Balita

11 Tips Menerapkan Gentle Parenting Saat Mengasuh Si Kecil

11 Tips Menerapkan Gentle Parenting Saat Mengasuh Si Kecil

Pernahkah Ibu mendengar tentang gentle parenting? Istilah yang belum banyak Ibu mengerti ini dipopulerkan oleh Sarah Ockwell-Smith, seorang pakar parenting yang telah menulis buku tentang gentle parenting beberapa tahun lalu. Gentle parenting diharapkan mampu membentuk karakter anak yang lebih tenang dan bahagia. Gentle parenting sering kali dianggap sebelah mata ketika diterapkan. Karena basic dari gentle parenting adalah tidak adanya hukuman tapi juga tidak ada pujian. Sedangkan di masyarakat kita, orangtua yang tidak menghukum anaknya ketika berbuat salah dianggap cuek dan tidak peduli.

Gentle parenting sendiri sebenarnya bukan sebuah metode. Gentle parenting hanyalah sebuah pendekatan untuk membangun hubungan orangtua dengan anak menjadi lebih dekat dan berkembang bersama. Maksud dari berkembang bersama adalah bukan hanya orangtua yang dominan memberi kontrol, tapi anak juga memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri. Sehingga proses tumbuh, belajar, dan mengelola emosi dilakukan tidak hanya oleh anak tapi juga oleh orangtuanya. Gentle parenting ini dikatakan mampu menyeimbangkan fisik dan psikologi anak dan orangtua.

Ibu tentu tahu bahwa setiap orang punya pilihan masing-masing dalam hidupnya. Entah ingin menyusui atau memberi susu formula, melahirkan normal atau operasi caesar, menggendong atau menggunakan stroller, memberi MPASI homemade atau fortifikasi, mempekerjakan pengasuh atau memilih daycare atau pilihan-pilihan lainnya yang berhubungan dengan anak. Saat memutuskan untuk memilih suatu hal, Ibu pasti sudah memikirkan alasan yang sesuai dengan kondisi keluarga. Pilihan-pilihan itu diambil dengan tetap menjaga respek dan empati atas pilihan orang lain yang berbeda dengan Ibu.

Nah, kurang lebih, gentle parenting juga demikian. Mengembangkan respek dan empati untuk anak Ibu, lalu menerapkannya sebagai pola asuh. Dengan memberi respek dan empati pada anak, diharapkan secara tidak langsung Ibu mengajarkan anak untuk melakukan hal serupa kepada orang lain.

Gentle parenting mengedepankan sebuah kebiasaan untuk bersikap positif, lembut, dan tidak gegabah saat menghadapi anak. Karena melibatkan pengelolaan emosi, maka tindakan atau sikap-sikap yang dipilih tidak hanya baik untuk anak, tetapi juga baik bagi orangtuanya. Dalam gaya pengasuhan ini, emosi anak dan orangtua sama pentingnya. Keterlibatan dan kerjasama dalam berinteraksi baik anak maupun orangtua sama pentingnya. Nah interaksi ini yang membangun koneksi atau ikatan batin antara anak dengan orangtua. Semua sikap anak-anak adalah cerminan dari koneksi orangtua dengan anaknya. Sehingga dalam gentle parenting, koneksi tersebut penting untuk dibangun.

Berbeda dengan parenting pada umumnya yang melibatkan pujian untuk sikap baik dan hukuman untuk sikap buruk, gentle parenting tidak menggunakan keduanya. Gentle parenting memang tampak seperti ‘membiarkan’ anak melakukan hal yang ia inginkan. Padahal, prinsipnya bukan seperti itu. Gentle parenting memang tidak melibatkan hukuman saat anak melakukan kesalahan. Tetapi sebagai gantinya orangtua menggunakan cara berkomunikasi dengan pilihan kalimat sederhana untuk menjelaskan pada anak bahwa yang ia lakukan itu tidak tepat.

Bila pada gaya parenting permisif orangtua cenderung membiarkan anak memegang kontrol atas dirinya dan tidak menjelaskan apa pun tentang kesalahan anak, gentle parenting tidak demikian. Meski sama-sama membiarkan anak melakukan sesuatu, gentle parenting masih dilengkapi dengan penjelasan atas perbuatan yang dilakukan anak.

Mudahnya begini, anak Ibu baru saja mengacak-acak mainannya hingga berantakan. Orangtua dengan pola asuh permisif akan membiarkan anaknya melakukan itu. Setelah perbuatan anak reda, orangtua tetap membiarkan anak bahkan orangtua sendiri yang membereskan mainan tersebut.

