Balita

7 Cara Mendidik Anak Laki-laki

7 Cara Mendidik Anak Laki-laki

Saat dokter menyatakan bahwa ibu akan memiliki bayi laki-laki, apa yang terlintas dalam pikiran? Sebagian mungkin membayangkan serunya bermain mobil-mobilan bersama, sebagian lagi sudah cemas memikirkan bagaimana mendampingi mereka saat masa puber tiba.

Wajar saja, perbedaan jenis kelamin membuat seorang ibu hanya dapat berusaha memosisikan diri di posisi anak laki-laki tanpa pernah mengalaminya. Mendidik anak laki-laki menjadi terasa lebih menantang, apalagi jika ibu tidak tahu caranya.

Steve Biddulph, penulis buku Raising Boys, dalam The Irish Times menyebutkan bahwa banyak anak laki-laki dan remaja pria yang akhirnya disakiti atau menyakiti orang lain saat mereka menghadapi masalah. Dibandingkan perempuan, anak laki-laki pun memiliki kemungkinan sembilan kali lebih besar untuk dipenjara, tiga kali lebih besar untuk memakai narkoba, bunuh diri, maupun meninggal karena kecelakaan.

Tidak mungkin semua ini “sudah dari sananya”. Pasti ada alasan logis yang mampu menjelaskan fenomena ini, beserta cara mengatasinya. Tidak usah khawatir Bu, meskipun memiliki anak laki-laki terlihat sedikit lebih berisiko, kita bisa memulai dengan memahami karakteristik bawaan mereka terlebih dahulu untuk memulai perjalanan pengasuhan ini.

  1. Pahami perbedaan bawaan anak laki-laki

    Sama seperti perbedaan antara ibu dan suami, anak laki-laki dan perempuan pun memiliki perbedaan yang berakar dari faktor fisiknya. Saat masih di dalam kandungan, otak janin laki-laki tumbuh lebih lambat dibandingkan janin berjenis kelamin perempuan.

    Hal ini masih terus berlangsung saat mereka berusia lima tahun, di mana perkembangan otak anak laki-laki terlambat 20 bulan dibandingkan anak perempuan. Jadi, jangan terlalu risau jika anak perempuan teman pada usia tersebut sudah bisa mewarnai lebih rapi, membantu membereskan mainan, membaca, sementara anak laki-laki ibu masih belum bisa konsisten diajak bekerja sama. 

    Tidak hanya itu, sesama anak laki-laki pun masih memiliki perbedaan karakter terkait jumlah hormon testosteronnya. Anak dengan kadar testosteron tinggi lebih berpotensi mengalami kesulitan membaca dan berbicara, padahal secara umum anak laki-laki tiga kali lebih sulit membaca dibandingkan perempuan.

    Dengan memahami perbedaan bawaan ini, cara ibu mendidik anak laki-laki harus dibedakan dengan cara mendidik anak perempuan (jika ibu memiliki keduanya) dan hindari membandingkan mereka dengan anak perempuan meskipun berada pada usia yang sama.

  2. Tentukan karakter yang ingin dimiliki anak

    Langkah kedua saat mendidik anak laki-laki adalah menentukan ingin menjadi orang dewasa seperti apa kelak. Ibarat membangun rumah, orang tua harus memiliki rancangannya terlebih dahulu. Jika para orang tua dihadapkan pada pertanyaan ini, jawaban yang umum muncul adalah ingin anaknya menjadi orang yang sukses, baik, taat beragama.

    Seorang ibu mungkin memiliki pandangan yang lebih detail tentang karakter anak mereka kelak, seperti tegas tapi mengayomi, pemimpin tapi juga pengertian, pekerja keras tapi tidak enggan membantu urusan rumah tangga, dan sejenisnya. Intinya adalah, anak laki-laki diharapkan menjadi sosok yang kuat sekaligus penyayang. Jika kelak ia menjadi seorang ayah, ia dapat mendidik sekaligus menemani anak bermain.

    Masalahnya, dengan sifat bawaan seperti di atas, dapatkah anak laki-laki memiliki dua sisi tersebut? Bisa saja. Ibu dapat membacakannya buku sejak kecil agar ia terbiasa membaca, sering mengajak anak berbicara, mendengarkannya dengan penuh perhatian saat ia bercerita tentang apapun, meskipun hal tersebut sangat sepele.

