Keluarga

Hal yang Menjadi Ketakutan Ayah Saat Menjalani Peran Sebagai Orangtua

Hal yang Menjadi Ketakutan Ayah Saat Menjalani Peran Sebagai Orangtua

Bunda, mulai dari saat suami mengetahui kehamilan Anda, ia pasti berusaha berperan aktif di masa kehamilan dan tentunya saat proses persalinan nantinya. Sama seperti Bunda yang sering merasa cemas saat hamil memikirkan hari-hari yang akan Anda hadapi selama hamil dan pasca melahirkan, suami juga merasakan hal itu. Bedanya, suami Anda mungkin merasa janggal untuk berbagi ketakutan yang ia rasakan. Dan itu wajar saja.

Mengatasi rasa cemas menjadi bagian dari proses “menjadi seorang Ayah”. Tapi banyak calon Ayah yang sulit menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai orangtua. Untuk memahami hal ini lebih dalam, berikut ini beberapa ketakutan yang biasanya dirasakan para calon Ayah. Simak yuk agar Bunda juga bisa lebih mengerti perasaan suami.

  1. Bagaimana bila terjadi komplikasi kelahiran? Bagaimana bila ada masalah kesehatan pada si bayi?

    Sangat wajar untuk punya banyak pertanyaan ketika satu hal besar seperti memiliki bayi akan segera terjadi. Ini cara otak mengatasi situasi yang tidak menentu.

    Untuk mengatasi ketakutan Ayah, bicarakan pada bidan atau dokter tentang kekhawatiran ini. Saran dari dokter atau bidan pasti bisa membantu Ayah merasa tenang. Lalu coba atasi ketika pikiran ini muncul, dan fokuslah pada hal yang bisa Anda kontrol seperti merencanakan persalinan, bagaimana mendukung pasangan di hari kelahiran, dan melakukan tugas yang dibutuhkan.

    Lebih dari 80 persen Ayah merasa khawatir tidak bisa membantu ketika istrinya menjalani persalinan. Mereka khawatir akan jatuh pingsan, muntah atau mual saat si kecil lahir. Ketakutan seperti itu bisa jadi berasal dari apa yang ditonton atau budaya yang berkembang. Jika Ayah benar-benar tidak tahan dengan darah, sebaiknya keluar dari ruang persalinan. Jangan abaikan ketakutan Anda, atasi dan coba curhat dengan Ayah lain yang telah merasakannya.

  2. Apakah saya siap menjadi Ayah? Apakah saya siap untuk mengubah gaya hidup? Kehilangan kebebasan dan kestabilan sebagai pasangan?

    Banyak calon Ayah takut memiliki bayi karena khawatir hal ini akan mempengaruhi kehidupan sosialnya. Mereka menganggap kalau menjadi orangtua adalah tugas yang menyita waktu. Mereka takut tidak lagi punya waktu untuk keluar bersama teman atau menikmati kehidupan sosial.

    Satu hal yang perlu diketahui, hanya sedikit Ayah yang merasa siap menjadi orang tua. Jadi kalau Ayah merasakan kekhawatiran ini, sangatlah wajar. Sebuah penelitian menunjukkan hampir 80 persen Ayah merasa membutuhkan dukungan yang stabil dan tanpa emosi. Pria merasa tertekan dengan semua tanggung jawab ini.

    Bila ketakutan Anda berlebihan, coba cari bantuan dari orang di sekitar Anda. Atau bila ini terjadi lebih dari dua minggu, cari bantuan profesional.

  3. Saya tidak bisa mengganti popok dan menenangkan bayi, bagaimana saya bisa bertahan tanpa tidur?

    Tentu sebagian besar Ayah meragukan dirinya, sangat sulit untuk merasa percaya diri tentang sesuatu yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya. Tapi menjadi orangtua adalah skill yang Anda pelajari sambil menjalaninya.

    Jangan harap bisa menjadi seorang ahli sejak hari pertama kelahiran bayi. Tanamkan mindset “Saya belajar melakukan tugas sebagai orangtua dan saya akan jadi semakin baik.” Ini akan membantu Anda mengalahkan ketakutan ketika melakukan kesalahan.