Sedangkan dalam gentle parenting, orangtua akan memperhatikan terlebih dahulu sikap anaknya. Lalu jika orangtua merasa emosi, mereka memilih pergi ke ruangan terpisah, diam sekitar 1 menit untuk menenangkan diri, lalu kembali lagi kepada anak sembari menjelaskan dengan kalimat, “Mainanmu berantakan sekali. Sayang sekali ada yang patah karena dilempar. Ibu jadi sedih karena mainannya tidak bisa digunakan lagi.”

Dengan kalimat tersebut, anak akan belajar bahwa mainan yang diacak-acak akan menyebabkan kerusakan. Kerusakan akan membuat seseorang sedih. Bila ibunya yang bukan pemilik mainan tersebut saja sedih, apalagi dengan dirinya sendiri yang adalah pemilik langsung mainan itu? Setelahnya, orangtua dengan gentle parenting akan mengajak anak untuk membereskan mainannya bersama dengan cara yang menyenangkan.

Pola asuh permisif biasanya menyerahkan kontrol terlalu besar pada anak untuk mengatur dirinya, bahkan mengatur orangtuanya. Pola asuh otoriter malah memberikan kontrol terlalu besar pada orangtua dan minim pada anak. Gentle parenting mengupayakan keduanya untuk seimbang.

Mengatur agar baik anak maupun orangtua memiliki kontrol yang sama. Hal ini dapat tercermin dengan kerjasama yang baik antara anak dan orangtua. Jadi dalam setiap aktivitas anak, baik ataupun buruk, disiplin atau tidak disiplin, anak dan orangtua bekerjasama untuk menyelesaikan aktivitas tersebut. Gentle parenting juga menumbuhkan kemampuan problem solving yang sudah pasti baik untuk masa depan anak.

Nah, karena kerjasama yang sangat erat dalam keseharian, antara anak dan orangtua akan terbentuk koneksi atau ikatan yang kuat yang bahkan mampu membuat orangtua tidak merasa takut anaknya akan dikucilkan dari masyarakat. Karena anak dari orangtua yang menerapkan gentle parenting merasa aman, dihargai orangtuanya, dan berharga bagi orangtua.

Lantas, apakah semua orangtua dengan gentle parenting se-perfect itu? Tidak ya, Bu. Namanya juga manusia. Ada kalanya orangtua merasa emosi atau membuat kesalahan. Jadi jangan dikira orangtua dengan gentle parenting akan terus menerus sabar dan nggak mudah marah.

Ada kalanya rasa marah, jengkel, dan hilang kesabaran juga terjadi. Salah satu kunci utama orangtua yang menerapkan gentle parenting adalah selalu berupaya untuk cooling down baik sendiri maupun bersama anak. Ingat, gentleprenting berusaha menyeimbangkan porsi anak dan orangtua. Maka dalam praktiknya pun anak dan orangtua perlu saling terlibat. Termasuk dalam urusan pengelolaan emosi.

Orangtua bisa memberi waktu bagi dirinya untuk cooling down lalu bicara lagi dengan anak setelahnya. Katakan saja kalimat seperti, “Maaf ya, Nak, tadi Ibu agak marah. Itu karena Ibu sudah capek membereskan rumah. Kalau kamu mengacak-acak lagi mainanmu, Ibu jadi semakin capek. Nanti tolong bantu Ibu ya?”. Dengan kalimat seperti ini, anak bisa belajar bagaimana orangtuanya mengelola emosi. Otomatis ia juga akan mulai berpikir bagaimana ia bisa mengelola emosinya nanti.

Ada 3 aspek penting yang telah dirangkum laman mydomaine tentang gentle parenting yang dituliskan Sarah dalam bukunya, yaitu Pengertian, Empati, dan Respek.

  1. Pengertian

    Aspek pengertian dalam gentle parenting dapat terlihat saat orang tua tidak hanya membiarkan anak tantrum. Orangtua akan mencari penyebab dari tantrumnya anak. Orangtua akan memahami bahwa penyebab si kecil tantrum, lalu bisa membicarakan permasalahan tersebut dengan anak. Rasa pengertian inilah yang akan mendorong orangtua untuk tidak marah, memukul, atau frustrasi saat anak sedang tantrum. Ibu sendiri sebagai orangtua tentu lebih senang saat Ayah mengerti Ibu, kan? Anak pun demikian. Anak ingin dimengerti, bukan terburu-buru dimarahi.

