Keluarga

6 Etika Bersosial Media Yang Harus Diperhatikan Orangtua!

6 Etika Bersosial Media Yang Harus Diperhatikan Orangtua!

Di era digital ini, orangtua milenial mendapatkan banyak manfaat untuk diri sendiri maupun keluarga dengan banyaknya platform media sosial. Informasi yang bisa diakses secara cepat dan mudah memungkinkan para orangtua milenial belajar lebih banyak hal untuk menunjang proses pengasuhan anak maupun memperbaiki hubungan dengan pasangan dan keluarga secara general.

Lebih spesifiknya, media sosial sendiri menjadi wadah untuk mengekspresikan performa diri, baik keberhasilan maupun berbagi pengalaman yang dirasa mungkin akan berguna bagi orang lain, serta membantu para orangtua dalam mendapatkan informasi seputar parenting.

Mulai dari kehamilan, mengasuh bayi baru lahir, MPASI dan tumbuh kembang anak, stimulasi, hingga soal kesehatan mental dan bagaimana berkomunikasi dengan anak mulai dari usia 0 hingga remaja. Semua informasi lengkap ini bahkan bisa diakses secara gratis dari berbagai sumber.

Akan tetapi, dari semua manfaat yang didapatkan, media sosial juga memiliki sisi negatif yang sering kali terlewat dan tanpa sadar ikut masuk bersama keuntungan-keuntungan yang didapat oleh Ibu. Misalnya, disinformasi dan hoaks, kecenderungan untuk ikut tren semata tanpa memikirkan esensi, memaksakan standar orang lain terhadap keluarga, mengkhianati value keluarga, memancing kejahatan dan kekerasan seksual, cyber bullying, bahkan bisa sampai menimbulkan stres.

Risiko inilah yang harus ditekan dari penggunaan sosial media. Dan tidak dapat dimungkiri bahwa media sosial bisa memengaruhi pola pengasuhan dalam keluarga. 

Seberapa Berpengaruh Sosial Media Terhadap Pola Asuh Orangtua?

Seiring semakin banyaknya netizen yang menjadi idola di media sosial, tantangan Ibu dan keluarga tentu juga semakin bertambah dalam bersosial media. Tidak bisa disangkal bahwa kehadiran selebgram, mamagram, influencer maupun sebutan lain untuk pengguna sosial media yang memiliki pengaruh besar terhadap tren dan membuat netizen lainnya berbondong-bondong mengikuti rekomendasi yang mereka berikan. Hal ini membuktikan bahwa media sosial mempunyai peran penting sebagai media bagi para penggunanya untuk membentuk citra diri dan bahkan menciptakan tren yang sangat mudah diikuti oleh pengikutnya (follower).

Misalnya, resep-resep masakan rumahan terbaru yang aman untuk keluarga, alat-alat rumah tangga, pilihan metode belajar dan sekolah untuk anak, pilihan mainan terbaik untuk menunjang stimulasi, hingga adanya berbagai pilihan komunitas untuk mewadahi minat dan ketertarikan orangtua pada bidang tertentu. Hampir semua hal yang direkomendasikan oleh para influencer di media sosial ini akan menjadi tren di saat itu. Tidak terkecuali soal pola asuh atau gaya parenting yang dianut oleh influencer tersebut.

Namun, hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh buruk yang secara tidak sadar atau tidak sengaja ikut membentuk pola pikir masyarakat secara umum dan gaya parenting dalam keluarga. Bila Ibu pernah mendengar di beberapa platform media sosial yang memberitakan tentang tren MPASI 4 bintang menu tunggal yang sering diperdebatkan, proses melahirkan dengan C-Section maupun pervaginam yang jadi ajang saling menyudutkan, hingga persoalan kelas-kelas sosial  orangtua dalam memilih sekolah terbaik untuk anak yang membuat netizen rentan merasa minder maupun percaya diri secara berlebihan, dan lain-lain.

Selain itu, banyak diberitakan juga kejahatan dan kekerasan seksual yang berawal dari media sosial seperti anak-anak yang menjadi mangsa para pedofil hingga cyber bullying.

Apa Saja Bentuk Etika Bersosial Media?

Sisi positif dan negatif di atas seperti paket komplit yang jadi kesatuan saat kita menggunakan media sosial. Akan tetapi, bukan berarti Ibu harus menghindari penggunaan media sosial mengingat berbagai manfaat positif yang bisa Ibu dapatkan seperti informasi yang selalu update dan pengalaman berharga yang bisa Ibu jadikan pelajaran dalam menerapkan gaya parenting tertentu.