  4. Bagaimana saya bisa merawat bayi sedangkan saya tidak bisa mengurus diri sendiri?

    Ini hal yang serius. Meragukan diri sendiri. Yang paling penting adalah menjalin kedekatan dengan bayi dan pasangan. Bayi tidak peduli berapa banyak uang yang Anda punya di bank atau apa pekerjaan Anda. Di pikiran terdalamnya, calon Ayah sering merasa takut mereka tidak bisa menjadi Ayah yang baik dan tidak bisa menjaga stabilitas finansial bagi si anak. Turunkan ekspektasi Anda dan jadilah Ayah yang “cukup baik” saja karena itu sudah lebih dari cukup.

  5. Kecemasan tentang memberikan perlindungan pada keluarga

    Ketakutan terbesar yang dihadapi pria adalah “mampukah saya melindungi dan menjaga keluarga saya?” Ketika anak pertama lahir, terjadi perubahan pengeluaran rumah tangga, yang tadinya hanya untuk dua orang, kini menjadi untuk tiga orang. Ini menjadi beban yang berat terutama di zaman sekarang. Ayah harus kuat karena ia menjadi orang yang diandalkan. Ia harus memberi dukungan tidak hanya secara finansial tapi juga emosional. Ia akan melalui pergantian emosi yang dramatis. Selain itu, para calon Ayah juga merasa takut apakah ia bisa menggendong bayi dengan benar, mengganti popok dengan tepat, serta memastikan keamanan bayi. Semua rasa cemas ini normal tapi tidak perlu didramatisir.

  6. Tangisan bayi

    Ayah baru pasti mengalami kurang tidur. Tapi yang satu ini mungkin jadi ketakutan Ayah yang terkesan lucu. Ayah sering merasa takut mendengar suara bayinya menangis. Ini karena mereka tidak yakin bisa membantu menenangkan anaknya sendiri. Ini bisa jadi tekanan besar bagi Ayah baru. Terlebih melihat Bunda yang secara alami memiliki ikatan emosional dengan bayi yang terbentuk sejak hamil.

    Para Ayah baru belum memiliki ikatan ini. Tentu mereka mencintai bayinya, hanya saja mereka tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan.

  7. Anak perempuan

    Dibanding ibu, Ayah akan merasa lebih khawatir tentang anak perempuannya. Meski kedua orangtua sama-sama merasa cemas tentang putri kecil yang tumbuh dan menghadapi tantangan unik di dunianya, Ayah merasakan kecemasan yang lebih intens.

    Mengapa ini terjadi? Ada dua hal yang jadi penyebabnya. Pertama, ikatan Ayah dan anak perempuannya sangat spesial.

    Ayah dan anak perempuannya punya kemampuan untuk saling melindungi dan mengasihi di cara yang  tidak biasa. Jadi sudah seperti sebuah program kalau Ayah manapun yang punya anak perempuan akan kebingungan melihat anak tumbuh di depan matanya. Meski begitu, Ayah juga cemas tentang anak laki-lakinya.

    Alasan kedua yang membuat Ayah lebih cemas tentang anak perempuannya dibanding ibu, karena ibu sudah pernah mengalami ini. Ibu punya pengalaman untuk memahami anak perempuannya. Sedang Ayah tidak. Ayah tidak tahu seperti apa rasanya menjadi anak perempuan. Dan ini bisa terasa menakutkan bagi pria ketika ia sangat khawatir tentang putri kecilnya.

  8. Kecemasan tidak bisa seimbang antara pekerjaan dan keluarga

    Keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi para Ayah. Tidak ada pengganti untuk “quality time” bersama keluarga. Calon Ayah takut kalau mereka tidak bisa menghabiskan cukup waktu di rumah bersama keluarga. Mereka juga khawatir tidak bisa mengatur pekerjaan secara efisien sehingga menjadi terganggu dan karena tekanan pekerjaan mereka tidak bisa hadir dalam momen istimewa di kehidupan anak.

  9. Kecemasan tentang keintiman dengan pasangan 

    Memiliki bayi tentu akan membawa perubahan dalam kehidupan Ayah dan ini bisa dilihat selama masa kehamilan pasangan. Ketika bayi baru lahir dan sangat menuntut waktu dan perhatian, pasangan mungkin tidak ingin berhubungan intim dengan Anda karena sering kali merasa kelelahan. Tapi semua ini akan berubah dan para Ayah perlu belajar sabar.

