Balita

11 Manfaat Tersembunyi ketika Anak Tantrum

11 Manfaat Tersembunyi ketika Anak Tantrum

Mungkin Ibu pernah mengalami pengalaman kurang menyenangkan perihal anak tantrum. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh perkembangan kemampuan bahasa ekspresif yang tidak seimbang dibandingkan dengan kemampuan bahasa reseptif anak.

Kemampuan bahasa reseptif pada anak usia 2 tahun jumlahnya ribuan, sedangkan kemampuan bahasa ekspresif umumnya hanya 150 sampai 200 kata. Kemungkinan yang membuat si batita frustrasi dan berkembang menjadi anak tantrum adalah kemampuannya untuk memahami struktur kalimat kompleks sedang ia hanya bisa mengungkapkan keinginannya dalam 2 hingga 3 kata saja.

Dunia batita penuh dengan eksplorasi. Anak kecil belajar melalui observasi dan berulang kali mencoba. Ketika keinginan orang tua untuk menjaga keamanan anak berbenturan dengan usaha anak untuk mandiri dan kemampuan bahasanya yang terbatas, muncullah anak tantrum .

  

Apa hal penting ketika anak tantrum?

Percaya tidak Ibu? Tantrum penting loh untuk  kesehatan emosional anak. Ketika anak tantrum adalah fase paling menantang bagi orang tua. Kita cenderung merasa sebagai orang tua yang baik ketika si kecil senang dan tenang, tapi merasa tak berdaya dan kewalahan ketika anak berada di lantai sambil menendang-nendang dan berteriak. Tapi percaya deh Bu, tantrum pada anak jadi bagian penting untuk kesehatan emosionalnya, dan kita bisa belajar untuk jadi lebih tenang ketika menghadapi anak tantrum. Berikut ini alasan kenapa anak tantrum, terlebih pentingnya tantrum bagi batita:

  

  1. Lebih baik diekspresikan daripada dipendam

    Air mata mengandung kortisol, yang merupakan hormon stres. Ketika kita menangis, kita sebenarnya melepaskan stres dari tubuh. Air mata diketahui bisa menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kondisi emosi. Ibu bisa lihat ketika anak tantrum, tak ada yang benar menurutnya. Ia marah, frustrasi, atau merajuk. Ibu juga lihat setelah tantrum berlalu, ia berada di mood yang jauh lebih baik. Sebaiknya orang tua membiarkan anak tantrum tanpa mencoba mengganggu prosesnya sampai anak tuntas.

  2. Menangis membantu anak belajar

    Seorang anak tantrum karena merasa kesulitan bermain lego. Tapi setelah selesai tantrum, ia duduk dan memperbaiki legonya. Ketika anak tantrum mengalami kesulitan dan kemudian ia mengungkapkan frustrasinya, ini membantunya menjernihkan pikiran sehingga bisa belajar hal baru.  

    Belajar bagi anak sealami bernapas. Tapi ketika anak tantrum tidak bisa berkonsentrasi atau mendengarkan, biasanya ada masalah emosi yang menghambat proses ini. Agar proses belajar berjalan, anak harus senang dan rileks, dan mengekspresikan emosi jadi bagian dari proses ini.

  3. Anak tantrum jadi tidur lebih baik

    Masalah tidur sering terjadi karena orang tua mengira pendekatan terbaik untuk tantrum adalah mencoba menghindarinya. Seperti orang dewasa, anak juga terbangun karena stres atau berusaha memproses sesuatu yang terjadi di hidupnya. Membiarkan anak mengakhiri tantrum meningkatkan kondisi emosi dan bisa membantu anak tidur sepanjang malam. 

  4. Orang tua mengatakan “tidak,” dan ini sikap yang tepat

    Kemungkinan besar anak tantrum karena orang tua mengatakan “tidak.” Dan ini hal bagus. Mengatakan “tidak” memberi anak batasan yang jelas tentang perilaku yang bisa diterima dan yang tidak bisa diterima.

    Kadang kita menghindari mengatakan “tidak” karena kita tidak mau berurusan dengan masalah emosi. Tapi orang tua harus tetap tegas dengan batasan ketika menawarkan, berempati dan memberi pelukan. Mengatakan “tidak” berati Ibu tidak takut berantakan.