  2. Empati

    Setelah memiliki rasa pengertian, empati juga perlu dimiliki orangtua yang menerapkan gentle parenting. Empati membuat orangtua tahu bagaimana memperlakukan anak seperti layaknya mereka sebagai orang dewasa ingin diperlakukan. Sarah Ockwell-Smith juga menjelaskan bahwa layaknya orang dewasa, anak-anak juga mengalami hari yang berat. Terkadang mereka merasa amat kelelahan, frustrasi, marah atau jengkel karena sesuatu. Di lain waktu anak juga akan merasakan kebahagiaan, kebanggaan, atau rasa puas. Perlakuan orangtua terhadap apa yang sedang terjadi pada anak akan membantu anak merasa dirinya penting dan dihargai.

  3. Respek

    Respek dapat dilihat dari sikap orangtua saat anaknya menangis. Orangtua akan mendengarkan tangisan anaknya (meski mungkin agak kesal) sampai mereka selesai, menawarkan pelukan, lalu mengajak bicara anaknya dari hati ke hati untuk menemukan penyebab ia menangis. Di situasi lain, orangtua tidak memaksa anak menghabiskan makanannya atau memakan sayuran yang anak tidak ingin makan. Memang terkesan seperti permisif, tetapi setelah itu ada tindakan lanjutan dari orangtua seperti membujuk dan penjelasan soal pentingnya makanan tersebut agar anak dapat mulai mau menghabiskan makanannya atau sayurannya. 

    Ingatkah Ibu bahwa dalam penerapan aturan makan pun, anak tidak boleh dipaksa? Jika anak menolak makan, maka biarkan selama 10 menit, lalu tawarkan lagi. Jika masih menolak, cobalah tanyakan apa yang anak ingin makan saat itu. Jika masih menolak makan, maka pemberian makan bisa dihentikan dan menunggu jam makan berikutnya. Dengan catatan anak tidak diberi makanan apa pun selama jeda ke waktu makan berikutnya. Cara ini juga masih berkaitan dengan gentle parenting. Hal ini membantu orangtua respek terhadap anak. Lambat laun anak akan mengerti bahwa orangtua menghargainya, dan ada konsekuensi tertentu jika ia tidak patuh atau tidak mendengarkan kata orang tuanya.


Tips untuk Ibu yang tertarik mengaplikasikan gentle parenting

Selain 3 aspek tersebut, ada hal yang disebut sebagai partnership saat orangtua mencoba menerapkan gentle parenting. Hubungan partnership tentu mencerminkan hubungan yang lebih dari sekadar orangtua otoriter dan anak yang harus menurut.

Orangtua akan menjadi sosok yang selalu dicari anak untuk mendiskusikan sesuatu, karena anak merasa orangtua menghargainya, pendapatnya didengar, dimengerti keinginannya, dan diluruskan kesalahannya dengan cara yang menyenangkan. Jika Ibu ingin mencoba gentle parenting untuk anak, cobalah beberapa tips di bawah ini untuk memberi Ibu gambaran yang nyata:

  1. Mulai dengan Mengungkapkan Perasaan 

    Jika sebelumnya Ibu menggunakan pola asuh yang berbeda dan Ibu rasa tidak benar, awali dulu dengan ngobrol bersama anak. Minta maaf untuk keteledoran atau kelepasan saat marah, untuk ketidaksengajaan memukul, atau hal lain yang mengganjal di hati Ibu. Minta juga anak untuk mengungkapkan apa yang ia rasa selama ini jika Ibu menerapkan aturan ini dan itu untuk dirinya.

  2. Bangun Koneksi dengan Anak

    Lebih dekatlah dengan anak, bangun koneksi dengannya. Perbanyak menemaninya bermain, mendengarkan celotehnya, atau sekadar membacakan buku. Kebanyakan orangtua gagal membangun koneksi dengan anaknya karena terkungkung pekerjaan, distraksi gawai, atau bahkan rasa lelah. Kalahkan keinginan untuk bersantai dengan meluangkan sedikit waktu berkualitas untuk anak. 

  3. Hindari Mendikte dan Memerintah

    Daripada mengatakan, “Ayo sikat gigi, cuci tangan dan kaki, lalu tidur,” cobalah untuk mengubahnya menjadi ,“Kak, mau sikat gigi dan cuci tangan sekarang atau 10 menit lagi?” Penawaran seperti ini lebih mudah diterima anak karena otak anak merespons hal-hal yang sederhana. Jika Ibu memberi batasan waktu seperti 1 menit, 2 menit, atau sepuluh menit, pastikan mengingatkan anak sebelumnya, seperti “30 detik lagi ya, Kak” atau “setelah Ibu selesai menghitung sampai 10 ya, Kak”.

