Keluarga

4 Fakta Tentang Ibu Multitasking, Benarkah Tak Selalu Baik?

4 Fakta Tentang Ibu Multitasking, Benarkah Tak Selalu Baik?

Selama menjalani aktivitas sehari-hari, kita mungkin tidak menyadari bahwa sering melakukan multitasking. Multitasking sendiri berarti mengerjakan dua atau lebih pekerjaan secara bersamaan atau dalam satu waktu, dan sejatinya sangat bisa dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin.

Biasanya, kita akan beralih secara bolak-balik dari satu hal ke hal lainnya, atau benar-benar mengerjakan banyak pekerjaan secara bersamaan. Misalnya, memainkan gitar sambil bernyanyi, menonton film sambil mengunyah cemilan, dan menulis sambil mendengarkan lagu.

Secara ilmiah, kemampuan ber-multitasking memiliki efek positif dan negatif bagi otak, tubuh, dan keseharian kita. Dalam sebuah eksperimen yang dilansir oleh BBC, Kelvin Lui dan Alan Wong dari Chinese University of Hong Kong menemukan orang-orang yang secara teratur menggunakan tiga atau lebih media yang berbeda pada satu waktu, lebih baik dalam mengintegrasikan informasi yang masuk melalui telinga dan mata mereka.

Karena kehidupan nyata melibatkan banyak integrasi berbagai indra, memiliki keterampilan multitasking akan sangat membantu dalam menjalani aktivitas. Di sisi lain, ternyata multitasking juga memiliki efek negatif yang tidak boleh diabaikan. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa multitasking justru dapat memengaruhi kemampuan kognitif dan mengurangi produktivitas sebanyak 40%.

Laman verywellmind menyebutkan hasil penelitian Clifford Nass dari Universitas Stanford yang menemukan bahwa orang dengan level multitasking cukup berat sebenarnya lebih buruk dalam memilah informasi yang relevan dari detail yang tidak relevan.

Dalam fenomena ibu multitasking, ternyata banyak ibu yang melakukan pekerjaan secara bersamaan tanpa disadari. Misalnya, memasak sembari menunggu mesin cuci menggiling baju kotor, menyapu di saat kompor masih menyala dengan aneka masakan yang sedang dimasak, atau bekerja sambil memantau CCTV dari ponsel untuk memastikan si kecil aman dalam pengawasan.

Biasanya, kemampuan Ibu multitasking ini dikerahkan di pagi hari untuk memulai rutinitas sehari-hari, seolah-olah ini hal otomatis yang akan Ibu lakukan sejak membuka mata dan beranjak dari tempat tidur.

Menjadi Ibu multitasking bukan berarti selalu memikul pekerjaan menumpuk. Apalagi jika pekerjaan itu dilakukan enjoy tanpa paksaan dan suasana di rumah aman terkendali. Namun, tidak menutup kemungkinan ibu multitasking melakukannya karena keterpaksaan atau adanya double burden yang dipikulnya. Sehingga kemampuan multitasking yang dimiliki justru menguras energi, emosi, bahkan kewarasan Ibu.

Nah, inilah yang harus diwaspadai oleh para ibu multitasking yang terjebak beban ganda selama menjalankan tugas dalam keluarga.

Berikut beberapa hal penting untuk diketahui oleh ibu multitasking dalam menjalani keseharian agar beban pekerjaan tidak menimbulkan stres:

  1. Multitasking untuk Efisiensi Waktu

    Banyak ibu multitasking yang mengaku bahwa mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu atau bersamaan dapat membantu mereka meringkas waktu. Dengan kata lain, efisiensi waktu menjadi alasan utama ibu memilih multitasking.

    Bagi para ibu yang berbagi pekerjaan rumah tangga bersama pasangan secara adil, biasanya beban pekerjaan saat multitasking tidak seberat ibu yang terpaksa mengurus segala hal sendiri. Bisa karena menjadi single parent atau adanya masalah pembagian pekerjaan dengan pasangan. 

    Biasanya, kesibukan ibu multitasking dimulai sejak membuka mata di pagi hari. Bagi para Ibu yang lebih banyak berkutat di dapur, tak jarang terlihat pemandangan Ibu menyalakan kompor untuk merebus air sambil memotong sayur, atau menunggu lauk matang di wajan sembari menyalakan mesin cuci dan menyortir pakaian untuk dicuci.

    Hal ini tidak hanya terjadi pada ibu bekerja yang harus menyiapkan banyak hal sebelum berangkat ke tempat kerja, tapi juga terjadi pada ibu rumah tangga. Rata-rata, mereka melakukan multitasking agar semua pekerjaan beres sehingga bisa bekerja dengan tenang, bisa mendampingi anak di rumah tanpa memikirkan pekerjaan lainnya, dan bisa memiliki waktu istirahat lebih banyak.

  2. Multitasking Tidak Selalu Baik

    Meski multitasking memiliki manfaat untuk efisiensi waktu, ternyata menjadi ibu multitasking tidak selalu baik lho! Selain fakta ilmiah yang tentang dampak negatif bila ibu multitasking berada pada level berat, ada beberapa kondisi di mana multitasking ini justru menjadi pilihan yang sebaiknya dihindari bahkan dihentikan, karena dapat menyebabkan stres dan berdampak pada hubungan keluarga terutama dengan suami dan anak.

    Beberapa contoh pekerjaan ibu multitasking yang harus dihindari adalah:

    • Mengirim pesan saat mengemudi

      Kondisi yang satu ini tentu tidak boleh dilakukan oleh ibu multitasking. Mengirim pesan, menerima panggilan, atau hal-hal yang mengganggu fokus saat mengemudi sebaiknya dihindari. Keselamatan diri dan keluarga (bila bepergian bersama keluarga) akan menjadi taruhannya.