Nah, untuk mengurangi dampak buruk penggunaan sosial adalah dengan menerapkan etika bersosial media. Yuk simak tipsnya berikut ini:

  1. Lakukan Kroscek Setiap Menemukan Informasi Baru

    Rentetan hoaks yang mudah disebarluaskan oleh akun-akun media sosial dengan jumlah pengikut yang mencapai jutaan bahkan milyar ini beberapa kali pernah terjadi. Meski dalam beberapa kasus hoaks ini disebarkan karena keteledoran pengguna media sosial yang tidak mengecek informasi tersebut, para pengikut yang sama-sama tidak melakukan pemeriksaan ulang atas informasi yang diterima ini sangat mudah terbawa arus dan tak jarang yang merasa tertipu dan salah kaprah.

    Disinformasi yang telanjur menyebar luas ini tak jarang menyebabkan kerugian. Misalnya, salah kaprah soal pemberian menu tunggal selama 14 hari awal MPASI yang seringkali menjadi perdebatan dan saling menghujat saat orang lain yang berbeda pendapat. Padahal, terkadang ada kondisi tertentu yang membuat orangtua lain harus menempuh cara berbeda dari orang kebanyakan.

    Kerugian yang dimaksud tidak hanya soal nutrisi yang didapat oleh anak, tapi juga menyebabkan perpecahan dan saling serang antara sesama Ibu.

    Oleh karena itu, etika bersosial media diperlukan dalam hal ini. Ibu sebaiknya melakukan kroscek ulang setiap kali mendapatkan informasi baru di media sosial. Jangan mudah percaya hanya karena yang memberi informasi adalah influencer dengan jutaan pengikut. Memeriksa ulang informasi tersebut bisa dengan berkonsultasi kepada ahlinya atau membaca referensi dari sumber-sumber terpercaya. Sehingga, Ibu tidak akan mudah terpengaruh dan terhindar dari perilaku penghakiman atas keputusan orang lain. 

  2. Bijak Memilih Circle yang Sehat

    Platform media sosial yang sangat beragam tentu menghadirkan netizen yang juga berasal dari latar belakang berbeda-beda. Banyak orangtua yang mampu memilih akun-akun apa yang sebaiknya diikuti sesuai bidang yang disukai, namun tidak sedikit yang masih bingung dalam memilih dan lantas berakhir dengan mengikuti akun apa saja yang sedang tren.

    Ini tentu juga bisa membuat Ibu bingung karena informasi yang tersedia sangat banyak bahkan berbeda-beda. Kebingungan yang ditimbulkan tentu merupakan tantangan tersendiri yang harus segera diatasi untuk mengurangi risiko disinformasi.

    Beberapa orangtua yang memiliki masalah cukup besar dalam pengasuhan anak maupun persoalan dengan diri sendiri dan pasangan, biasanya akan mudah terprovokasi dengan informasi-informasi terkait yang membuat khawatir. Misalnya, banyak orangtua yang mulai berhenti mengikuti bahkan memblokir akun-akun yang menampilkan resep MPASI rumahan karena merasa semua resep yang dibacanya tidak ada yang cocok dengan si kecil yang dalam fase GTM (Gerakan Tutup Mulut).

    Di lain situasi, tidak sedikit para Ibu yang merasa stres setelah melihat unggahan foto lemari pendingin yang dipenuhi dengan kantong ASIP dan menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa memberikan ASI untuk anaknya seperti orang lain yang dilihat pada platform media sosial.

    Salah satu etika bersosial media yang bisa Ibu terapkan untuk mencegah maupun mengatasi masalah ini adalah berusaha bijak memilih lingkungan yang sehat. Ibu perlu berusaha memilah mana akun influencer yang menyediakan informasi secara netral, mana yang sebaiknya dihindari karena berpotensi menimbulkan judgement. Fokus mencari solusi untuk permasalahan Ibu dan tidak perlu ragu untuk menghindari komunitas yang toksik, oversharing, hanya menambah beban pikiran.

  3. Terapkan Detox Digital

    Di tengah banjir informasi di media sosial, tentu tidak mudah bagi Ibu untuk memilahnya. Seperti yang dijelaskan dalam Greater Good Magazine, saat kita sudah merasa terlalu banyak hal yang menimbulkan kebingungan di media sosial, kita harus bertanya pada diri sendiri apakah ledakan informasi tersebut harus dihentikan secara keseluruhan atau memodifikasi lingkungan media sosial kita.

    Dalam hal menghentikan gelombang informasi yang terus mengalir, detox digital sebagai salah satu etika bersosial media bisa mulai Ibu terapkan. Ibu bisa melakukan detox digital secara rutin setiap hari dengan cara memilih mode sunyi untuk beberapa grup di WAG, tidak membuka akun media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya di waktu-waktu tertentu dalam beberapa jam.

  4. Berhenti Membanding-bandingkan Diri dengan Standar Orang Lain

    Etika bersosial media berikutnya adalah berhenti membanding-bandingan kondisi Ibu dan keluarga dengan standar orang lain. Setiap keluarga memiliki tantangan berbeda-beda dan cara mengatasinya pun tidak sama karena harus menyesuaikan dengan kondisi. Keluarga yang menggunakan gaya pengasuhan gentle parenting akan akan menyelesaikan masalah menggunakan cara yang berbeda dengan keluarga yang menerapkan gaya pengasuhan permisif atau otoritatif. Anak dengan kebutuhan khusus memerlukan perlakuan yang berbeda dengan anak lain pada umumnya.

