Keluarga

Pola Asuh Helicopter Parenting dan Dampaknya Bagi Anak

Pola Asuh Helicopter Parenting dan Dampaknya Bagi Anak

Belakangan ini, mungkin banyak di antara para orang tua yang sering mendengar istilah “helicopter parenting”. Ya, istilah ini memang sedang banyak jadi pembahasan di berbagai platform dunia maya, terutama yang berkaitan dengan informasi seputar parenting. Walau baru benar-benar masuk dalam kamus tahun 2011, sebenarnya istilah “helicopter parenting” sudah ada sejak tahun 1969. 

Adalah Dr. Haim Ginott, seorang penulis yang disinyalir jadi orang pertama yang memopulerkan istilah ini lewat bukunya yang berjudul Parents & Teenager. Di bukunya itu Dr. Ginott menyebut “...teens who said their parents would hover over them like a helicopter”. Dari situlah kemudian istilah helicopter parent jadi dikenal masyarakat luas. Beberapa istilah lain yang juga memiliki makna mirip dengan helicopter parenting adalah "lawnmower parenting", "cosseting parent", atau "bulldoze parenting”.

Apa Itu Helicopter Parenting?


Lalu apa sebenarnya helicopter parenting? Seperti namanya, pola asuh ini mengibaratkan orang tua sebagai “helikopter” yang selalu “terbang di atas kepala anak”. Artinya, mereka akan selalu mengawasi setiap tindakan anak dan ikut terlibat dalam semua kegiatan dan pengambilan keputusan anak. Mereka juga selalu was was dengan semua hal yang dilakukan anak sehingga bisa membatasi anak untuk bereksplorasi.

Di Indonesia, helicopter parenting juga bisa disamakan dengan istilah yang mungkin lebih familiar di telinga kita, yaitu overprotective. Orang tua dalam helicopter parenting sering kali bersikap berlebihan dalam melindungi anaknya, seperti melarang si anak bermain hujan-hujanan, mendampingi anak di setiap kegiatannya, hingga menentukan dengan siapa saja anaknya boleh berteman.

Helicopter parents juga cenderung selalu mengatur jadwal anak-anaknya, mulai dari sekolah, kursus, bermain, dan lain sebagainya. Kursus pun mereka lah yang menentukan, anak tidak diberi kesempatan memilih sendiri minat dan keinginannya. Biasanya helicopter parents merasa bangga terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka, dan sering kali tidak melihat ada yang salah dengan pengasuhan mereka.

Pemicu Pola Asuh Helicopter Parenting


Pola asuh helicopter parenting banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berikut ini empat di antaranya yang paling umum, seperti dilansir dari laman Parents.

1. Takut terhadap konsekuensi yang akan dihadapi anak

Orang tua yang menerapkan helicopter parenting biasanya adalah mereka yang takut mengambil risiko dan menerima konsekuensi, seperti takut anaknya mendapat nilai jelek, ditolak masuk sekolah tertentu, tidak kebagian sesuatu, dan banyak lagi yang lainnya. Agar hal-hal seperti itu tidak terjadi, orang tua tidak segan ikut campur bahkan membuat keputusan sendiri tanpa bertanya kepada si anak. Padahal, setiap kegagalan, kekecewaan, penolakan, harapan yang tidak sesuai, adalah guru terbaik bagi anak-anak. Dengan menghadapinya, anak akan terlatih menggunakan survival skill, critical thinking, dan pengelolaan emosi.

2. Perasaan cemas atas kehidupan anak

Perasaan cemas dan khawatir berlebihan juga bisa jadi faktor pendorong orang tua menjadi helicopter parents. Kekhawatiran ini akan membuat orang tua merasa harus mengambil kendali terhadap kehidupan anaknya dengan dalih ingin menjaga dan melindungi mereka agar tidak terluka atau kecewa. Perasaan cemas ini bisa dirasakan bahkan ketika anak sudah masuk dunia kerja.

3. Orang tua kurang mendapat kasih sayang saat kecil

Pemicu lain helicopter parenting, bisa juga karena orang tua tidak dibesarkan dengan lingkungan yang penuh kasih sayang, sehingga ketika punya anak sendiri, mereka merasa harus menyayangi anaknya lebih dari yang ia dapatkan. Perhatian yang berlebihan termasuk upaya untuk memperbaiki kekurangan yang dirasakan orang tua dalam pengasuhan yang diterima saat kecil.

