Ibupedia

Awas! 10 Perilaku Gaslighting Berbahaya Ini Jarang Disadari

Awas! 10 Perilaku Gaslighting Berbahaya Ini Jarang Disadari
Awas! 10 Perilaku Gaslighting Berbahaya Ini Jarang Disadari

Pernahkah Ibu mendengar tentang gaslighting?

Kebanyakan orang masih cukup asing dengan istilah ini. Gaslighting adalah bentuk manipulasi yang dilakukan seseorang kepada orang lain dengan sengaja untuk menjebak dan menindas korban dengan cara mempertanyakan kembali kesadaran, ingatan, dan tindakan korban sehingga korban merasa bersalah bahkan sampai menganggap dirinya tidak waras. Biasanya pelaku akan memutar-balikkan perkataan dan membuat korbannya berpikir ia sedang berkhayal dan sesuatu yang ia permasalahkan sebenarnya adalah halusinasinya. Dengan demikian pelaku bisa terus menindas korban secara psikis dan membuat korban minta maaf untuk kesalahan yang tidak ia lakukan.

Menurut laman Healthline, gaslighting bisa terjadi dalam segalam jenis hubungan. Hubungan antara atasan dengan karyawan, hubungan pertemanan, orang tua dengan anak, bahkan pasangan kekasih atau pasangan suami-istri. Meski bisa saja terjadi di beragam jenis hubungan, gaslighting seringkali menuai korban sampai pada tindak kekerasan dalam hubungan orang tua-anak dan pasangan suami-istri.

Istilah gaslighting sendiri lahir dari sebuah film berjudul “Gaslight” yang mengisahkan seorang suami yang terus menerus memanipulasi istrinya untuk memegang kendali atas istrinya tersebut. Ada pula seorang ahli yang menulis tentang gaslighting, yaitu Stephanie Sarkis, Ph. D, dengan judul Gaslighting: Recognize Manipulative and Emotionally Abusive People and Break Free yang membahas tentang ciri pelaku gaslighting.

Stephanie Sarkis menuliskan dalam Psychology Today beberapa tanda pelaku gaslighting, di antaranya:

  1. Mengatakan Kebohongan

    Korban biasanya seolah mengetahui bahwa pelaku sedang berbohong. Tapi pada perilaku gaslighting, pelaku akan dengan mudah mengatakan kebohongan besar dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Hal ini akan membuat korban menjadi kebingungan dan mempertanyakan kembali firasatnya. Benar nggak sih dia bohong, atau aku yang berburuk sangka?

  2. Sering Menyangkal untuk Mengamankan Diri

    Pelaku gaslighting suka bersembunyi di balik fakta untuk membuat dirinya bersih. Sehingga pelaku seringkali menyangkal ia telah mengucapkan atau melakukan suatu hal. Biasanya akan semakin tegas menyangkal saat ia merasa terancam dan ingin melindungi citra dirinya.

  3. Menyerang Lewat Hal Paling Dekat dan Paling Disukai Korban

    Orang terdekat korban biasanya akan dijadikan bahan obrolan untuk menyerang korban. Selain itu, hal yang paling disukai korban atau prinsip dan jati diri korban seringkali akan diserang melalui perkataan melemahkan. Hal ini akan membuat korban merasa semakin terpuruk dan menjadi pribadi yang lemah. Perilaku ini juga erat kaitannya dengan tanda-tanda toxic family.

  4. Ucapan yang Berbeda dari Perilaku

    Plin-plan dan ucapannya berbeda dari apa yang dilakukan. Misalnya mereka bilang tidak suka makan sambil mendengar musik. Di lain hari mereka bisa makan sambil mendengarkan musik melalu earphone.

  5. Memanfaatkan Momen Terburuk Korban

    Korban yang sedang terpuruk, down karena mempertanyakan jati dirinya, kebenaran yang terjadi di sekitarnya, semakin dipupuk dengan hujatan atau kalimat melemahkan yang bisa membuat korban depresi. Tetapi, pelaku gaslighting juga bisa menggunakan kata-kata yang tidak disadari korban sebagai kalimat pembunuh.

  6. Mengapresiasi Korban untuk Membuatnya Bingung

    Nah lho, ini orang tadinya melemahkan, menekan dan menjatuhkan mental korban, sekarang bisa mengapresiasi? Yes, itu semua hanya kedok. Pelaku sengaja mengapresiasi, memuji dan seolah menghargai korban supaya korban berpikir bahwa sebenarnya pelaku baik kok. Sayangnya, ini akan membuat korban yang mulai berpikir untuk lepas dari pelaku malah semakin tertarik karena merasa pelaku sudah bersikap baik.

  7. Mensugesti Korban Bahwa Orang Lain Pembohong

    Pelaku akan melakukan ini dengan tujuan agar korban kebingungan dan menutup diri dari orang lain. Selain itu, ini akan membuat korban tidak bisa lepas dari pelaku.

  8. Pelaku Menyebarkan Rumor Bahwa Korban Gila

    Nah, selain akses dari korban ke orang lain ditutup, pelaku juga menutup akses orang lain ke korban, dengan cara menyebarkan rumor kalau korban gila. Dengan demikian orang lain akan menjaga jarak dengan korban dan korban hanya bergantung pada pelaku.