    Hindari membolehkannya bermain games atau gadget tanpa batasan waktu yang jelas agar kemampuan komunikasinya dapat berkembang dengan lebih baik. Untuk mengasah sensitivitas anak, jelaskan pentingnya berbuat baik dengan cara berbagi mainan dengan teman ataupun menyayangi hewan peliharaan.

    Pada titik ini, seolah cara mendidik anak laki-laki dan perempuan sama. Memang betul, pembiasaan akan hal-hal baik tidak mengenal jenis kelamin. Namun, dengan mengetahui karakteristik anak sejak awal, ibu dapat mengetahui kelemahan apa yang masih bisa dikejar dan kekuatan apa dari anak yang bisa diasah.

  3. Ajari mereka mengungkapkan perasaan

    Kenyataan bahwa anak laki-laki lebih banyak terlibat kegiatan berbau kekerasan berakar dari dua hal: karena faktor hormonal dan lingkungan. Laki-laki memiliki hormon testosteron yang membuat motorik kasar mereka berkembang lebih baik dari aspek motorik halus.

    Sementara itu, faktor lingkungan membuat mereka tabu untuk mengungkapkan perasaan. “Anak laki-laki kok cengeng,” menjadi bagian dari cara orang tua generasi terdahulu mendidik anak laki-laki agar tangguh. Meskipun saat ini orang tua sudah lebih memahami bahwa laki-laki pun boleh menangis, lingkungan masih menganggap laki-laki tidak semestinya menunjukkan sisi lemahnya.

    Akibatnya, anak laki-laki kerap memendam kesedihannya. Perasaan terpendam dapat berkembang menjadi stres. Stres merupakan faktor penting dalam berbagai penyakit fisik dan mental. Sebagian besar kecanduan alkohol berakar dari kebutuhan untuk melupakan permasalahan (dengan cara minum).

    Karena itu, ibu dapat berperan untuk membantu anak mengungkapkan perasaan mereka. Hal ini akan membantu mengurangi agresivitas anak laik-laki dan mengurangi kemungkinan munculnya ledakan emosi. Adanya pria dewasa (seperti ayah, kakek, paman) dalam keluarga juga dapat membuat anak laki-laki memahami perasaannya dengan cara meniru perilaku pria tersebut dalam mengungkapkan emosi.

    Diperlukan waktu yang tidak sebentar bagi seorang anak laki-laki untuk terbiasa mengungkapkan perasaan. Jadi, sabar ya Bu, yang penting tetap dukung dan dampingi anak.

    Jika anak terlihat seperti menyimpan masalah, tanyakanlah pada anak sekali, dua kali. Namun, hindari mendesak ia untuk bercerita atau menghujaninya dengan pertanyaan jika ia menolak menjawab. Sebaliknya peluk ia dan katakan padanya bahwa ibu selalu siap kapanpun ia ingin bercerita. 

  4. Belajar dari perilaku agresif

    Sebagai wanita, ibu sering merasa terganggu jika anak laki-laki gemar bermain tembakan atau video games yang menunjukkan pertempuran dan perkelahian. Namun, apa yang ibu lihat sebagai kekerasan bagi anak merupakan impiannya untuk menjadi pahlawan dan “menyelamatkan dunia”.

    Permainan imajinatif yang melibatkan perilaku agresif –misal polisi dan penjahat, zombie dan tentara- dapat menjadi cara mendidik anak laki-laki yang efektif akan konsep benar dan salah. Bermain seperti ini juga dapat meningkatkan kepercayaan diri serta kesetiakawanan.

    Gloria DeGaetano, pendiri Parent Coaching Institute, sempat bertekad untuk tidak membelikan anak laki-lakinya permainan berbau kekerasan, seperti senapan mainan. Namun, anak-anak ternyata lebih kreatif dalam keadaan serba terbatas: tongkat difungsikan layaknya pedang atau tembakan. Bahkan, roti tawar pun digigit sedemikian rupa hingga berbentuk seperti pistol.

    Pada titik ini, Gloria menyerah dan membelikan anaknya mainan sejenis berkualitas baik yang aman untuk anak. Yang perlu diperhatikan ketika anak bermain imajinasi yang berbau kekerasan adalah pastikan anak tidak memiliki niat untuk menyakiti orang lain.

