Apakah ada dampak yang mungkin timbul jika mengajarkan toilet training terlalu dini?

Dampak mengajarkan toilet training terlalu dini

Steve Hodges, MD, seorang profesor di bidang urologi anak menuliskan bahwa dari 100 anak/minggu yang datang memeriksakan diri, 50% di antaranya mengalami masalah berkemih. Mayoritas adalah anak-anak yang menjalani toilet training sebelum 3 tahun.

Hodges juga melakukan penelitian dan menarik kesimpulan bahwa toilet training terlalu dini menyebabkan disfungsi berkemih, atau masalah dalam berkemih, mulai dari mengompol di siang hari, konstipasi hingga infeksi.

1. Kandung kemih menebal dan konstipasi


Pada dasarnya, anak-anak yang belum mengenal konsep pergi ke toilet untuk buang air tidak ingin aktivitasnya terganggu dengan rutinitas ke toilet. Belum lagi ditambah pikiran-pikiran rumit tentang pergi ke toilet, atau reaksi orang tua ketika mereka mengompol atau pup di celana. Ini membuat anak lebih memilih untuk menahan pipis dan pupnya, di mana ini berakibat fatal.

Kandung kemih terdiri dari otot yang mampu berkontraksi. Ketika menahan pipis, otot di kandung kemih berkontraksi ke arah dalam. Ini menyebabkan kandung kemih jadi menebal dan ruang untuk air seni semakin mengecil. Jika dibiarkan dalam jangka waktu sangat lama, kandung kemih bisa saja tidak lagi memiliki ruang.

Menahan pup juga berakibat pada konstipasi. Perut terasa begah, feses semakin menumpuk dan membesar, serta semakin sulit keluar melalui anus.

2. Tidak bisa mengontrol keinginan pipis


Tidak bisa mengontrol keinginan pipis merupakan efek dari menahan pup. Ketika pup ditahan, rectum yang mulanya berdiameter 2 cm membesar jadi 10 cm. Karena letaknya yang dekat dengan kandung kemih, maka rectum yang membesar mendesak kandung kemih. 

Akibatnya, pipis bisa keluar begitu saja tanpa bisa dikontrol anak. Syaraf yang mengontrol kandung kemih berada di antara kandung kemih dan usus. Ketika usus juga ikut bengkak, maka kandung kemih juga mengalami kontraksi.

3. Infeksi saluran kencing


Menahan pipis dan pup juga berakibat pada infeksi saluran kencing. Infeksi ini disebabkan karena bakteri dalam air seni dan feses bisa saling berpindah, mengingat letak kandung kemih dan rectum yang berdampingan. 

Bakteri bisa saling berpindah dan menginfeksi saluran kencing. Anak-anak yang merasa tidak siap dan kebingungan mengkomunikasikan untuk pergi ke toilet kemungkinan besar mengalami ini jika mereka memilih untuk menahan pipis atau pup.

Tips toilet training


Untuk menghindari masalah kesehatan fisik dan psikis ketika mengajarkan toilet training, Ibu bisa mencoba tips ini, ya:

  • Menjawab pertanyaan toilet training umur berapa, para ahli menyarankan 3 tahun sebagai usia yang dianjurkan. Ini mempertimbangkan kesiapan mental anak, anak sudah bisa diajak diskusi tentang penggunaan toilet, serta bisa mengkomunikasikan kapan ingin ke toilet
  • Jelaskan secara sederhana bahwa anak akan mengubah kebiasaan menggunakan popok, menjadi memakai celana dalam. Katakan bahwa anak yang akan merasakan keinginan untuk pipis atau pup. Sehingga Ibu akan memerlukan kerjasama anak untuk memberitahu Ibu kapan ingin pipis atau pup
  • Semangati anak dengan mengatakan bahwa Ibu membersamai anak melalui ini
  • Jelaskan istilah-istilah selama toilet training seperti “pipis”, “pup”, atau “toilet”
  • Bila perlu, sounding dari jauh-jauh hari. Misalnya, 2 minggu sebelum ulang tahun ketiga. Dalam kurun waktu menjelang hari H, Ibu bisa mengajak anak ngobrol tentang toilet, pipis, dan pup seperti cara menggunakan toilet atau bagaimana rasanya saat ingin buang air
  • Ibu bisa memilih untuk menggunakan potty chair atau meletakkan bantalan toilet duduk khusus anak-anak. Jelaskan fungsinya dan gunakan saat anak ingin pup atau pipis
  • Sebelum mulai menggunakan celana dalam, perlihatkan pada anak ketika Ibu membersihkan popoknya dari kotoran. Buang kotoran ke toilet sembari katakan bahwa pup dibuang ke toilet
  • Kalau anak menunjukkan tanda trauma saat ke toilet, tunda proses ini 3-6 bulan, lalu coba kembali. Bila perlu, minta bantuan ahli untuk mempermudah anak kembali mencoba toilet training tanpa rasa trauma.

Mengajarkan toilet training mungkin tidak selalu mulus. Tapi bukan berarti tidak akan berhasil. Perluas kesabaran Ibu dan sebisa mungkin hindari marah-marah ketika anak masih mengompol atau buang air besar di celana dalamnya. Marah-marah hanya akan menambah beban stres anak dan membuatnya enggan mencoba.

Editor: Aprilia