    Membanding-bandingkan kondisi dan memaksakan standar hidup orang lain dengan keluarga sendiri atau lainnya hanya akan menimbulkan efek negatif seperti iri hati, minder, bahkan menyulut hujatan yang menyerang prinsip orang lain. Menjadikan pengalaman orang lain sebagai pelajaran hidup sah-sah saja, akan tetapi Ibu juga harus mempertimbangkan value keluarga sebelum memutuskan untuk mengikuti gaya hidup orang lain.

    Melansir dari laman verywell family, media sosial memang telah mengubah cara pandang dan pola asuh kita di era digital ini. Misalnya, beberapa orangtua membandingkan keberhasilan pengasuhan anak mereka dengan orang lain atau membual tentang semua pencapaian anaknya di media sosial. Sebagian orang yang melihat mungkin akan merasa termotivasi untuk mengupayakan keberhasilan yang sama, namun tidak sedikit yang mengaku iri, berkecil hati, dan merasa gagal dalam mengasuh anak karena tidak meraih pencapaian yang sama.

    Padahal, tidak ada yang tahu pertempuran dan perjuangan seperti apa sebenarnya yang terjadi dan menjadi rahasia kesuksesan yang mereka perlihatkan di media sosial. Itulah mengapa, menerapkan etika bersosial media dengan berhenti membanding-bandingkan adalah langkah yang tepat untuk kembali fokus pada value keluarga dan menyesuaikan dengan kondisi nyata.

  5. Posting Informasi Valid

    Selain menyaring hoaks dan referensi yang belum terbukti kebenarannya saat menerima informasi, Ibu juga sebaiknya mulai belajar untuk melakukan hal sama yaitu dengan membagian informasi yang valid. Ini adalah salah satu etika bersosial media yang harus dilakukan untuk meminimalisasi disinformasi bahkan plagiasi. Plagiasi sendiri terjadi ketika Ibu menyalin tulisan orang lain dan menyebarkannya  tanpa mencantumkan sumber atau nama penulisnya.

    Mengapa demikian? Tulisan yang tidak jelas sumbernya sangat rentan mengakibatkan salah kaprah dan sulit menelusuri jejak kebenarannya. Namun, apabila Ibu telah menerapkan etika bersosial media ini dengan baik, maka akan memudahkan orang lain yang membaca tulisan tersebut saat harus melakukan kroscek ulang dan saling mengingatkan dengan sopan saat ada kekeliruan atau hal yang harus dikoreksi. Selain itu, Ibu juga turut membantu mengurangi aktivitas plagiasi yang marak terjadi di era digital tanpa batas ini.

  6. Beri Batas Privasi

    Mengunggah foto keseharian keluarga mungkin membuat Ibu merasa senang karena hasrat untuk mengekspresikan diri tersalurkan, apalagi jika foto-foto tersebut dihujani jumlah penyuka dan komentar-komentar berisi pujian. Tidak terkecuali saat mengunggah foto si kecil yang menggemaskan di media sosial, seperti saat momen anak sedang bertingkah lucu, saat berenang di kolam, atau bahkan pada momen-momen yang tidak semestinya menjadi konsumsi publik.

    Nah, Ibu pasti sudah tidak asing dengan istilah cyber bullying, pedofil, penculikan, dan kejahatan digital lainnya. Bentuk kejahatan yang dapat mencelakai keluarga tersebut seringkali berawal dari unggahan foto dan informasi pribadi yang tidak semestinya diumbar ke media sosial. Tentu Ibu tidak mau hal-hal buruk tersebut terjadi pada keluarga bukan?

    Oleh karena itu, Ibu harus menerapkan etika bersosial media untuk mencegah risiko terjadinya kejahatan online yang mungkin menimpa Ibu dan keluarga. Beberapa di antaranya:

    • Batasi siapa saja yang Ibu izinkan untuk melihat foto dan informasi yang Ibu bagikan.

    • Seleksi permintaan pertemanan di media sosial.

    • Jangan membagikan data pribadi dan lokasi anggota keluarga di media sosial.

    • Hindari mengunggah foto anggota keluarga yang sedang telanjang atau setengah telanjang.

    • Gunakan kombinasi  huruf dan angka yang rumit untuk password akun media sosial.

Pada akhirnya, Ibu dan keluarga sendiri yang harus memutuskan bagaimana menerapkan etika bersosial media berdasarkan pengalaman dan kondisi masing-masing. Dan harus selalu diingat bahwa apa yang terlihat di media sosial tidak semestinya menjadi standar gaya hidup yang mengkhianati value keluarga yang sebenarnya.

(Dwi Ratih)