Balita

Stop Memberi Label Pada Anak Saat Mendidiknya

Stop Memberi Label Pada Anak Saat Mendidiknya

Ibu pasti pernah mendengar seseorang mengatakan “anak ini memang bandel” pada anaknya sendiri untuk sekadar basa-basi meminta maaf setelah si anak tidak sengaja menyenggol anak Ibu. Ibu juga pasti sering mendengar orangtua Ibu mengatakan, “Anakmu pintar banget ya, makannya selalu habis.” Kedua contoh di atas adalah ungkapan yang disebut labeling pada anak. Tahukah Ibu, bahwa labeling atau melabeli anak dengan suatu ungkapan, sebenarnya tidak baik? Ungkapan saat melabeli anak tidak melulu harus negatif untuk bisa mempengaruhi psikologis mereka. Ungkapan labeling yang positif pun bisa mempengaruhi hidup seseorang hingga dewasa meski memiliki dampak yang berbeda dengan labeling negatif.

Coba Ibu ingat masa-masa saat Ibu masih kecil. Pelajaran matematika sering kali jadi hal menakutkan bagi anak yang menghadapi kesulitan atau tidak berminat pada bidang matematika. Ibu tentu pernah merasa tidak bisa menyelesaikan soal matematika di sekolah, tapi bisa sangat menikmati pelajaran melukis dan sangat optimal dalam mengerjakan tugas. Lalu, ingatkah Ibu bahwa mungkin orangtua Ibu dulu sempat mengatakan, “Oh, kamu nggak suka matematika ya, sukanya melukis”?

Tanpa Ibu sadari, ungkapan demikian, membuat Ibu sampai sedewasa ini merasa bahwa matematika adalah hal yang rumit dan lebih baik dihindari. Selain itu Ibu akan merasa bahwa Ibu memang tidak berbakat dalam bidang matematika dan lebih baik fokus melukis. Ungkapan tadi adalah contoh labeling. Ungkapan yang terlihat sudah biasa diucapkan di masyarakat kita, ternyata segitu besarnya memengaruhi hidup seseorang.

Memikirkan matematika adalah hal sulit dan melukis adalah hal mudah, melahirkan konsepsi bahwa matematika itu negatif dan melukis itu positif. Ibu tidak sadar bahwa pemikiran Ibu sudah dikotakkan menjadi ‘itu’ saja. Tidak ada hal lain seperti kemungkinan bahwa matematika itu mudah atau melukis itu membosankan.

Padahal masa anak-anak itu adalah masa di mana anak mudah sekali menyerap banyak hal saat mereka punya kesempatan bereksplorasi, seperti yang dipaparkan dalam artikel di situs Sleeping Should Be Easy. Semua hal, termasuk pelajaran di sekolah maupun hubungan sosial, masih harus dieksplorasi oleh anak sampai anak merasa nyaman dengan hal tersebut. Jika anak yang kesulitan menyelesaikan soal matematika tidak dilabeli “benci matematika”, maka anak itu akan terus menggali berbagai cara untuk menemukan penyelesaian soal itu. Jika dibiarkan bereksplorasi, maka cepat atau lambat anak akan menemukan kenyamanan dan merasa bahwa dia bisa menyelesaikan soal itu. Tapi jika eksplorasinya dihentikan dengan ungkapan labeling, anak tidak dapat menemukan kenyamanan yang sebetulnya bisa dia dapat. Anak akan langsung percaya saja pada label dari orangtuanya bahwa dia tidak bisa matematika dan hanya suka melukis. 


Alasan Kenapa Orang Tua Harus Berhenti Memberikan Label ke Anak

Nah, labeling, baik dengan ungkapan negatif atau positif sama-sama memiliki dampak negatif. Berikut beberapa alasan mengapa kita harus stop memberi label pada anak saat mendidiknya:

  1. Label Membuat Anak Frustrasi

    Bagaimana bisa? Kondisi emosional anak di masa-masa awal kehidupannya perlu dipupuk dan dibangun oleh orangtua. Yang perlu dibangun adalah rasa percaya dirinya. Dengan melabeli anak ini dan itu, anak akan merasa dirinya hanya bersifat sesuai dengan label tadi. Orangtua secara tidak sadar juga akan percaya dengan label yang diberikan. Sehingga orangtua sulit memberikan rasa empatinya pada anak yang sedang berjuang untuk mengelola perasaannya. Bayangkan saja, anak yang dilabeli ‘nakal’ akan memiliki emosi yang cenderung meluap karena ia percaya ia nakal dan akan selalu nakal. Padahal sebetulnya ia sedang mengelola emosinya dan berpikir apakah jika dia melakukan sesuatu, hal itu baik atau buruk. Karena dilabeli nakal, anak jadi tahu bahwa hal yang dia lakukan itu sesuai dengan dirinya yang nakal, dan menjadikan itu sebagai jati dirinya. Anak akan semakin frustrasi karena ia merasa label itu adalah jati dirinya, tapi kenapa justru tidak diterima oleh lingkungan?

  2. Label Membatasi Eksplorasi

    Pada dasarnya manusia masih akan terus bereksplorasi hingga menemukan kenyamanan. Karena rupanya manusia itu diciptakan mampu untuk menguasai segala bidang. Masa anak-anak adalah masa di mana eksplorasi gencar dilakukan. Sehingga perubahan-perubahan sikap masih sering terjadi. Anak sedang melatih diri untuk menemukan apa yang menurutnya nyaman ia lakukan. Selain untuk menemukan pengalaman baru, mencoba berbagai hal ternyata baik untuk memperkaya wawasan si kecil. Jangan salah, orang dewasa pun terus menerus melakukan eksplorasi. Seperti halnya Ibu dan Ayah; maternal insting dikatakan membuat Ibu lebih jago dalam hal pengasuhan anak, akan tetapi apakah dengan demikian Ayah berarti tidak mampu mengasuh anak sebagaimana Ibu melakukannya? Apakah lantas Ayah boleh dilabeli ‘pemalas’ atau ‘sudah sewajarnya jika Ayah tidak bisa’? Padahal, saat menjadi orangtua baru, Ayah dan Ibu sama-sama memulainya dari nol dan hampir segala hal merupakan pengalaman pertama yang bisa sama-sama dieksplorasi.

    Eksplorasi itu alami terjadi pada manusia, termasuk anak-anak. Jika anak sudah terbiasa dilabeli ‘pemalas’, maka ia akan berpikir bahwa menjadi pemalas adalah hal yang akan ia tekuni dan membuatnya enggan mengeksplorasi hal baru. Begitu juga jika anak dilabeli ‘rajin’, artinya ketika di satu momen anak sedang tidak rajin, maka ia hanya akan mendapat tekanan, bukan?

  3. Label Menghambat Pertumbuhan dan Membatasi Potensi Diri

    Salah satu dampak buruk memberikan label saat mendidik anak adalah terhambatnya tumbuh-kembang dan potensi diri. Mengapa demikian? Pelabelan membuat anak terbiasa mengulang kalimat-kalimat pelabelan dirinya di otak, sehingga secara tidak langsung afirmasi yang diterima oleh otaknya hanyalah pelabelan yang dia terima dan pada akhirnya membuat kinerja otak melambat dalam melakukan hal-hal yang bisa mendukung pertumbuhannya.

    Potensi dalam diri anak juga jadi serba terbatas karena anak berpikir apa pun yang dilakukannya label itu akan tetap melekat padanya. Padahal label yang sesungguhnya ditentukan oleh anak-anak sendiri. Bukan orangtua, tetangga, nenek-kakek atau orang lain.

  4. Label Mempengaruhi Perilaku

    Perlu Ibu ketahui bahwa label akan mempengaruhi perilaku, bukan sebaliknya. Ketika seseorang mendidik anak dengan memberi label ‘anak nakal’ atau ‘anak pintar’, maka anak akan menjadi seperti itu terus hingga dewasa tanpa bisa diubah. 

    Label ‘anak nakal’ akan diyakini anak sebagai sifatnya yang sesungguhnya. Sehingga nantinya ia akan semakin sulit untuk ditenangkan, semakin sulit untuk diperbaiki ‘kenakalan’ yang menurut orangtuanya tidak baik.