4. Adanya tekanan dari lingkungan sekitar

Tekanan yang diterima orang tua dari lingkungan sekitar juga bisa jadi pemicu pola asuh helicopter parenting. Biasanya tekanan itu datang dari mertua, tetangga, atau teman-teman. Orang tua yang berada di tengah para helicopter parents ternyata secara tidak sadar bisa meniru hal serupa. Biasanya ini dilandasi perasaan bersalah karena tidak dapat “membenamkan diri” dalam kehidupan anaknya “sedalam” orang tua yang lain. Selain itu, seringkali mereka juga ada kekhawatiran akan dicap sebagai Ibu atau Ayah yang buruk oleh orang tua lain.

Ciri Orang Tua yang Menerapkan Helicopter Parenting


Setiap orang tua memang ingin yang terbaik untuk anaknya. Orang tua dalam helicopter parenting pun mungkin juga demikian, mereka sama sekali tidak berniat untuk menjerumuskan anaknya dalam keburukan. Hal inilah yang membuat pola asuh ini seringkali dilakukan tanpa sadar. Mungkin ada juga yang sedikit banyak terpengaruh dengan cara pengasuhan yang diterapkan oleh orang tuanya sendiri (kakek nenek si anak). Nah, agar kita tidak terjebak dalam pola asuh ini, yuk, kenali bersama ciri-ciri model pengasuhan helicopter parenting, seperti dilansir dari laman WebMD!

1. Orang tua selalu terlibat dalam konflik yang dihadapi anak

Tidak ada manusia di dunia ini yang terlahir tanpa pernah menemui masalah. Anak-anak pun demikian. Yang membedakan adalah bagaimana cara mereka memecahkan masalah tersebut. Sayangnya, tidak semua anak punya kesempatan untuk belajar menyelesaikan masalahnya sendiri, karena dalam pola asuh helicopter parenting, orang tua akan selalu ikut campur dalam konflik yang dialami anak. Misalnya ketika anak terlibat cekcok dengan temannya di sekolah, orang tua akan melapor ke guru atau bahkan langsung mendatangi orang tua teman anaknya dan menyelesaikan lewat caranya sendiri. Atau misalnya ketika anak mendapat nilai jelek, orang tua tidak segan-segan untuk protes langsung ke gurunya.

2. Orang tua tidak ragu menyelesaikan tugas si anak

Orang tua dalam helicopter parenting juga seringkali mengambil alih PR anaknya dan menyelesaikannya sendiri, terutama jika si anak kesulitan atau ketika waktu yang tersisa sebelum pengumpulan sudah sangat mepet. Ini dilakukan karena orang tua tidak ingin anaknya frustasi saat proses menyelesaikan tugas. Padahal jika otak terbiasa dihadapkan pada masalah yang mana akan memicu stress yang sehat, ini akan membantu mengasah kemampuan problem-solving.

3. Orang tua berusaha menggurui guru anak

Para helicopter parent biasanya sering datang dan melihat langsung anaknya berkegiatan. Mereka juga tak segan menggurui, bahkan memprotes guru atau pelatih si anak, terlebih jika anaknya melakukan kesalahan. Padahal kegiatan tersebut akan banyak mengajari anak menghadapi konflik, mencapai tujuan, menjadi pemimpin, dan mengatasi kekalahan, yang mana semua skill itu akan berguna bagi masa depannya.

4. Orang tua terus ingin dilibatkan dalam setiap aktivitas anak

Orang tua dalam helicopter parenting juga selalu ingin terlibat dalam aktivitas anak, mulai dari bermain, menghadiri ulang tahun teman, nonton ke bioskop, bahkan saat anak sekolah sekalipun. Kemanapun anaknya pergi, orang tua selalu ikut. Atau ketika tidak memungkinkan ikut serta, ia akan terus menelepon anaknya, memastikan si anak baik-baik saja. Hati-hati, ya, karena kebiasaan ini justru bisa menghapus rasa percaya diri anak, lo.

