Keluarga

Mahar Pernikahan yang Baik Menurut Islam Beserta Contohnya

Mahar Pernikahan yang Baik Menurut Islam Beserta Contohnya

Mahar pernikahan termasuk salah satu syarat yang menjadikan suatu pernikahan sah di mata agama. Mahar yang juga biasa kita sebut maskawin ini umumnya berbentuk uang tunai, emas, atau seperangkat alat salat. 

Mahar akan disebutkan ketika si mempelai pria mengucapkan ijab kabul sebagai tanda keseriusannya meminang mempelai wanita. Dalam Islam, mahar sendiri dianggap sebagai bukti kejujuran dan ketulusan mempelai pria terhadap mempelai wanita, serta sebagai bentuk awal kesanggupan suami menafkahi istrinya.

Mahar atau dalam Bahasa Arab disebut al shidaq memiliki arti jujur, benar, dan tulus. Dalil yang membahas tentang mahar pernikahan ini sudah diatur secara jelas dalam firman Allah pada Quran Surah (Q.S) An-Nisa ayat 4 yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Selain dalam surat di atas, ada juga sejumlah hadis yang membahas mengenai mahar pernikahan, salah satunya seperti hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasulullah bersabda: “Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.” (HR Bukhari No.1587).

Hukum Memberikan Mahar Pernikahan


Melihat dalil-dalil yang membahas mahar pernikahan di atas, bisa disimpulkan bahwa hukum memberikan mahar dalam Islam adalah wajib. Meski hukumnya wajib, mahar tidak harus dalam bentuk harta dengan nominal mahal. Seperti dalam hadis yang sudah disinggung di atas, kata Rasulullah, cincin yang terbuat dari besi saja sudah bisa dijadikan mahar. Bahkan, bila si calon pengantin wanita rida, mahar juga bisa dibayar dengan berutang, artinya tidak langsung diberikan pada saat akad nikah terjadi, dan pernikahan tetap sah.

Mahar yang terutang tetap wajib dibayar meskipun suatu waktu suami istri tersebut harus bercerai, dengan catatan mereka sudah berhubungan intim atau bersenggama. Tapi apabila perceraian terjadi sebelum ada hubungan badan, maka suami hanya wajib membayar mahar setengahnya saja. Hal ini seperti yang tercantum dalam Q.S Al Baqarah ayat 237 yang berbunyi:

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”

Mahar pernikahan memang wajib, tapi bukan berarti mahar harus selalu disebutkan dalam akad. Mahar yang tidak diucapkan dalam akad tidak lantas menjadi sebab batalnya atau tidak sahnya suatu pernikahan. Ustaz Rosyid Abu Rosyidah, M.Ag, dalam laman Universitas Islam Indonesia, menyebutkan ada dua macam mahar dilihat dari sisi penyebutan. 

Yang pertama adalah mahar yang disebutkan dengan jelas dan detail ketika akad nikah, dan yang kedua adalah mahar yang tidak disebutkan dalam akad nikah. Menurutnya, mahar yang wajib adalah penyerahannya, sedangkan penyebutannya tidak wajib. Tidak disebutkannya mahar bukan berarti mahar tersebut tidak diberikan. Disebutkan atau tidak, mahar tetap jadi kewajiban pertama suami kepada istri. Namun meski begitu Ustaz Rosyid mengatakan bahwa mahar lebih baik disampaikan ketika akad.

Hukum Meminta Kembali Mahar Pernikahan Setelah Bercerai


Jika mahar sudah diberikan namun suami istri itu bercerai, haram hukumnya bagi sang suami meminta kembali mahar pernikahan tersebut. Hal ini sesuai firman Allah dalam Q.S An-Nisa ayat 20 dan 21, berdasarkan penjelasan Zadul Masir, tafsir ayat tersebut menyebut bahwa perbuatan mengambil kembali mahar yang sudah diberikan termasuk dalam perbuatan dosa dan termasuk tindakan buhtan. Sebagian ahli tafsir menjelaskan, makna buhtan adalah kezaliman.

Syarat Mahar Pernikahan


Mahar merupakan salah satu bentuk atau simbol kesucian dalam pernikahan. Maka dari itu, dalam menentukan mahar tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus memenuhi sejumlah syarat. Berikut ini syarat mahar pernikahan melansir dari Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman Al-Jaziri:

1. Mahar pernikahan termasuk harta yang bernilai

Sesuatu yang tidak bernilai dianggap tidak sah menjadi mahar. Mahar haruslah bernilai walau sedikit, walau sebetulnya tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, tapi jika oleh masyarakat umum dianggap tidak berharga, sesuatu itu tidak bisa dijadikan mahar pernikahan.