  10. Kecemasan tentang kematian

    Ketika menjadi bagian dari kehidupan yang baru, Anda tidak bisa menghindari pemikiran tentang akhir dari kehidupan Anda sendiri. Pemikiran tentang kematian Anda kian besar. Para Ayah merasa bukan lagi menjadi generasi paling muda, bayi sebagai generasi penerusnya telah lahir, dan ia akan mati sebelum si anak mati. Bagi para pria yang berpikir mereka tak terkalahkan, ini menjadi perubahan yang cukup besar.

  11. Kecemasan tentang kesehatan pasangan dan anak

    Melahirkan anak merupakan pengalaman yang menegangkan. Hal menakutkan bisa terjadi pada orang yang paling Anda cintai di dunia. Anda bisa kehilangan si bayi atau Anda bisa kehilangan pasangan dan harus mengurus bayi seorang diri. Penyebab utama kematian wanita di bawah usia 50 tahun dulunya adalah melahirkan anak. Kini jika kelahiran berjalan lancar dan bayi dalam kondisi baik, kita masih bisa mendapati para Ayah yang diam-diam menghitung jumlah jari bayinya.

  12. Kecemasan tentang hubungan dengan pasangan

    Pria sering kali merasa takut pasangan akan mencintai si bayi lebih dari siapapun, termasuk mereka. Memang benar memiliki bayi bisa menimbulkan ketegangan hubungan dengan pasangan. Juga benar kalau Ayah bisa merasa diabaikan, terutama di beberapa minggu awal setelah kelahiran. Anak biasanya lebih dekat pada ibu untuk mendapat rasa aman, nyaman, dan kehangatan. Anak mencari Ayah untuk mendapat kebebasan. Bagi para Ayah, perjelas bahwa si bayi adalah anaknya juga. Ayah juga perlu menghabiskan waktu hanya berdua bersama bayi dan meminta ibu untuk menjaga jarak.

  13. Bisakah lebih baik dari Ayah sendiri? 

    Ayah memiliki peran utama dalam kehidupan kita. Cinta dan perhatian mereka kunci dalam pertumbuhan anak. Untungnya banyak pria tumbuh bersama Ayah yang hebat. Ayah bermain lempar tangkap. Ayah bermain tenda-tendaan bersama anak. Ayah juga memeluk buah hatinya saat menangis di tengah malam.

    Meski si Ayah baik atau tidak, kebanyakan pria yang menjadi Ayah baru berpikir tentang bagaimana supaya bisa menjadi lebih baik dari Ayah mereka. Tujuannya untuk memperoleh hidup yang lebih baik. Para pria sebisa mungkin ingin jadi Ayah terbaik jadi melihat Ayahnya sendiri sebagai contoh. Apa yang salah? Apa yang berbeda pada Ayah saya? Intinya bukan untuk menghakimi Ayah sendiri, tapi untuk mengambil pengalaman mereka dan menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk putra-putrinya.

Tips mengatasi ketakutan Ayah 

Menjadi Ayah baru bisa membuat Anda senang sekaligus khawatir. Tapi Anda bisa lakukan beberapa hal untuk menyiapkan emosi dan menghadapi tantangan menjadi orangtua agar tidak terlalu menimbulkan stres.

  1. Kenali sumber stres

    Tak ada satupun orang yang mengatakan kalau mengurus bayi baru lahir adalah tugas mudah. Sebagai Ayah baru, beberapa hal berikut bisa jadi sumber stres Anda:

    • Tidak bisa mengambil cuti. Bila Anda tidak bisa meluangkan waktu ketika bayi lahir, akan sulit untuk mengatur jadwal kerja dan punya waktu bersama si kecil yang baru lahir.

    • Bayi baru lahir perlu perawatan yang konstan. Selain menyusui, mengganti popok, dan menenangkan tangisan bayi, orangtua juga perlu mengurus tugas rumah dan melakukan aktivitas lain. Ini bisa menimbulkan stres bagi orangtua baru yang terbiasa dengan gaya hidup mandiri.

    • Kurang tidur. Punya bayi baru lahir berarti Anda tidak bisa menikmati tidur malam yang cukup. Kurang tidur bisa dengan cepat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental orangtua baru.