    Jika anak merasa permainan terlalu kasar, ia akan berhenti. Apabila kita melihat bahwa permainan ini membuat anak frustrasi, gunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan konsep empati, yaitu proses untuk memahami perasaan orang lain. Dari sini, anak belajar bahwa menyakiti orang lain itu tidak boleh. Mereka pun belajar menyesuaikan diri dengan orang lain.  Cara mendidik anak laki-laki seperti inilah yang mungkin tidak dapat ibu terapkan pada anak perempuan.

    Meskipun permainan fisik yang bersifat kompetitif semacam ini sangat normal untuk anak laki-laki, tidak semua anak memiliki kadar agresi yang sama dan tidak semua ibu memiliki tingkat toleransi yang sama. Jika ini yang terjadi, ibu bisa mengalihkan anak ke permainan lain yang juga melibatkan aspek fisik.

  5. Didik berdasar tahapan usia

    Dalam buku Raising Boys, Steve Biddulph membagi cara mendidik anak laki-laki dalam tiga tahapan usia. Pada usia 0-6 tahun, anak laki-laki membutuhkan banyak perhatian dan kasih sayang agar mereka dapat belajar menyayangi. Berbicara secara langsung, mengajari secara personal, dapat membantu mereka mengenal dunia. Pada tahapan usia ini, ibu adalah sosok yang paling tepat untuk mengajari anak laki-laki meskipun ayah juga dapat berperan serta.

    Pada usia enam tahun, anak laki-laki mulai menunjukkan ketertarikan pada maskulinitas dan hal-hal berbau pria. Karena itulah, saatnya ayah mengambil alih peran ibu sebagai pendidik utama. Minatnya akan suatu hal menjadi penting di masa ini. Peran ibu tetap besar, sehingga jangan mendadak mundur hanya karena anak sudah bertambah besar.

    Sekitar umur 14 tahun, anak laki-laki membutuhkan mentor, yaitu orang dewasa lain yang memperhatikan mereka dan membantu mereka untuk “pindah” dari dunia kanak-kanak mereka ke dunia yang lebih besar. Masyarakat tradisional melakukan upacara adat untuk menandai transisi ini, sehingga mentor pada saat itu tidak susah dicari. Pada masa sekarang, sosok yang dapat menjadi mentor antara lain paman, kakak kelas, guru di sekolah, pelatih di kegiatan ekstrakurikuler atau kursus.

    Pertanyaannya, mengapa bukan ayah yang mendidik anak laki-laki pada tahap ini? Hormon testosteron anak laki-laki meningkat hingga 800% pada usia ini, hubungan dengan ayah akan seperti roller coaster. Anak senang berdebat, selalu mempertanyakan banyak hal yang tidak sesuai dengan prinsipnya, termasuk mengkritisi ayahnya sendiri.

    Anak memiliki bayangan ideal tentang bagaimana seorang ayah sebaiknya bersikap, ayah pun memiliki harapan tentang perilaku anak. Sayangnya, dua hal tersebut jarang ada yang cocok. Karena itu, ibu harus memastikan bahwa mentor anak adalah orang yang tidak bermasalah dan layak dijadikan panutan.

    Tahap lain dalam tumbuh kembang anak laki-laki baru ditemukan tahun lalu oleh peneliti dari Melbourne’s Royal Children’s Hospital dalam sebuah penelitian yang melibatkan 1.200 anak yang hampir memasuki masa remaja. Tahap yang disebut adrenarche ini muncul pada usia 8-9 tahun, dimana terjadi peningkatan hormon adrenal yang mempengaruhi kinerja otak pula. Anak laki-laki ibu akan lebih mudah sedih, cemas, lepas kendali, dan menunjukkan perilaku yang tidak seperti biasanya.

    Hal ini akan membingungkannya, sekaligus orang tuanya. Tahap adrenarche ini  adalah fase pertama dari pubertas meskipun tanda-tanda fisik tidak akan muncul hingga tiga atau empat tahun setelahnya. Fase adrenarche pada anak perempuan langsung diikuti oleh perubahan fisik dan tuntas pada usia 14 tahun. Anak laki-laki baru berhenti bertumbuh dan matang pada usia 16 atau 17.