    Label ‘anak pintar’ juga akan diyakini anak sebagai jati dirinya, sehingga ia meyakini bahwa ia tidak boleh nakal, ia tidak boleh melakukan kesalahan. Padahal semua orang, termasuk anak-anak, boleh melakukan kesalahan untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan berarti saat mendidik anak dengan memberi label positif selalu berdampak buruk. Biasanya, pelabelan ini dilakukan orangtua justru untuk memotivasi anaknya agar mencapai tujuan pelabelan tersebut. Akan tetapi, sebaiknya label seperti ini disesuaikan dengan kemampuan anak dan bentuk apresiasi atas usahanya. Misalnya dengan mengganti label “Wah, Kakak memang anak penurut ya” menjadi “Terima kasih sudah mau bersabar mengantre ya, Kak!” saat meminta anak untuk ikut menunggu antrean membeli makanan.

    Sebuah artikel dari situs National Fatherhood Initiative mengungkapkan bahwa label negatif bisa menghancurkan anak dengan rasa malu dan tidak percaya diri, sedangkan label positif menghancurkan anak dengan ego dan kesombongan yang berlebihan.


Label yang Paling Sering Dijumpai dan Sebaiknya Dihindari

Label Positif    

  • “Kamu pintar sekali, nilai selalu bagus”  

  • “Wah, gambarmu selalu sempurna”  

  • “Anak Ibu paling berani ya”    

  • “Kamu memang anak penurut”  

  • “Kamu memang paling terbaik dari saudara-saudara lainnya”  

  • “Kamu sudah pintar, nggak perlu ikut les”    

  • “Enak ya, makannya banyak tapi badannya tetep kurus”  

Label Negatif

  •  “Kamu memang nakal!”

  •  “Anak ini pemalu”

  • “Anak saya suka memukul”

  •  “Anak Ibu itu jorok, jangan dekat-dekat”

  •  “Anak saya ini tidak suka olahraga, selalu lemas kalau pelajaran olahraga”

  • “Anak ini nggak suka makan, nih”

  •  “Kamu gendut sekali, sudah kayak bola”

Sebetulnya masih banyak aneka ragam ungkapan label yang tidak baik untuk perkembangan sosial dan perilaku anak. Banyaknya orang dewasa yang berperilaku tidak baik juga bisa dikatakan bermula dari masa anak-anak yang dilabeli dengan ungkapan yang bermacam-macam. Dan tidak sedikit yang melakukan penyimpangan sosial justru berangkat dari anak-anak berlabel positif. Hal ini sebagai bentuk penyaluran emosi karena mereka tidak bisa lepas dari image positif yang membuat mereka seolah sempurna dan tidak bisa salah.


Cara Menghindari Memberikan Label Pada Anak

Mengingat berbagai dampak negatif yang disebabkan oleh labeling, tentu Ibu sebisa mungkin menghindari melakukan labeling saat mendidik anak. Berikut beberapa tips yang bisa Ibu terapkan untuk menghindari labeling:

  1. Ingat Kembali Labeling yang Ibu dan Ayah Dapat Sewaktu Kecil

    Menjadi pribadi seperti yang saat ini, Ibu dan Ayah pasti menyadari bahwa di masa kecil dulu ada label yang disematkan oleh orangtua. Mengingat kembali label, baik positif maupun negatif yang pernah Ayah dan Ibu dapat, bisa membantu untuk menghindari ungkapan yang serupa terjadi saat mendidik anak. Ingat kembali bagaimana perasaan Ayah dan Ibu saat itu, lalu bayangkan jika anak-anak yang akan mendapat label tersebut. Ingat juga bagaimana Ayah dan Ibu akhirnya berdamai dengan label-label tersebut, dan apa saja tantangan-tantangannya. Dengan begitu, Ayah dan Ibu bisa bijak dalam menentukan sikap saat harus mendidik anak.

  2. Ajak Anak Berkomunikasi dengan Menanyakan Alasan Di balik Perilakunya

    Pada anak yang sudah lebih besar, mengomunikasikan apa yang anak rasa dan perbuat akan berdampak baik bagi hubungan orangtua dengan anak. Anak-anak merasa dihargai saat pendapat mereka didengarkan. Dengan banyak melakukan komunikasi ini, Ayah dan Ibu bisa mencegah perilaku negatif anak dan pelabelan dari Ayah Ibu sendiri maupun orang lain. Anak akan merasa orangtuanya adalah orang terpercaya untuk berbagi pendapat dan berkeluh kesah, sehingga perilaku negatif bisa dihindari. Namun, Ayah dan Ibu sebaiknya tetap berhati-hati saat memberi pujian agar tidak terdengar seperti label positif.

