Kehamilan

3.2 Juta Anak Lahir Dengan Kelainan Bawaan, Cegah Risiko Bayi Cacat Sejak Dini!

3.2 Juta Anak Lahir Dengan Kelainan Bawaan, Cegah Risiko Bayi Cacat Sejak Dini!

Tiap orang tua, tentu menginginkan bayi yang lahir ke dunia dalam keadaan fisik yang sempurna, tanpa kekurangan apapun. Sayangnya, menurut data dari Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setidaknya ada sekitar 3,2 juta anak di dunia yang lahir dengan kelainan bawaan, lho Parents!

Jelas, hal ini bikin hati kita sebagai orang tua jadi merasa sedih dan prihatin. Sementara itu ada 300 bayi dengan diagnosis cacat lahir yang meninggal, dalam 28 hari pertama setelah dilahirkan.

Tentunya melalui data ini, bikin kita jadi penasaran sebenarnya ada nggak sih upaya yang bisa kita lakukan untuk mengetahui kondisi bayi cacat dalam kandungan sejak dini? Lalu, apa saja hal yang bisa dilakukan sebagai upaya mencegah bayi cacat ketika lahir?

Yuk simak ulasan yang sudah Ibumin rangkum berikut ini, dalam Instagram Live Ibupedia bersama Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, dr. Ivander Utama, F.MAS, SpOG, MSc.

Apa saja yang jadi faktor penyebab dan kelainan janin? 

Menurut sang dokter, jika berbicara mengenai kecacatan janin sebenarnya sangat beragam. Namun, yang perlu digaris bawahi adalah, nggak semua kondisi bayi cacat bisa dideteksi sejak awal hamil.

Sebab, terkadang dokter perlu mengamati terlebih dahulu dan membutuhkan banyak waktu untuk menyimpulkan adanya kemungkinan kecacatan pada bayi dalam kandungan.

“Contohnya, saya punya pasien yang sejak awal kehamilan kesehatan janin dalam kandungan selalu baik. Namun, pada trimester ke 3, baru terdeteksi bahwa calon bayi terdiagnosa hidrosefalus (kelebihan cairan pada bagian otak),” jelas dokter Ivander.

Itu sebabnya, hanya dengan satu kali melakukan pemeriksaan kesehatan dan screening kondisi bayi dalam kandungan, belum tentu bisa langsung mendeteksi adanya kemungkinan bayi cacat. Akan tetapi, jika terdapat satu kelainan cacat lahir yang dicurigai sejak hamil, biasanya dokter akan mencari sampai ke akarnya.

Sebagai contoh, ketika bayi lahir dengan cacat kongenital jantung. Dokter akan memeriksa bagian tubuh lain, yang mungkin saja juga mengalami suatu kelainan.

Sayangnya, jika kondisi bayi cacat disebabkan oleh kongenital jantung, terkadang baru bisa terdeteksi ketika sang bayi lahir. Jadi, pada beberapa kondisi, kelainan jantung bawaan ini nggak bisa terdeteksi saat di dalam kandungan.

Jadi, kalau ditanya mengenai definisi bayi cacat, dokter Ivander menyimpulkan bahwa, hal ini terkait dengan ketidaksempurnaan dalam hal fungsi. Dengan kata lain, organnya ada, tapi fungsinya abnormal.

Sehingga, jika disimpulkan kelainan atau bayi cacat bisa disimpulkan ke dalam tiga kategori:

  • Kelainan fungsi
  • Kelainan bentuk (morfologi)
  • Kelainan kromosomal.

Untuk kelainan fungsi, dokter nggak bisa mendeteksi jika hanya melalui pemeriksaan USG. Contohnya seperti, buta warna (genetik), autisme dan lain sebagainya.

Namun bisa juga kelainannya merupakan kelainan bentuk atau morfologi layaknya, bibir sumbing. Akan tetapi, pada kasus kelainan bawaan bibir sumbing bisa terdeteksi sejak kehamilan.