  6. Tanamkan sikap menghargai wanita

    Banyak kasus kekerasan pada perempuan berakar dari cara yang salah dalam mendidik anak laki-laki, yaitu lupa mengajarkan mereka bagaimana menghargai wanita. Budaya dan lingkungan pun memiliki andil dalam membentuk pola pikir yang memposisikan pria lebih tinggi daripada wanita. Karena itu, peran orang tua dalam keluarga sangat penting untuk mengikis ketimpangan ini agar anak laki-laki juga dapat menghargai perempuan.

    Salah satu caranya adalah dengan mengajarkan mereka untuk jangan pernah memukul, menyakiti, bersikap kasar, dan tidak hormat pada perempuan diawali dari ibu dan saudaranya sendiri. Ayah dan ibu harus membahas hal ini secara jelas pada anak tentang bagaimana seorang pria harus bersikap. Sampaikan dengan gamblang tanpa membuat anak merasa hal tersebut menakutkan atau berat. Dalam keseharian, cara mendidik anak laki-laki agar mampu menghargai wanita adalah dengan membiasakan ia untuk membersihkan sendiri piringnya di dapur, merapikan kamarnya sendiri, sehingga ia tidak menganggap hal-hal seperti ini adalah tugas ibunya, pembantunya, atau wanita pada umumnya.

    Saat ia menginjak usia 14 tahun, ketika badannya sudah lebih besar dari ibu dan perempuan pada umumnya, anak mulai berpikir bahwa tidak ada yang dapat memaksanya melakukan sesuatu. Jika anak mulai tidak sopan terhadap ibu, misal menyuruh ini itu atau membentak, di sinilah ayah harus turun tangan. Ayah perlu tegas terhadap anak –tidak perlu membentak- dan bersama dengan ibu menyelesaikan masalah tersebut.

    Banyak kasus di mana ayah seolah lepas tangan dengan sikap tidak sopan anak laki-lakinya dan menganggap hal tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Lebih buruk lagi, ayahlah yang memberi contoh buruk cara memperlakukan ibunya. Jika ini yang terjadi, sang ayah tidak mendidik anak laki-lakinya dengan benar, terlepas dari terpenuhinya segala kebutuhan anak.

    Bagaimana dengan ibu tunggal (single mother)? Cara mendidik anak laki-laki seperti langkah-langkah di atas tetap dapat dilakukan oleh ibu tunggal, namun ia harus mencari sosok laki-laki dewasa yang dapat anak jadikan panutan sebagai pengganti ayah.

    Sosok ini dapat berupa kakek, paman, guru, atau teman ibu yang dapat dipercaya dan sering hadir dalam kehidupan anak. Selain itu, ibu harus memiliki waktu untuk diri sendiri untuk beristirahat dari peran ganda yang dijalankan.

  7. Waktu = kasih sayang

    Di dunia serba sibuk seperti sekarang, banyak orang tua yang memiliki waktu yang terbatas dengan anak-anaknya. Sebagai kompensasi atas kebersamaan yang hilang, banyak yang menghujani anak dengan materi. Padahal, bukan ini yang anak butuhkan. Ingatlah satu prinsip bahwa waktu sama dengan kasih sayang. Seseorang menyayangi orang lain jika ia mampu mencurahkan waktunya dan perhatiannya untuk orang tersebut. Kuantitas sama pentingnya dengan kualitas.

    Dalam hal ini, cara mendidik anak laki-laki dan perempuan sama, yaitu sediakan waktu untuk mereka sebagai bukti ibu menyayangi mereka. Yang membuat masa kecil itu indah adalah memori. Pastikan ibu mengukir memori indah dengan anak.

Pesan khusus untuk para ayah, meskipun peran dalam masyarakat memposisikan ayah sebagai pekerja pencari nafkah, berjuanglah semaksimal mungkin untuk memiliki waktu bersama anak. Hal sederhana seperti bermain dan mengobrol akan sangat berarti bagi anak, begitu juga dengan traveling.

Terkadang, ADD (Attention Deficit Disorder) bisa berarti DDD (Dad Deficit Disorder) atau kurang perhatian ayah. Dalam mendisiplinkan anak, berbagilah peran dengan istri. Jangan mendidiknya dengan kekerasan karena anak pun akan melakukan hal yang sama pada orang lain. Terakhir, jadilah contoh yang baik baginya. Anak laki-laki meniru perilaku ayah dalam banyak hal, sesederhana cara berbicara hingga pola pikir.

(Menur)