  5. Anak merasa aman mengatakan apa yang ia rasakan

    Pada kebanyakan kasus anak tantrum, mereka tidak menggunakannya untuk memanipulasi atau mendapat apa yang mereka mau. Sering kali anak menerima kata “tidak,” dan tantrum adalah ekspresi perasaannya tentang hal ini.

    Ibu bisa tegas dengan kata “tidak,” dan berempati dengan kesedihan anak. Kesal karena kuenya hancur atau warna kaos kaki yang salah hanya awalnya, yang ia butuhkan adalah cinta dari Ibu.

  6. Saat anak tantrum justru membantu menjalin kedekatan

    Mungkin sulit untuk mempercayai hal ini tapi tunggu dan buktikan sendiri. Anak tantrum sepertinya tidak menghargai keberadaan Ibu, tapi tidak demikian. Biarkan ia melewati badai perasaannya tanpa Ibu mencoba memperbaikinya atau mencoba menghentikannya. Jangan banyak bicara, tapi ucapkan kata yang menenangkan. Tawarkan pelukan. Anak akan merasakan penerimaan Ibu yang tanpa syarat dan merasa lebih dekat dengan Ibu setelahnya.

  7. Tantrum membantu perilaku jangka panjang anak

    Kadang emosi anak tantrum tertuang dalam bentuk seperti agresi, sulit berbagi, atau menolak bekerja  sama untuk tugas sederhana seperti memakai baju atau menggosok gigi. Ini adalah tIbu umum kalau anak kesulitan dengan emosinya. Tantrum membantu anak melepaskan perasaan yang bisa mengganggu perilaku kooperatif alami.

  8. Bila tantrum terjadi di rumah, berkurang kemungkinan tantrum terjadi di tempat umum

    Ketika anak sepenuhnya mengungkapkan emosinya, maka ia akan sering memilih untuk tantrum di rumah, di tempat di mana ia merasa orang tua lebih mendengarkan. Semakin banyak kita punya waktu dan ruang untuk mendengarkan perasaan anak yang kesal di rumah, semakin sedikit perasaan anak yang tidak terungkapkan.

  9. Anak melakukan apa yang banyak orang lupa bagaimana melakukannya

    Ketika anak bertambah besar, ia jadi semakin jarang menangis. Ini karena anak belajar untuk mengatur emosi. Bisa juga karena ia belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak begitu menerima ekspresi emosi. Ketika kita marah atau stres pada anak, sering kali karena kita butuh menangis juga. Sulit bagi orang dewasa, khususnya pria, untuk melepaskan perasaan ini. Jadi biarkan anak mengalami tantrum agar emosinya bisa mengalir bebas.

  10. Meningkatkan rasa percaya diri

    Selama masa batita, anak mulai mengerti kalau mereka terpisah dari orang tua. Mereka mengembangkan rasa otonomi, menyadari kalau mereka bisa mengatakan “tidak” untuk menunjukkan kemandirian. Tantrum bisa jadi kepanjangan dari pengetahuan ini, ketika anak di antara membutuhkan Ibu dan merasa nyaman melakukan semua sendiri.

  11. Saat anak tantrum menjadi momen “menyembuhkan” bagi orang tua juga

    Ketika kita mendampingi saat anak tantrum, ini bisa menghilangkan sebuah perasaan besar dalam diri kita. Ketika kita kecil, orang tua mungkin tidak mendengarkan kemarahan kita dengan berempati. Melihat Anak tantrum bisa memicu memori bagaimana kita diperlakukan yang mungkin kita tidak menyadarinya. Menjadi orang tua bisa jadi cara menyembuhkan masalah emosi dalam diri bila kita mendapat dukungan dan kesempatan untuk mendengarkan diri sendiri.

    Setelah momen emosional bersama anak, luangkan waktu untuk menyembuhkan diri, bicaralah pada teman, tertawa, dan mungkin menangis sendiri. Untuk bisa tetap tenang butuh latihan tapi ketika kita berhasil, kita mengirim pesan ke otak untuk jadi lebih tenang dan jadi orang tua yang lebih damai.


Fakta menarik seputar anak tantrum

Fakta berikut ini akan membantu Ibu lebih memahami tantrum pada anak:

  • Tantrum adalah perilaku yang umum pada anak usia 2 hingga 4 tahun. Meski menjengkelkan bagi orang tua, tantrum merefleksikan keinginan mandiri batita yang normal disertai kemampuan neurologikal yang belum matang (seperti kemampuan mengungkapkan bahasa) di rentang usia ini.