      Jika ibu multitasking tiba-tiba teringat sesuatu dan perlu untuk memeriksa ponsel, ada baiknya jika ibu menahannya terlebih dahulu hingga sampai di tujuan, atau menepi dan hentikan kendaraan untuk kemudian melakukan hal lain. 

    • Menggunakan ponsel saat menemani anak atau bersama pasangan

      Pernahkah Ibu menghitung berapa jam dalam sehari Ibu berkutat dengan ponsel atau berselancar di Internet? Fenomena “bersama tapi tidak bersama” ini seringkali terjadi, di mana orang-orang duduk bersebelahan atau berkumpul, namun sibuk berkutat dengan gawai masing-masing.

      Sayangnya, hal ini juga tidak jarang terjadi saat sedang bersama pasangan atau saat orangtua menemani anak, baik ayah maupun ibu. Masalahnya terletak pada mindfulness. Meski ibu multitasking masih bisa menyahuti obrolan pasangan maupun anak, tak bisa disangkal bahwa fokus ibu pun jadi terbagi karena ibu tidak berada di sana secara pikiran.

      Terkadang, saking asyiknya berkutat dengan gawai, tanpa disadari ibu mungkin menjawab obrolan dengan tidak nyambung atau bahkan membuat anak dan pasangan merasa kurang diperhatikan. 

    • Tidak disarankan untuk penderita masalah kecemasan

      Pada kondisi penderita masalah kecemasan, biasanya tidak disarankan untuk menerapkan multitasking dalam menyelesaikan pekerjaan, termasuk bagi ibu. Pasalnya, ketika melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan, otak akan otomatis bekerja membagi fokus dan pikiran dan cenderung ingin cepat selesai.

      Pikiran yang silih berganti secara cepat ini akan rentan menimbulkan panik bahkan mental block yang akan membuat penderita masalah kecemasan sulit untuk mengendalikannya.

  3. Ketahui Kapan Harus Mengambil Jeda

    Jika menjadi ibu multitasking tak terhindarkan, tentu ibu tetap bisa melanjutkannya namun perlu mempertimbangkan untuk membatasi jumlah pekerjaan dalam satu waktu. Hal ini bertujuan untuk menghindari kemungkinan ibu multitasking jadi kewalahan dan berujung stres.

    Jika biasanya ibu multitasking mengerjakan 4 hal sekaligus dalam waktu bersamaan, ibu bisa menguranginya menjadi 2 pekerjaan saja. Yang terpenting, ibu multitasking harus memahami sinyal-sinyal yang menandakan bahwa tubuh dan pikiran perlu rehat dan jangan sampai memaksakan diri.

    Lantas, bagaimana jika ibu multitasking mulai menunjukkan tanda-tanda kewalahan? Berikut tipsnya:

    • Membuat To-Do List

      Jika ibu sering merasa bingung pekerjaan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu, ibu bisa memilahnya dengan membuat daftar pekerjaan atau to-do list.

      Dengan menuliskan apa saja pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu, akan lebih mudah bagi ibu multitasking untuk menentukan prioritas sekaligus menjadi pengingat apabila ada pekerjaan yang terlewat.

    • Bicarakan dengan Pasangan

      Berbagi pekerjaan rumah tangga dengan pasangan sudah semestinya menjadi kesepakatan bersama yang tidak memberatkan sebelah pihak.

      Jika ternyata ada yang perlu dievaluasi dari kesepakatan pembagian pekerjaan rumah, tidak ada salahnya dibicarakan kembali dengan pasangan. Cara ini akan mengurangi risiko masalah komunikasi yang merusak hubungan pernikahan.

    • Mencoba Menerapkan Single-tasking

      Istilah single-tasking merujuk pada metode seseorang menyelesaikan satu pekerjaan dalam satu waktu. Single-tasking erat kaitannya dengan keterampilan konsentrasi dan “the art of slowing down”, di mana seseorang hanya akan mencurahkan perhatian dan pemikirannya pada 1 hal tanpa distraksi.

      Jika ibu multitasking mulai merasa jenuh dengan peralihan yang serba cepat dalam menyelesaikan pekerjaan, Ibu bisa mencoba single tasking supaya lebih tenang dan mengembalikan fokus.

  4. Lebih Baik Menjadi Ibu Multitasking atau Single-tasking?

    Ibu multitasking dan ibu single-tasking bukanlah oposisi biner yang harus dipertentangkan. Multitasking maupun single tasking merupakan preferensi dan pilihan terhadap kondisi keluarga dan kebutuhan. Masing-masing memiliki efek positif dan negatif tak terhindarkan dan sama-sama perlu dipertimbangkan.

    Seorang Ibu yang terbiasa ber-multitasking bukan berarti tidak mungkin mengerjakan hal dengan cara single-tasking. Demikian pula sebaliknya, Ibu single-tasking yang menemukan kesulitan dalam kondisi mendadak dan menuntut efisiensi waktu, sangat mungkin secara alami melakukan multitasking meski tidak mudah.

    Ini merupakan kecenderungan dan kebiasaan yang dilakukan dalam masing-masing keluarga yang tidak perlu dijadikan label.

Ibu tentu bisa memadukan keduanya pada kondisi yang dibutuhkan. Ibu multitasking yang tidak punya banyak waktu di pagi hari untuk mengerjakan segala hal dengan cara single-tasking tak perlu memaksakan diri menerapkannya. Mencoba single-tasking pun tidak masalah, misalnya ketika di akhir pekan pasangan bisa menemani si kecil seharian dan ibu bisa mengerjakan hal lain dengan lebih santai, bahkan mendapatkan me time yang cukup. 

Penulis: Dwi Ratih