5. Orang tua selalu ingin melayani anak di rumah

Menyiapkan kebutuhan anak memang tidak salah, Bu, selama itu dikerjakan dengan sewajarnya dan sesuai usia anak. Maksudnya anak yang masih bayi atau balita tentu akan butuh banyak bantuan orang tua. Namun, jika semua dilakukan secara berlebihan apalagi jika si anak sudah duduk di bangku SMA atau kuliah, bisa jadi itu suatu pertanda Ibu atau Ayah adalah helicopter parents. Ini karena para helicopter parents tidak ingin anaknya kekurangan suatu apapun. Setiap hari mereka akan membereskan tempat tidur anaknya, mencucikan piring dan baju anaknya, menyiapkan perlengkapan untuk sekolah, dan lain sebagainya. 

6. Orang tua bersikap sangat protektif

Jika anak bisa dibungkus bubble wrap, mungkin helicopter parents sudah melakukannya. Hal ini karena mereka tidak ingin anaknya terluka sedikitpun. Saat belajar naik sepeda misalnya, mereka akan terus berada di samping anak dan terus menerus memegang sepedanya. Atau ketika anaknya bermain seluncuran, ia akan meminta anaknya memegang tangannya supaya tidak jatuh. Semua itu bisa mematikan proses tumbuh kembang anak sebab si anak jadi tidak punya kesempatan berhadapan dengan suatu risiko. Bagaimana kognitifnya bisa berkembang jika ia terus dibantu dalam segala hal?

7. Orang tua tidak akan membiarkan anaknya gagal

Orang tua dalam pola pengasuhan helicopter parenting tidak akan membiarkan anaknya merasakan kegagalan, walau kegagalan kecil sekalipun. Seperti ketika anaknya menuangkan botol minum ke gelas, ia otomatis akan membantu anak menyangga botol tersebut alih-alih membiarkan si anak menuang sendiri. Ia tidak mau air yang dituang tersebut tumpah dan membasahi anak. Padahal dengan membiarkan anak menuang air sendiri, bahkan jika air itu tumpah, si anak akan belajar untuk lebih hati-hati di percobaan selanjutnya. Skill-nya dalam menyelesaikan masalah otomatis akan terasah.

Dampak Pola Asuh Helicopter Parenting


Penerapan pola asuh helicopter parenting ini dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak, yang mana juga akan memengaruhi masa depan anak. Ia jadi kesulitan saat harus bersaing di dunia kerja yang lebih luas karena skill yang seharusnya diasah sejak kecil jadi tidak terbentuk sempurna. Berikut dampak pola asuh helicopter parenting bagi anak:

1. Anak tumbuh jadi orang yang tidak percaya diri

Ketakutan dan kekhawatiran berlebih yang dirasakan orang tua pada anak ternyata dapat membuat si anak juga merasakan hal serupa. Ia jadi takut saat harus menghadapi sesuatu, apalagi jika itu belum pernah ia lalui sebelumnya. Perasaan takut dan khawatir berlebihan ini bahkan bisa terbawa sampai anak dewasa. Ia akan tumbuh jadi orang yang tidak percaya diri, takut mencoba hal baru, dan tidak punya inisiatif.

2. Anak kesulitan memecahkan masalah

Karena selalu dibayang-bayangi orang tua, anak jadi akan terus mengandalkan solusi dari orang tua ketimbang mencoba memecahkan masalahnya sendiri. Padahal problem-solving skill sangat penting dimiliki seorang anak dan akan terus berguna bagi masa depannya. Anak yang tidak mampu memecahkan masalah akan kesulitan bertahan di kehidupan sosialnya, apalagi jika sudah masuk ke dunia kerja.

3. Anak jadi mudah stres dan cemas

Gangguan kecemasan atau anxiety disorder menjadi salah satu masalah kesehatan mental yang sering dialami anak muda. Berdasarkan studi yang dilakukan Center for Collegiate Mental Health Pennsylvania State University, pola asuh helicopter parenting ternyata turut andil jadi penyebab anak mengalami gangguan kecemasan. Ini karena sejak kecil ia terbiasa diawasi secara berlebihan oleh orang tua mereka, sehingga anak akan merasa cemas dan takut melakukan kesalahan.