  3. Fokus Pada Perilaku, Bukan Pada Pelakunya

    Saat anak melakukan sesuatu, Ayah dan Ibu perlu fokus pada apa yang dilakukan, bukan melabeli perilaku tersebut sebagai ciri khas anak. Misalnya saat anak suka memukul teman sebayanya. Jelaskan perlahan bahwa ‘memukul’ adalah hal yang tidak baik, bukan si anak yang tidak baik karena dia suka memukul. Ini termasuk ke dalam contoh fokus pada perilaku, bukan pada pelakunya. Contoh lain misalnya anak mendapatkan nilai bagus pada pelajaran yang biasanya tidak ia sukai. Ayah dan Ibu bisa memuji anak dengan kalimat “Usahamu bagus sekali bisa sampai dapat nilai ini. Terus semangat belajar ya”. Kalimat motivasi seperti ini lebih baik dibandingkan langsung melabeli anak dengan “kamu pintar sekali dapat nilai bagus”. Tujuannya Nantinya saat anak mendapat nilai biasa saja atau bahkan nilai jelek, ia akan kecewa karena tidak sesuai dengan label pintarnya. Ayah dan Ibu akan lebih kecewa lagi karena seperti kehilangan anak yang kemarin pintar tapi sekarang tidak.

    Bila suatu ketika Ayah dan Ibu tidak sengaja menyebutkan “wah kamu pintar sekali, ya.” Ayah dan Ibu bisa menambahkan kalimat seperti, “Kamu pasti sudah berusaha dan tidak menyerah berlatih ya, Ibu dan Ayah bangga padamu”. Kalimat seperti ini baik untuk memotivasi anak agar mereka memahami bahwa apa pun keadaannya, orangtuanya tetap menerima mereka apa adanya.

  4. Jelaskan Alasan dari Komentar Ayah dan Ibu Sebagai Orangtua

    Anak-anak banyak bertanya tentang segala sesuatu. Pertanyaan seperti kenapa harus begini, kenapa harus begitu, kenapa ada aturan ini dan itu, atau kenapa mereka harus disiplin saat melakukan sesuatu. Keingintahuan ini bisa Ayah dan Ibu redam dengan menjelaskan dengan sederhana alasan di balik apa yang mereka tanyakan. Menjelaskan apa alasan bahwa memukul itu tidak baik, menjelaskan alasan kenapa sembarangan meletakkan mainan itu tidak baik, dan alasan-alasan lain yang berkaitan dengan perilakunya. Menjelaskan dengan sederhana akan lebih baik daripada Ayah atau Ibu harus melabeli anak dengan istilah-istilah yang bermacam jenisnya. 

    Jadi penjelasannya lebih fokus pada aksi-reaksi atau perilaku-konsekuensi dari hal yang baru saja anak lakukan. Misalnya, penjelasan tentang ketika mainan tidak dirapikan, maka ada kemungkinan mainan tercecer, hilang atau rusak. Bukan langsung menilai anak sebagai “anak yang suka acak-acak mainan”.

  5. Meminta Maaf Pada Anak Jika Kelepasan Melabeli

    Jangan pernah merasa sungkan atau enggan meminta maaf pada anak. Jika orangtuanya bersalah, maka orangtualah yang harus minta maaf. Kelepasan melabeli anak juga perlu meminta maaf agar  anak tahu bahwa orangtuanya tidak bermaksud menjadikan anak mereka seperti apa yang dilabelkan. Ini juga membuat anak mengerti bahwa orangtuanya mendukung sepenuh hati dan dengan tulus meminta maaf pada mereka. Dengan cara ini juga hubungan orangtua dan anak jadi semakin baik. Dan hingga anak-anak dewasa, mereka akan merasa aman, ada orangtuanya yang siap menerima mereka apa adanya, terlepas sekeras apa pun dunia luar yang mereka hadapi nanti atau label apa yang tidak sangka disematkan orang lain padanya.

Meski tampaknya tidak mudah, bukanlah hal mustahil untuk jika Ibu dan Ayah bisa stop memberi label saat mendidik anak. Bagi anak, ucapan dan perlakuan positif orangtua adalah hal yang paling berharga untuk mereka. Dengan menghindari pelabelan dalam mendidik anak, Ibu dan Ayah telah mengambil keputusan bijak untuk mengoptimalkan potensi baik dalam diri anak.

(Dwi Ratih)