  • Orang tua bisa mengatasi anak tantrum dengan tetap bersikap tenang dan objektif serta tidak memberi reward untuk perilaku anak. Meninggalkan anak selama tantrum mengajarkan ke anak kalau pendekatan yang ia lakukan tidak berhasil. Time out juga jadi alat efektif yang bisa dicoba orang tua.

  • Ada beberapa strategi untuk mencegah anak tantrum. Ekspektasi perilaku yang realistis, membiarkan anak menentukan pilihan dalam aktivitas sehari-hari dan memberi reward untuk perilaku baik jadi teknik yang efektif.

  • Jika anak tantrum terlalu ekstrim dan berlebihan, berlangsung lama serta melibatkan kekerasan terutama yang diarahkan ke adik kecil atau anak lain, atau orang tua kehilangan kontrol, membutuhkan perhatian dokter anak.

  • Tantrum mengikuti pola yang bisa diprediksi. Mungkin terlihat seperti kekacauan, tapi ketika anak tantrum sebenarnya lebih seperti simfoni, dengan puncak dan akhir yang bisa diprediksi. Fase satu terjadi ketika anak tantrum berteriak, fase dua anak melempar benda atau menjatuhkan diri ke lantai. Meski meronta-ronta di fase dua sepertinya puncak tantrum, sebenarnya ini tanda tantrum sudah melewati puncaknya dan mulai menurun, masuk ke fase tiga, ketika anak menangis dan merajuk. Orang tua perlu menunggu hingga fase tiga sebelum turun tangan menenangkan anak. Lalu apa yang Ibu lakukan untuk menghadapi fase dua dan tiga?

  • Abaikan tantrum agar hilang dengan sendirinya. Cara paling cepat untuk mengakhiri saat anak tantrum adalah dengan tidak menambah bahan bakarnya, yang berarti Ibu perlu mengabaikannya. Berpaling dari anak bila memungkinkan dan jangan menjadi marah atau emosi, karena dari perspektif anak, perhatian negatif lebih baik dibanding tidak ada sama sekali. Ini memang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, tapi semakin Ibu mengabaikan anak, semakin cepat tantrum berlalu. Ketika orang tua tetap diam, teriakan anak semakin berkurang.

  • Sebenarnya ada tiga tipe tantrum. Attention tantrum adalah tipe dimana anak tantrum namun masih bisa bermain tenang tapi kemudian meledak-ledak segera setelah Ibu mengalihkan perhatian saat menerima telepon. Tangibles tantrum, anak tantrum ketika ia ingin sesuatu yang tidak bisa ia miliki, seperti permen saat berada di minimarket. Command avoidance tantrum terjadi ketika anak menolak mengubah apa yang ia lakukan, seperti mandi atau tidur. Untuk dua tipe pertama, yang paling baik adalah mengabaikannya karena perhatian Ibu adalah yang anak inginkan. Untuk command avoidance tantrum, Ibu perlu bersikap lebih tegas. Katakan, “Ibu akan hitung sampai 5. Di hitungan ke-5, kamu harus membereskan mainan dan ganti baju untuk tidur.” Menghitung jadi cara yang bagus karena anak tidak bisa segera beralih ke aktivitas yang enggan dilakukan, dengan menghitung berarti memberi anak waktu untuk menyesuaikan. Bila di hitungan kelima anak tidak melakukan yang Ibu minta, letakkan tangan Ibu pada anak dan bimbing ia untuk melakukan permintaan Ibu. Batita biasanya tidak suka dikontrol dengan cara ini dan akan mencoba menghindarinya di lain waktu.

  • Bila Ibu merasa terdesak, seperti terlambat ke suatu acara dan anak merajuk minta permen, kadang yang terbaik untuk kewarasan Ibu adalah menyerah dan mengikuti kemauan anak. Tapi jangan menyangkal permintaan anak lalu menyerah, karena ini mengajarkan anak ketika ia bersikap gigih dan keras kepala, ia akan mendapat apa yang diinginkan.

  

Bisakah kita mencegah terjadinya anak tantrum?

Meski tidak realistis bila orang tua ingin menghilangkan semua tantrum anak, masih bisa menurunkan frekuensi dan intensitasnya. Berikut ini beberapa saran dari para ahli:

  • Orang tua perlu belajar bagaimana mengatasi frustasi dan kemarahan sendiri dengan cara yang efektif, karena anak belajar dengan mengamati.