2. Berupa barang yang suci dan membawa manfaat

Mahar pernikahan juga harus berupa sesuatu yang suci dan bisa bermanfaat. Benda atau sesuatu yang dianggap haram dalam agama Islam, misalnya khamr, babi, atau yang lainnya tidak boleh dijadikan mahar karena hukumnya tidak sah.

3. Mahar pernikahan bukan barang ghasab

Barang ghasab artinya barang milik orang lain yang diambil tanpa sepengetahuan pemiliknya dan dilakukan secara terang-terangan. Termasuk ghasab bila barang tersebut diambil untuk diperoleh manfaatnya meski ada niatan untuk mengembalikannya kelak. Mahar dari hasil ghasab memang tidak sah, namun jika sudah dilakukan akad, pernikahan tersebut tetap sah.

4. Bukan barang yang tidak jelas kondisinya

Barang yang digunakan untuk mahar pernikahan harus jelas keadaannya, baik wujudnya atau kadar atau jumlahnya. Bila barang tersebut tidak jelas kondisinya atau tidak bisa disebutkan jenisnya, maka barang itu tidak boleh dijadikan mahar pernikahan.

Namun, syarat utama dari mahar pernikahan sebenarnya adalah mahar yang tidak memberatkan. Mahar pernikahan ditentukan oleh calon mempelai wanita atau oleh orang lain yang diperkenankan mempelai wanita itu sendiri. Dalam Islam dikenal hadis yang berbunyi "Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya." (HR. Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi). Hal ini menyiratkan bahwa wanita yang berhak meminta mahar, sebaiknya meminta mahar pernikahan yang meringankan dan tidak memberatkan calon suaminya. Tapi kalau memang suami ingin memberikan mahar pernikahan yang istimewa atau mahal dengan catatan ia mampu, maka itu juga tidak dilarang.

Jenis-jenis Mahar Pernikahan


Sebagian ulama fiqih sepakat bahwa mahar pernikahan bisa dibagi jadi dua jenis:

1. Mahar musamma

Mahar musamma adalah mahar yang sudah jelas dan ditetapkan dalam akad, artinya nilai dan kadarnya sudah jadi kesepakatan antara mempelai pria dan wanita. Misalnya, maskawin berupa emas sebesar 5 gram, 10 gram, atau uang tunai senilai 500 ribu rupiah, dan seterusnya.

2. Mahar mitsil

Mahar mitsil adalah mahar yang jumlah dan bentuknya ditentukan keluarga pihak istri dan disesuaikan dengan yang biasa diterima di kalangan keluarga mereka. Mahar ini biasanya tidak ditentukan sebelumnya dalam akad nikah. Mahar mitsil juga bisa disamakan dengan mahar perempuan-perempuan lain yang setara dengannya dari segi kedudukan sosial di masyarakat.

Contoh Mahar yang Baik dalam Islam


Saat ini mungkin lebih banyak orang mengetahui bahwa mahar haruslah dalam bentuk hal-hal yang berkaitan dengan duniawi, seperti contohnya emas, uang, perhiasan, dan lain sebagainya. Tapi sebenarnya mahar pernikahan juga bisa dengan hal-hal baik yang berkaitan dengan akhirat, seperti keimanan, ilmu, atau hafalan Al Quran. Walau secara umum tidak ada larangan tentang bentuk mahar, tapi sebaiknya mahar yang diberikan harus yang bisa memberi manfaat. Berikut ini beberapa jenis mahar pernikahan yang boleh diberikan:

1. Harta atau barang yang memiliki nominal

Sebagian besar ulama menyatakan bahwa tidak ada batas minimal dan maksimal mahar pernikahan. Semua didasarkan pada kemampuan si calon suami serta keridaan dari calon istri. Dalam konteks Indonesia, harta atau barang yang sering dijadikan mahar pernikahan adalah uang tunai, emas, dan perhiasan. Semua benda itu harus memiliki nominal yang jelas.

2. Dinar dan dirham

Selain uang tunai berbentuk rupiah, mahar pernikahan juga bisa diberikan dalam bentuk dinar atau dirham. Dinar dan dirham merupakan alat tukar yang sudah digunakan sejak zaman Nabi Muhammad dan masih diakui di beberapa negara. Indonesia memang tidak termasuk negara yang mengakuinya sebagai alat tukar, namun meski begitu, alat tukar ini bisa dijadikan mahar pernikahan.

