Keluarga

Jangan Dulu Menghujat, Ini Alasan Pasangan Memilih Childfree

Jangan Dulu Menghujat, Ini Alasan Pasangan Memilih Childfree

Masih belum surut pro-kontra tentang childfree dan opini influencer Indonesia yang tengah menetap di Jerman, Gita Savitri Devi. Baru-baru ini, cara Gita menanggapi sebuah komentar netizen tentang wajahnya yang awet muda kembali jadi sorotan.

Karena dalam tanggapannya tersebut, menurut @gitasav keputusan childfree adalah sebuah cara penundaan proses penuaan yang alami. Nggak sedikit yang tersulut, tapi ada juga yang memilih untuk tidak banyak komentar.

Mengulas lebih jauh tentang childfree, sebenarnya apa ya alasan banyak pasangan yang memutuskan untuk childfree? Apakah benar alasan utamanya adalah karena anak-anak adalah sumber stres orang tua?

Photo source: @gitasav 

Alasan pasangan memutuskan childfree

1. Memiliki masalah kesehatan

Masalah kesehatan mendasari keputusan pasangan untuk childfree. Pasangan yang memiliki kelainan genetik memutuskan untuk childfree dengan harapan anak yang akan lahir tidak memiliki kelainan yang sama.

Dalam wawancara dengan The Jakarta Post, sepasang suami dan istri memilih untuk childfree karena pihak suami memiliki kelainan genetik. Mereka merasa terlalu egois, bila mengharuskan anak yang lahir nantinya akan memiliki masalah kesehatan yang sama dengan yang dialami mereka saat ini.

Selain kelainan genetik, masalah kesehatan seperti penyakit pada organ reproduksi juga melatarbelakangi keputusan childfree. Tak bisa dipungkiri bahwa pasangan yang telah mencoba berbagai macam cara untuk hamil menemui kendala.

Baik karena penyakit pada organ reproduksi sudah akut, atau karena proses perjuangan mendapatkan keturunan terlampau melelahkan sehingga menguras tenaga, waktu dan finansial pasangan. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian membuat childfree menjadi pilihan paling memungkinkan.

2. Trauma psikologis


Victoria Tunggono menulis buku tentang childfree di 2021 dengan judul “Childfree and Happy, Keputusan Sadar untuk Hidup Bebas Anak”. Penelitian Victoria yang dijadikan dasar dalam buku ini selaras dengan penelitian di tahun 1979 dan 1986 yang menarik garis besar bahwa, childfree merupakan mekanisme pertahanan diri yang datang dari trauma masa kecil atau hancurnya kehidupan keluarga.

Mereka yang memilih childfree juga ditemukan tidak sensitif, kurang merasakan cinta dan tidak bisa beradaptasi dengan anak-anak. Demikian dikutip dari jurnal terbitan Universitas Syiah Kuala berjudul Childfree Phenomenon in Indonesia.

Hubungan yang kurang baik dengan orang tua, adanya kekerasan dalam rumah tangga, serta perpisahan orang tua menjadi alasan masuk akal mengapa pasangan childfree tidak ingin memiliki anak. Mereka khawatir akan mengulangi hubungan toksik ini pada anak mereka dan membesarkan generasi dengan trauma yang sama.

Orang tua toksik membuat luka abadi pada anak-anak dan menciptakan ketakutan, menyisakan dendam serta melahirkan masalah kesehatan mental. Ini kemudian menjadi masalah berulang yang disebutkan dalam Grow Thru Change sebagai pencetus anak mempertanyakan, apakah dirinya berharga, patut dicintai dan apakah mereka sebenarnya diterima kehadirannya di dunia ini.

Inilah yang kemudian membuat kesiapan menjadi orang tua kembali rapuh. Ketakutan untuk mengulang hubungan toksik dan merasa bersalah jika nantinya mereka akan melakukan kekerasan, memperlakukan anak dengan tidak adil atau tidak bisa memberikan cinta yang utuh, menjadi faktor ‘mengerikan’ bagi pasangan childfree.

3. Kondisi finansial


Masalah pokok masyarakat Indonesia adalah kondisi ekonomi. Masalah ini menyentuh masalah-masalah lain dalam kehidupannya termasuk faktor kesejahteraan keluarga hingga pemenuhan gizi.

Pasangan childfree bisa saja merasa bahwa perekonomian mereka tidak mendukung untuk memiliki anak. Memang benar bahwa memiliki anak membutuhkan biaya yang besar.

Mulai dari pemenuhan nutrisi dari masa kehamilan, penunjang kesehatan anak seperti vaksin dan vitamin, biaya sekolah hingga kuliah, serta menyiapkan pernikahan anak nantinya. Pasangan-pasangan ini merasa tidak mampu memberikan ini semua pada anak mereka, sehingga cukup bagi mereka untuk childfree.

4. Pencapaian tertentu dan pencarian jati diri


Seseorang juga tentu ingin mencapai sesuatu yang ia dambakan, inginkan atau cita-citakan. Entah karena latar belakang ambisi, atau karena kesulitan hidup di masa lalu yang membuat seseorang ingin mencapai target tertentu dalam hidupnya di masa mendatang.

Ini tidak menjadikan mereka sosok yang egois, ya. Setiap orang sah-sah saja memiiki target dan pencapaian diri. Target-target tertentu itu misalnya ingin menuntaskan pendidikan, mencapai titik karir tertentu, atau melancong ke beberapa negara.

Mencapai target sambil memiliki anak memang mungkin dilakukan. Tapi pasangan childfree memilih untuk tidak memiliki anak dalam mencapai target ini. Karena faktanya memang tidak mudah memiliki dan mengurus anak sambil mengejar target hidup.

5. Pertentangan dari stigma masyarakat


Sadarkah kita bahwa stigma masyarakat mengkotakkan kadar bahagia dan suksesnya seorang perempuan melalui keberhasilan menikah dan memiliki anak. Laman Curry Psychology menyebutkan bahwa, ada perempuan-perempuan yang memilih childfree bukan karena tidak menyukai anak-anak, tapi karena menganggap childfree sebagai sebuah lifestyle yang boleh-boleh saja dijalani.

Orang-orang ini justru bisa berkontribusi lebih banyak di masyarakat dengan hadir secara utuh dan memberikan juga secara utuh, baik tenaga, waktu dan finansialnya.

6. Masalah lingkungan

Bukan tidak mungkin bahwa seseorang berpikir sangat jauh sampai ke puluhan tahun ke depan tentang kondisi alam dan lingkungan. Bahkan mungkin tentang terjadinya perang, kehancuran dan kiamat.

Masih dalam pembahasan buku Childfree and Happy, alasan pasangan yang memutuskan childfree adalah kekhawatiran untuk membesarkan anak di lingkungan yang semakin rusak. Area hijau semakin berkurang, air tercemar, bumi yang alami global waming, atau hal-hal lain yang membuat pasangan-pasangan ini ragu untuk punya anak.

Nah, alasan-alasan ini apakah tidak bisa diterima oleh masyarakat yang kontra dengan childfree? Mungkin tidak. Mungkin juga penganut childfree akan banyak ditentang atau diejek kenapa tidak mencoba ini dan itu.

Tapi, semua alasan ini mungkin dan masuk akal untuk dijalani seseorang. Untuk itu, keputusan childfree tetap perlu dihargai. Cara penyampaian pendapat dari kedua kubu juga sebaiknya dengan cara yang baik sehingga tidak mengundang perdebatan yang membuat saling membenci.

Editor: Aprilia