  4. Gunakan Pendekatan yang Menyenangkan Jika Terjadi “Bencana”

    Mainan yang berantakan juga bencana kan? Apalagi jika baru saja selesai merapikan rumah. Daripada menggunakan kalimat “ayo bereskan mainanmu”, Ibu bisa menggunakan kalimat seperti “Yuk, lomba beresin mainan. Siapa yang lebih cepat selesai, dia pemenangnya.” Hadiah dan pujian sebisa mungkin tidak diucapkan. Bukan karena tidak menghargai, tapi menghindari anak akan melakukan permintaan orangtua hanya karena hadiah.

  5. Lebih Banyak Mendengarkan Anak

    Seperti yang telah dibahas sebelumnya, anak butuh untuk didengar bahkan saat menangis. Tunggu sampai benar-benar reda baru mulai pembicaraan. Katakan hal-hal seperti “oh, perasaanmu lembut sekali, sampai-sampai menangis karena kuemu tidak utuh lagi. Ibu bisa mengerti itu”. Tambahkan juga pelukan dan ajak ngobrol tentang perasaannya setelah anak tenang.

  6. Fokus Pada Perilaku, Bukan Individunya

    Bila anak tidak menghabiskan makanan, Ibu bisa katakan, “Wah, Nasi, kasihan sekali kamu tidak ada yang memakan. Padahal Kakak masih belum kenyang, sedangkan Ibu sudah kenyang. Di mana lagi tempat untukmu, ya, Nasi?” Di lain situasi, jika anak menjatuhkan makanannya di karpet, “Ibu lelah sekali jika harus membersihkan kotoran dari karpet berulang kali. Maukah kakak membantu Ibu?” dengan memilih kalimat-kalimat tersebut, anak akan berpikir bahwa tindakannya kurang tepat. Tindakannya mungkin akan merugikan orang lain. Maka perlahan anak akan mengubah sikapnya untuk lebih hati-hati.

  7. Negoisasi

    Negosiasikan sesuatu yang bisa ditoleransi, dan katakan tidak untuk hal yang membahayakan anak, benda lain, dan orang lain di sekitarnya. Misal Ibu bisa katakan, “Berapa menit lagi ya waktu tersisa untuk bermain? Oh, ternyata sudah habis. Mau pulang sekarang atau sepuluh menit lagi?” Lalu untuk sesuatu yang berbahaya Ibu bisa katakan, “Berlari ke arah jalan raya itu berbahaya, Ibu tidak akan membolehkan kamu begitu lagi ya.”

  8. Memanusiakan Anak 

    Perlakukan anak seperti partner dalam keluarga. Anak bukanlah boneka atau robot yang bebas diatur dan diperintah. Anak juga memiliki keinginan dan pemikiran bahkan meski usianya baru dua tahun. Mintalah pendapatnya juga karena anak adalah bagian dari keluarga, bukan?

  9. Hindari Memaksa Anak

    Hindari memaksa anak melakukan apa yang tidak ingin dia lakukan. Jika anak menolak untuk mencium tangan orang yang lebih tua, atau menolak mengatakan terima kasih, tidak perlu dipaksa untuk langsung mengatakan. Cukup contohkan, lalu saat situasi tenang, cobalah untuk memperbaiki sikapnya dengan mengajak si kecil ngobrol.

  10. Percaya pada Anak

    Kepercayaan membuka saling keterbukaan antara orangtua dan anak. Percayalah pada anak. Saat ia tengah terlihat ‘nakal’, temukan apa yang mengusiknya dengan cara ngobrol. Anak bisa merasakannya saat orangtua memercayainya, dan saat itulah akan lebih muda berinteraksi dengan anak.

  11. Time Out untuk Diri Sendiri

    Buatlah time out untuk diri sendiri. Menghindar sejenak dari anak untuk menenangkan diri atau buat me time agar pikiran tetap waras adalah hal wajar. Belajar mengelola emosi diri sangat penting bagi orangtua yang ingin menerapkan gentle parenting.

Cara-cara yang diterapkan dalam gentle parenting ini dipercaya mampu membentuk karakter anak yang lebih bahagia, mampu mengontrol emosinya dan lebih percaya diri. Sesulit apa pun penerapannya, jangan menyerah untuk mencoba ya. Bu.

Parenting tidak melulu soal ‘perang’ dengan anak, tapi juga tentang bagaimana berdamai dengan anak untuk membantunya memahami keinginannya. Jika anak sudah tahu apa yang ia mau, apa yang ia rasa, maka tak akan sulit untuk berdampingan tumbuh menjadi sosok individu yang lebih baik.

(Dwi Ratih)