4. Anak akan lebih sering berbohong

Orang tua yang terlalu berlebihan melindungi anaknya akan lebih sering melarang daripada membiarkan anaknya bereksplorasi. Kebiasaan ini bila terus terjadi justru dapat membuat anak lebih sering berbohong. Dengan ruang gerak yang terbatas, anak jadi takut saat ingin mencoba sesuatu yang baru atau ingin mengembangkan diri. Akibatnya, anak akan mencari celah bagaimana agar bisa mencoba hal tersebut tanpa diketahui orang tuanya.

5. Keterampilan hidup anak jadi tidak berkembang

Anak yang selalu dilarang ini-itu atau dibatasi kesempatannya untuk mencoba sesuatu, akan tumbuh menjadi orang yang kurang kompeten. Orang tua yang selalu mengikatkan sepatu anak, membersihkan piringnya, mengemas makan siang, mencuci pakaian, dan memantau kegiatannya di sekolah, bahkan setelah si anak sebenarnya sudah mampu secara mental dan fisik melakukan tugas itu, dapat membuat anak kesulitan menguasai keterampilan tersebut. Akibatnya ia bisa kesulitan bertahan hidup saat dewasa.

Cara Menghindari Helicopter Parenting


Menahan diri untuk bisa lepas kendali dari setiap kegiatan anak mungkin akan terasa sulit. Namun yang perlu diingat, membiarkan anak bereksplorasi, dan bahkan memberi kesempatan anak untuk merasakan kegagalan, justru jadi tanda kasih sayang orang tua kepada anaknya. Berikut beberapa tips agar kita sebagai orang tua dapat terhindar dari “belenggu” helicopter parenting:

1. Selalu pikirkan efek jangka panjang

Alih-alih fokus pada masa kini, pikirkan kemungkinan efek jangka panjang dari model helicopter parenting. Tanyakan pada diri sendiri, apakah kamu benar-benar ingin si kecil selalu mengandalkan orang tuanya untuk memperbaiki sesuatu, atau apakah kamu ingin mereka mengembangkan kecakapan hidup dan skill menyelesaikan masalah?

2. Biarkan anak menyelesaikan tugas mereka sendiri

Jika anak-anak sudah cukup besar untuk melakukan sesuatu untuk diri mereka sendiri, biarkan mereka melakukannya tanpa perlu kamu campur tangan. Ini termasuk juga hal-hal kecil seperti mengikat sepatu mereka, membersihkan kamar mereka, atau memilih pakaian mereka sendiri.

3. Biarkan anak membuat keputusan sendiri

Biarkan anak-anak membuat keputusan sendiri sesuai usia mereka. Anak balita pun juga sudah bisa diajarkan mengambil keputusan sendiri, lo, misalnya memilih baju yang akan ia kenakan, memilih gelas atau piring yang akan digunakan, dan lain sebagainya. Untuk anak sekolah dasar, kamu juga bisa membiarkan mereka memilih hobi atau kegiatan ekstrakurikuler yang mereka sukai.

4. Jangan ikut campur saat anak berselisih paham dengan temannya

Tahan keinginan Ibu dan Ayah untuk ikut campur ketika anak sedang berselisih dengan temannya. Sebaliknya, bimbing mereka agar bisa menyelesaikan konfliknya sendiri. Misalnya jika si anak yang bersalah, ajarkan ia untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

5. Beri anak kesempatan merasakan kegagalan

Kegagalan memang bukan hal yang mudah dilalui anak. Namun dengan memberi kesempatan anak merasakan kegagalan, ia akan terbiasa menghadapi kekecewaan di masa mendatang. Ia tidak akan stres atau depresi, sebaliknya, ia akan selalu menemukan cara positif mengatasi kegagalan.

6. Ajarkan anak keterampilan hidup

Ajari mereka keterampilan hidup seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan cara berbicara dengan orang lain terutama dengan yang lebih tua. Sebaiknya, keterampilan ini tidak membedakan jenis kelamin. Anak lelaki tetap harus diajari memasak seperti anak perempuan, dan anak perempuan tetap harus diajari mengurus kendaraan seperti anak lelaki.

Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih