Keluarga

Waspadai 7 Tanda Keluarga Toxic yang Sering Tidak Disadari

 Waspadai 7 Tanda Keluarga Toxic yang Sering Tidak Disadari

Sebagai tempat bertumbuh dan bermula dalam menjalani kehidupan, sudah semestinya keluarga menjadi sumber kebahagiaan dan tempat berlindung yang aman untuk mencari kenyamanan. Akan tetapi, banyak terjadi dalam masyarakat, keluarga justru menjadi sumber trauma dan rasa takut pada anggota keluarga di dalamnya. Kondisi keluarga yang seperti inilah yang disebut sebagai keluarga toxic.

Memiliki keluarga toxic (toxic family) seringkali tidak disadari oleh anggota keluarga. Biasanya, hal ini disebabkan oleh perilaku toxic yang terus-menerus dilakukan dan dianggap lumrah. Padahal, perilaku keluarga toxic sangat berbahaya apabila dibiarkan berlarut-larut.

Tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan mental, tapi juga bagi kesehatan fisik anak, pasangan, maupun anggota keluarga lainnya. Meskipun pada akhirnya sadar bahwa kita terjebak dalam toxic family, menghadapi kondisi itu ternyata tidak mudah.

Nah, untuk mengetahui apakah kita memiliki keluarga toxic, berikut beberapa tanda yang menunjukkan ciri-ciri hubungan tidak sehat dalam keluarga atau toxic family:

  1. Terlalu Sering Mengkritik dengan Keras

    Menurut Shannon Thomas, seorang terapis trauma, dalam artikel di Oprah Magazine mengatakan bahwa orangtua yang toxic biasanya hampir tidak pernah menunjukkan empati pada anak-anak mereka.

    Dalam keluarga toxic, mereka justru menggempur anak maupun anggota keluarga lainnya dengan komentar yang terdengar tidak menyenangkan maupun kritik yang keras terhadap penampilan, perbedaan pola asuh, hingga persoalan karier dan hubungan rumah tangga.

    Kritik atau komentar ini biasanya muncul karena mereka menganggap sasarannya tidak memenuhi standar atau ekspektasi mereka yang sebenarnya tidak realistis. Meski pelaku toxic berdalih mereka hanya menggoda atau bercanda, kritik dan komentar tersebut bisa saja dengan sengaja dilontarkan dan membuat target merasa tersudutkan.

  2. Jarang Mengapresiasi dan Tidak Menghargai Privasi

    Tanda lain yang terlihat dalam keluarga toxic adalah kurangnya apresiasi terhadap anggota keluarga. Sebaik apa pun usaha yang dilakukan, berharap akan mendapatkan pujian termasuk hal yang hampir mustahil didapat dalam toxic family. Bagi para pelaku toxic, hasil akhir yang sesuai standar mereka adalah satu-satunya tolok ukur, tidak peduli seberapa berat proses yang dijalani penuh perjuangan oleh anggota keluarganya untuk mencapai sesuatu.

  3. Membuat Anggota Keluarga Merasa Insecure

    Karena kurangnya empati dan apresiasi, anggota keluarga toxic biasanya akan merasa kurang kasih sayang dan cenderung tidak percaya diri. Kurangnya rasa percaya diri ini bisa mengakibatkan insecurity yang mengganggu kehidupan sosial maupun merugikan diri sendiri. Tidak adanya dukungan, bahkan pengalaman direndahkan dan diremehkan oleh anggota keluarga toxic, bisa membuat korban selalu takut dan ragu saat harus mengambil keputusan apa pun dalam hidupnya.

  4. Kebutuhan Dasar Tidak Terpenuhi

    Salah satu tanda keluarga toxic adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anggota keluarga. Kebutuhan dasar tidak hanya terbatas pada kebutuhan pangan, tetapi juga sandang dan papan. Ini dikarenakan pelaku toxic cenderung tidak terlalu memedulikan anggota keluarganya.

    Selain sandang, pangan, dan papan, ada pula kebutuhan dasar yang tak kalah penting. Yaitu hak untuk mendapatkan rasa aman dan terhindar dari ancaman. Akan sama menyeramkan jadinya jika kebutuhan pokok terpenuhi, tetapi tinggal bersama orang yang membuat kita selalu merasa terancam, takut, diabaikan, dan tidak dihargai.

  5. Terlalu Mengatur dan Manipulatif

    Obsesi pelaku toxic untuk selalu mengatur kehidupan korbannya membuat hilangnya batas-batas privasi yang semestinya menjadi hak masing-masing individu. Aksi memanipulasi situasi pun tidak segan dilakukan agar pelaku toxic ini bisa mengendalikan korban dalam semua aktivitas dan keputusannya. Misal dalam hal memilih mata pelajaran, karier, pasangan, hingga soal bagaimana mengasuh anak agar sama persis dengan kemauannya.

    Malangnya, terkadang korban yang terjebak dalam keluarga toxic ini tidak menyadari bahwa hidupnya telah dimanipulasi dan diatur sedemikian rupa agar selalu mengikuti keinginan pelaku.

  6. Narsistik dan Tidak Mau Mendengarkan Orang Lain

    Kecenderungan menjadi narsistik sangat mungkin dimiliki oleh pelaku dalam toxic family. Biasanya, ini ditunjukkan dengan keengganan mendengarkan pendapat atau masukan dari anggota keluarga maupun orang lain, dan lebih banyak menyalahkan orang lain atas kondisi yang tidak sesuai keinginannya.

    Inilah yang membuat pelaku dalam keluarga toxic menyadari bahwa perilakunya tidak sehat dan merugikan anggota keluarganya. Mengakui kesalahan sangat sulit dilakukan oleh mereka karena merasa selalu benar dan menjaga ego serta gengsi. 

  7. Adanya Kekerasan Fisik dan Verbal

    Tidak menutup kemungkinan, kita tidak sadar bahwa sudah melakukan perilaku toxic bagi anak maupun pasangan seperti tanda-tanda di atas. Sebagai orangtua atau pasangan, mungkin secara tak kita terlalu mengatur anak, kurang menghargai dan mendengarkan pendapat anak maupun pasangan, mengkritik kesalahan pasangan dengan berlebihan, bahkan melakukan KDRT berupa kekerasan fisik dan verbal seperti memukul dan membentak.

    Seseorang yang pernah mengalami trauma masa kecil atau hubungan yang tidak sehat dengan keluarganya, secara sadar maupun tidak, akan berpotensi mengulang pola hubungan yang sama pada orang lain ketika dewasa atau saat membina rumah tangga. Ini dikarenakan perilaku tersebut sudah meresap ke dalam kebiasaan hidupnya.

Mengingat dampak buruk yang bisa terjadi pada anggota keluarga yang terjebak dalam toxic family, kondisi ini harus segera diatasi. Jika tidak, maka hubungan yang tidak sehat ini bisa mengancam keharmonisan keluarga, anak-anak akan mengalami trauma yang merusak mental dan perilakunya, pasangan jadi stres dan rentan menimbulkan perselisihan yang berakhir dengan kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan gangguan kesehatan, termasuk gangguan tumbuh-kembang anak dan disfungsi sosial.

Cara Menghadapi Keluarga Toxic:


  1. Sebisa Mungkin Hindari Sumber Masalah dengan Pelaku Toxic

    Hindari terlibat dalam permasalahan yang bukan urusan kita. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya. Sebisa mungkin kita tidak melibatkan pelaku toxic mencampuri urusan kita yang tidak ada kaitan dengannya.

    Melansir dari situs healthline, beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghindari keterlibatan dengan keluarga toxic:

    • Tidak ikut campur saat kondisi sedang carut-marut;

    • hindari membicarakan topik yang memancing emosi;

    • bicara dengan jelas dan seperlunya; dan

    • segera hentikan percakapan yang memanas atau jauhi orang yang memancing masalah.

  2. Tidak Semua Hal Harus Diceritakan

    Putuskan mana yang boleh diceritakan dan mana yang harus tetap menjadi rahasia pribadi. Ini harus dilakukan agar orang lain tahu mana urusan yang boleh dicampuri, mana yang merupakan privasi. Hal yang sama juga berlaku untuk kita dalam memandang urusan orang lain.

  3. Katakan Tidak dengan Tegas

    Terkadang memang tidak mudah untuk mengatakan “tidak” pada keluarga, apalagi dengan adanya kekhawatiran bahwa suatu saat kita juga akan ditolak oleh mereka. Namun, kita tetap harus belajar melakukan hal ini agar kita bisa memutus rantai keluarga toxic.

    Sematkan dalam pikiran bahwa kita tidak harus melakukan apa yang diminta oleh pelaku, apalagi jika hal tersebut tidak kita sukai. Kesampingkan risiko yang dikhawatirkan dan mulailah menjalani hidup dengan mandiri, terbebas dari tekanan keluarga toxic.

  4. Ubah Ekspektasi Menjadi Adaptasi

    Inilah saatnya mengubah strategi untuk menghadapi anggota keluarga toxic. Untuk menghadapinya, jangan lagi berekspektasi pelaku akan meminta maaf dan menyadari kesalahannya. Tetapi kitalah yang harus beradaptasi dengan perilaku anggota keluarga toxic tersebut. Boleh saja mengingatkan si pelaku bahwa yang dilakukan tersebut keliru atau membuat tidak nyaman, tetapi akan lebih bijak jika kita bisa membaca situasi dan “accept” kalau perilaku si pelaku adalah di luar kendali kita.

    Dan yakinlah bahwa selalu ada alasan, entah karena perlakuan keluarga di masa lalunya atau faktor lain, yang membuat pelaku menjadi toxic. Harapannya, kita tidak perlu merasa kecewa atas hal yang tidak semestinya menjadi beban pikiran kita.

  5. Jangan Ragu Konsultasi dengan Tenaga Profesional

    Bila Ibu menemukan kesulitan dalam menghadapi keluarga toxic, tidak ada salahnya berkonsultasi dengan psikolog atau tenaga profesional dalam bidang yang relevan untuk mendapatkan pandangan baru yang lebih positif. 

Lantas, Bagaimana Menjadi Orangtua dan Pasangan yang Tidak Toxic pada Keluarga?

Ternyata, terkadang sebagai orangtua dan pasangan, kita tidak menyadari kalau sedang melakukan perilaku toxic pada anak dan pasangan. Nah, apakah Ibu merasa pernah ada salah satu atau lebih dari tanda-tanda keluarga toxic seperti yang telah disebutkan di atas?

Jika ya, segeralah menerapkan cara untuk menghadapi dan memutus rantai toxic seperti pada tips di atas. Dan jika tidak, Ibu bisa bernapas lega, tapi teruslah berupaya menjalin relasi yang sehat dengan keluarga.

Sebagai pengingat, Ibu bisa coba beberapa tips berikut agar bisa menjadi orangtua dan pasangan yang tidak toxic pada anak dan pasangan:

  1. Introspeksi diri dengan memahami kebutuhan diri, kelebihan, dan kekurangan. Sehingga bisa memperbaiki diri terlebih dahulu agar dapat memandang hal di luar diri dengan lebih positif.

  2. Putus rantai toxic family dengan cara menggali permasalahan dan trauma masa lalu yang belum tuntas, lalu berdamailah dengan itu. Konsultasikan dengan psikolog atau tenaga profesional bila diperlukan.

  3. Temukan lingkungan pertemanan yang sehat, mendukung perubahan diri lebih baik, dan bisa memberikan wawasan seputar pola asuh yang sehat dan relasi harmonis dengan pasangan agar bisa menjadi orangtua dan pasangan yang tidak toxic.

  4. Mulailah sekarang juga. Yakinkan diri sendiri bahwa kita bisa memutus rantai toxic dan membangun relasi keluarga yang harmonis.

(Dwi Ratih)