    • Kondisi keuangan. Biaya melahirkan, popok, pakaian, dan keperluan lainnya dengan cepat meningkat. Kondisi keuangan semakin sulit bila Anda pindah ke rumah yang lebih besar atau membayar asisten rumah tangga untuk membantu merawat bayi saat Anda bekerja.

    • Penelitian menunjukkan sebagian Ayah, seperti juga ibu, mengalami depresi saat anak lahir.


  2. Melibatkan diri sebelum bayi lahir

    Bila pasangan masih hamil, kurangi ketakutan Ayah dengan secara aktif mempersiapkan diri selama Ibu hamil. Sebagai Ayah baru, Anda bisa:

    • Ikut terlibat. Selama hamil, pria tidak memiliki pengingat yang setiap hari dirasakan kalau akan menjadi orangtua seperti ibu. Meletakkan tangan di perut ibu untuk merasakan tendangan bayi, menemani saat periksa kandungan, dan berbicara tentang kehamilan dengan orang lain bisa membantu Anda merasa terlibat. Anda juga bisa bicara, membaca, atau bernyanyi di perut ibu agar bayi mengenali suara Anda setelah lahir nanti.

    • Mengikuti kelas kehamilan. Kelas kehamilan bisa membantu Anda dan pasangan mengetahui apa yang akan terjadi selama persalinan dan kelahiran, serta bagaimana cara merawat bayi baru lahir.

    • Konsultasi dengan perencana keuangan. Berkonsultasi dengan perencana keuangan bisa membantu Anda menentukan cara untuk mengatasi biaya memiliki anak.

    • Bangun dukungan sosial. Selama hamil, pasangan bisa mendapat dukungan dari dokter, orang yang disayang, dan teman. Para calon Ayah juga perlu mendapat dukungan. Cari teman atau kerabat yang bisa memberi Anda saran dan dorongan ketika Anda bersiap menjadi Ayah.

    • Bicara pada pasangan. Bicaralah tentang bagaimana kehidupan keseharian dan hubungan Anda berdua akan berubah, untuk lebih baik atau lebih buruk, setelah bayi lahir.

    • Pikirkan Ayah macam apa yang Anda inginkan. Pikirkan tentang Ayah Anda sendiri. Aspek hubungan apa yang mungkin ingin Anda tiru bersama anak sendiri dan mana yang Anda ingin berbeda dari Ayah Anda.


  3. Melibatkan diri setelah bayi lahir

    Setelah bayi lahir, cari cara untuk terlibat dalam keluarga yang baru. Sebagai Ayah baru, Anda bisa:

    • Menginap bersama istri di rumah sakit. Bila rumah sakit mengizinkan, Anda bisa menemani pasangan dan si kecil hingga waktunya pulang ke rumah.

    • Bergantian merawat bayi. Anda bisa bergantian mengganti popok. Bila pasangan menyusui, tawarkan ASIP menggunakan botol susu atau sendawakan bayi dan tidurkan setelah sesi menyusui.

    • Bermain bersama bayi. Pria biasanya berinteraksi bersama bayi dengan aktivitas yang lebih bising dan penuh semangat, sedangkan ibu lebih tenang. Kedua gaya permainan ini penting, dan melihat senyuman si kecil akan jadi reward tersendiri.

    • Kasih sayang untuk pasangan. Keintiman tidak terbatas pada hubungan seks. Pelukan, ciuman, dan mengusap bahu bisa membantu Anda tetap terhubung ketika pasangan di proses pemulihan dari melahirkan dan menyesuaikan dengan rutinitas yang baru. Terus bicara pada pasangan tentang perubahan yang Anda alami dan bagaimana Anda bisa saling support dalam merawat dan membesarkan bayi.

    • Cari bantuan. Bila Anda mengalami kesulitan mengatasi perubahan dalam hubungan atau Anda merasa mengalami depresi, bicara pada konselor atau spesialis kesehatan mental. Anda juga bisa bicara pada dokter bayi untuk mendapat referensi. Depresi yang tidak ditangani mempengaruhi seluruh keluarga.

Menjadi Ayah baru adalah pengalaman yang mengubah hidup. Dengan mengenali dan merencanakan tantangannya lebih dulu, Anda bisa menurunkan stres dan lebih banyak menikmati waktu bersama keluarga baru Anda.

(Ismawati)