Dinar sendiri merupakan mata uang yang berbentuk keping emas seberat 4,2 gram. Pada zaman Rasulullah, 1 dinar setara dengan 10 dirham, atau patokannya sama dengan 1 ekor kambing. Sedangkan dirham adalah mata uang berbentuk keping perak seberat 2,975 gram. Rasulullah termasuk orang yang menggunakan dirham sebagai mahar pernikahan saat menikahi istri-istrinya. Dalam sebuah hadis dari Imam Muslim, Abu Salamah bin Abdirrahman bertanya kepada Aisyah radhiallahu anha mengenai jumlah maharnya. Lalu Aisyah pun menjawab jumlahnya 500 dirham.

3. Alat salat atau perangkat ibadah

Di Indonesia, mahar pernikahan berupa seperangkat alat salat juga jamak dijumpai. Biasanya seperangkat alat salat ini berupa mukenah, sajadah, tasbih, dan Al Quran. Karena Islam tidak menetapkan batasan minimal atau maksimal dari mahar pernikahan, memberikan seperangkat alat salat hukumnya tidak mengapa.

4. Hafalan Al Quran

Mungkin masih banyak yang belum mengetahui bahwa hafalan Al Quran juga bisa menjadi mahar pernikahan. Dari Sahal bin Sa’ad, seperti dikutip dari laman Umma, Nabi Muhammad pernah didatangi seorang wanita yang menawarkan diri untuk dinikahinya. Lalu ada lelaki lain yang berdiri di dekat wanita tersebut dan berkata pada Rasulullah “Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya”. 

Kemudian Rasul bertanya “Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?”, yang ternyata lelaki itu hanya memiliki sebuah sarung. Tapi Rasul meminta lelaki itu untuk mencari sesuatu yang lain karena jika sarungnya dijadikan mahar, ia jadi tidak mempunyai sarung lagi. Namun, lelaki itu tidak mendapatkan sesuatu yang lain. Lalu Rasul berkata lagi “Apakah kamu menghafal Al Quran?", ia menjawab, "Ya, surat ini dan itu,” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi, "Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Quranmu.” (HR Bukhari Muslim).

5. Sesuatu yang manfaatnya akan kembali pada istri

Memberikan mahar pernikahan dalam bentuk jasa juga diperbolehkan, seperti misalnya jasa mengajarkan Al Quran. Dalam beberapa riwayat sahih, disebutkan bahwa Rasul berkata kepada pemuda yang hanya memiliki sebuah sarung tadi, “Ajarilah dia Al Quran." Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat. 

Tapi jika menetapkan mahar berupa pengajaran Al-Quran, maka harus benar-benar dilakukan dan ditetapkan batasannya, misalnya bentuk pengajaran bagaimana, kurikulumnya seperti apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab rujukan apa, dan seterusnya. Dan jika tidak diamalkan bisa membuat mahar pernikahan tersebut batal.

Selain pengajaran Al-Quran, sesuatu yang juga bisa membawa manfaat untuk sang istri adalah keislaman suaminya. Dari Anas menyebutkan bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata, "Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. 

Tapi kalau kamu masuk Islam, keIslamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya." Maka jadilah keIslaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu (HR Nasa'i 6/ 114).

Itulah penjelasan tentang mahar pernikahan dalam Islam. Intinya, mahar tidak selalu berarti mahal. Justru mahar yang ringan akan membawa keberkahan dalam pernikahan. Bila laki-laki terlalu miskin namun ingin menikah atas dasar menghindari zina, maka Islam membolehkan ia memberi mahar dalam bentuk apapun yang nilainya serendah mungkin, seperti misalnya sebutir kurma, cincin dari besi, atau yang lainnya, yang penting pihak wanita rida atas mahar pernikahan yang diterima.

Ada satu kisah menarik di zaman Rasulullah, yaitu ketika seorang laki-laki yang sangat miskin mendatangi Rasul dan mengatakan ingin menikahi seorang wanita. Padahal ia tidak punya harta apapun, selain sepasang sandal. Wanita yang ingin dinikahi pemuda itu ditanya oleh Rasulullah “Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sandal ini?” Dia pun menjawab, “Rela”. Maka Rasul pun membolehkannya.

Editor: Dwi Ratih