  9. Menggunakan Orang Lain untuk Melawan Korban

    Untuk meyakinkan korban bahwa mereka gila, pelaku seringkali menyebutkan nama orang lain yang seolah sepakat menyalahkan korban, atau sepakat menyetujui bahwa korban gila. Tetapi tentu itu tidak dilakukan di depan orangnya. Pelaku gaslighter pandai berbohong. Ia bisa mengarang cerita tentang orang lain pada korban untuk membuat korban yakin dirinya salah, lemah, dan patut ditindas.

  10. Pelaku Tahu Cara Melemahkan Korban

    Dengan membuat korban bingung, pelaku melemahkan korban. Pelaku menyerang pondasi diri korban sehingga korban seolah hilang arah dan menganggap dirinya tidak berharga tanpa pelaku.

    Nah, rupanya, pelaku gaslighting ini erat hubungannya dengan sebuah kelainan bernama Narcissitic Personality Disorder. Orang tua narsis yang termasuk dalam kategori ini percaya bahwa diri mereka sangat berharga dan dunia menganggapnya penting. Mereka cenderung tidak tertarik pada orang lain kecuali orang lain menguntungkan bagi mereka. Mereka juga tidak memedulikan perasaan orang lain.

    Mereka bisa membuat orang lain jadi tunduk dan melakukan hal yang bisa membuat mereka mencapai tujuan. Mereka cenderung sangat percaya diri dan marah saat dikritik, mudah iri dan cemburu, menginginkan perlakuan khusus dari orang lain dan berlebihan dalam memenuhi keinginannya akan suatu hal. Ada beberapa contoh kalimat gaslighting nih, seperti:

    • “Nah kan, kamu merasa bersalah, kan? Ya soalnya kamu memang salah. Kamu tuduh aku ambil uang kamu, padahal kamu sendiri pakai buat hal-hal yang kamu sendiri nggak ingat.” (padahal pelaku benar mengambil uang korban)

    • “Kamu nggak nyadar aja sih, anak kamu aja tahu kamu itu Ibu yang bodoh. Nggak becus urus mereka.”

    • “Anak kamu nggak mau makan? Masa bikin makanan bayi aja nggak bisa? Yakin kamu Ibu yang baik? Pikir lagi!”

    Pelaku menyerang korban dengan mempertanyakan kewarasan korban dan menggunakan orang terdekat yang paling berpengaruh dalam hidup korban untuk menjatuhkan.

    Gaslighting memakan korban bahkan tanpa disadari oleh korbannya lho. Coba cek kembali apakah kamu memiliki tanda-tanda di bawah ini dalam menjalin hubungan dengan pasangan, atau dengan seseorang lainnya:

    • Kehilangan jati diri, sudah tidak yakin apakah ini adalah diri yang biasanya;

    • Lebih sering cemas dan tidak percaya diri atau insecure;

    • Sering mempertanyakan diri sendiri apakah terlalu berlebihan menilai orang, terlalu sensitif atau terlalu judgmental;

    • Merasa seperti segala hal yang dilakukan adalah kesalahan;

    • Jika ada suatu hal yang salah dalam hubungan, selalu berpikir ini adalah kesalahan diri sendiri;

    • Punya firasat ada yang salah dalam hubungan tapi kesulitan menemukan apa penyebabnya;

    • Terlalu sering meminta maaf;

    • Selalu mempertanyakan sudah benarkah perilaku diri kepada pasangan, karena takut pasangan akan marah atau berpaling jika sikap diri tidak benar;

    • Terlalu sering memaafkan kesalahan pasangan yang disengaja meski perilaku pasangan benar-benar salah; dan

    • Merasa putus asa, terisolasi dari lingkungan, dan lebih ingin menutup diri untuk menghindari konflik dengan pasangan pelaku gaslighter.

Jika sudah memiliki tanda-tanda seperti ini, yuk sadar! Kamu mungkin sedang berada dalam jebakan yang tidak memiliki ujung. Korban gaslighting akan terus berpikir dirinya payah dan pelaku adalah orang yang paling benar. Saatnya memutus rantai toxic relationship ini. Korban harus memberanikan diri untuk terbuka, setidaknya pada satu orang yang bisa membantu. Berhati-hatilah dengan orang terdekat pelaku, pilihlah orang terdekat dari keluarga korban sendiri. Bisa orang tua, saudara, atau kerabat dan luapkan apa yang dialami korban.

Setelah berani terbuka pada orang lain, langkah selanjutnya tentu adalah menjaga jarak dari pelaku. Ibarat kata, korban sudah punya orang kepercayaan baru, jadi ambil langkah untuk jaga jarak dari pelaku atau berpisah. Sembuhkan diri dengan berkonsultasi pada psikolog tentang trauma dan depresi yang korban alami. Dengan membuka diri korban, bahkan pelaku pun bisa mendapat bantuan pengobatan medis dan pendampingan psikis, lho. Karena penting untuk menangani sumber masalahnya terlebih dahulu agar semua bisa teratasi.

Penulis: Dwi Ratih