  • Buat ekspektasi yang realistis untuk perilaku anak di rentang usianya. Mengharap batita tetap duduk tenang selama sesi ibadah atau ketika berada di restoran mewah hanya akan memicu frustrasi bagi orang tua dan anak.

  • Bantu anak menemukan cara verbal yang tepat untuk mengekspresikan frustr Ibu bisa katakan, “Ibu tahu kamu marah waktu Ibu nggak membolehkan kamu main pisau, tapi kamu nanti bisa luka.”

  • Berikan reward ketika melihat perilaku baik anak.

  • Kurangi situasi yang berpotensi tantrum dengan memberi pemberitahuan lebih dulu. Misalnya, “Kita pergi dari taman ini setelah kamu main perosotan dua kali.” Ini memberi anak kesempatan untuk mengontrol situasi dan mengembangkan pendekatan alternatif untuk peristiwa yang menimbulkan frustrasi.

  • Batita menginginkan kontrol. Berikan pilihan sederhana dan beri pujian untuk apapun yang jadi pilihannya. Misalnya, “Kamu mau apel atau pisang? Apel, Ibu juga suka apel.” Tak perlu katakan, “Kalo kamu nggak makan apel ini, kamu nggak boleh kemana-mana sampe apelmu habis.” Hampir tiap orang tua tahu kalau ancaman ini tidak dapat diterapkan.

  • Sebisa mungkin buat perencanaan lebih dulu dan hindari situasi yang memicu konflik. Misalnya, perjalanan ke pasar selama satu jam di siang hari terasa berat untuk Ibu dan si kecil. Lakukan di pagi hari, dengan catatan anak boleh main di taman bila berperilaku baik.

 

Bagaimana seharusnya orang tua menghadapi anak tantrum?

Selama bertahun-tahun, orang tua dan psikolog telah mengembangkan sejumlah saran untuk membantu mengatasi anak tantrum, antara lain:

  • Jangan terpicu emosi karena situasi. Tetap tenang dan jangan emosional. Bila memungkinkan, misalnya di rumah, beritahu anak kalau Ibu tidak mengerti omongannya ketika ia berperilaku tantrum dan tinggalkan ruangan. Informasikan ke anak kalau ia mau tenang Ibu akan bicarakan apa yang ia inginkan.

  • Coba alihkan dan arahkan anak. Banyak orang tua merasa kalau strategi ini lebih berhasil pada anak yang lebih kecil.

  • Disiplin perlu diaplikasikan dan tanpa emosi orang tua. Rekomendasi time out satu menit per usia anak bisa diterapkan. Berikan penjelasan verbal singkat seperti, “Kamu akan dapat time out karena mencubit adik. Kita tidak mencubit karena bikin sakit.”

  • Sadari kalau tantrum adalah cara anak menguji batas Ibu serta cara untuk melampiaskan emosi. Bila anak menyadari kalau ia lebih mungkin berhasil di kondisi tertentu, misalnya ketika antre di pusat perbelanjaan, ia akan bertahan di lokasi ini. Orang tua bisa sangat frustrasi oleh tantrum anak di tempat umum. Jangan khawatir, hampir semua orang tua pernah mengalami hal serupa.

  

Apakah hukuman diperlukan untuk anak tantrum?

Tantrum pada anak usia 2 hingga 4 tahun dianggap jadi bagian yang normal dari perkembangannya. Di usia 4 tahun, kebanyakan anak telah mengembangkan kemampuan kontrol diri serta kemampuan bahasa yang akan mengurangi frekuensi dan intensitas tantrum. Ibu bisa bicarakan ke dokter anak bila anak mengalami tantrum lebih dari 3 kali dalam satu minggu.

Ketika tantrum semakin jarang terjadi, anak memiliki kemampuan ekspresif verbal yang meningkat. Selain itu, anak juga mengembangkan teknik yang lebih berhasil untuk mencapai tujuannya. Proses pematangan ini membutuhkan peran orang tua sebagai contoh bagi anak. Bila orang tua menaikkan suara, melempar benda, atau menggunakan kekerasan fisik, anak akan melihat ini sebagai contoh bagaimana orang dewasa mengatasi frustasi.

(Ismawati & Yusrina / Dok. Pexels)