Sementara itu, pada kelainan kromosomal (kromosom rusak) yang paling umum ditemukan contohnya down syndrome. Angka kemungkinan cacat bawaan kromosom ini, akan makin meningkat seiring dengan semakin matangnya usia Ibu saat hamil.

Yup! Faktor usia memang menjadi penyebab bayi cacat yang paling krusial (di atas usia 35 tahun). Untuk itu, di atas usia tersebut, jika masih ingin hamil disarankan untuk melakukan program hamil dengan tepat ke dokter.

Selain itu, faktor penyebab bayi cacat lainnya yang paling sering dijumpai adalah:

  • Penyakit bawaan yang diderita Ibu, seperti infeksi siphilis, atau kedua orang tua yang punya kelainan darah seperti Thalasemia
  • Ibu yang selama hamil sering mengalami demam tinggi dengan suhu di atas 40 derajat Celcius
  • Orang tua yang memiliki genetik albino
  • Paparan obat-obatan tertentu yang sifatnya teratogenik, yang menimbulkan ketidaksempurnaan pada organ tubuh janin.

Itulah mengapa, menurut dokter Ivander, semua kehamilan harus selalu direncanakan dengan baik dan matang. Jadi, pada usia berapapun Parents ingin hamil, jika direncanakan dengan baik maka bisa meminimalisir risiko kemungkinan bayi cacat.

Apakah faktor gaya hidup orang tua memengaruhi risiko kecacatan pada bayi?


Yes! Secara keseluruhan faktor gaya hidup kedua orang tua juga cukup berpengaruh pada kemungkinan bayi cacat ya, Parents. Sebagai contoh, dokter Ivander menggambarkan faktor gaya hidup dari pihak calon Ayah, yang jarang disadari.

Seringnya, bayi lahir cacat hanya dilihat dari pihak Ibu saja. Padahal, dari pihak Ayah juga ada risikonya. Apalagi jika ia merupakan perokok aktif.  

Di mana calon Ayah yang merokok aktif sangat berisiko besar menyumbang risiko kecacatan lahir pada bayi. Rokok adalah salah satu faktor risiko kecacatan bayi yang paling sering dan paling tinggi.

Merokok mungkin nggak bikin bayinya cacat secara langsung. Tapi, Ayah yang merokok meningkatkan risiko bayi lahir prematur atau berat badan bayi lahir rendah.

Ketika bayi lahir prematur, maka organ dalamnya belum siap sempurna. Merokok juga meningkatkan risiko bayi kecil atau lahir dengan berat badan rendah, di mana 70% hal ini bisa meningkatkan risiko bayi terganggu tumbuh kembangnya.

Hal ini juga dibuktikan dari penelitian tahun 2019 yang dilakukan oleh European Society of Cardiology menunjukkan calon Ayah yang merokok aktif berisiko tinggi menyebabkan bayi cacat dengan kelainan jantung. Sehingga, bukan tidak mungkin di kemudian hari bayi juga berisiko mengalami gangguan tumbuh kembang atau stunting, yang otomatis bisa menurunkan angka kecerdasan pada anak.

Cara mengetahui bayi cacat dalam kandungan


Menurut dokter Ivander, kalau berbicara mengenai fungsi, nggak akan bisa kelihatan secara langsung. Karena meski bentuk organnya bagus, belum tentu fungsinya normal.

Namun, untuk mendeteksi kelainan bawaan pada janin, biasanya dokter tetap akan mendeteksi melalui bentuk dan kondisi di awal trimester pertama kehamilan. Jika semua bentuk normal dan baik, dan dokter masih belum yakin dan curiga adanya kecacatan pada bayi, mungkin juga akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Misalnya ketika melakukan USG dan dokter mendeteksi bentuk lambung normal, itu artinya bayi aman dan kelak ia bisa menelan minuman atau makanan dengan baik. Contoh yang kedua, kalau bayinya laki-laki ada buah zakarnya atau tidak.

Kalau tidak ada, sudah pasti fungsi reproduksi bayi terganggu dan mengalami kecacatan. Mengenai pemeriksaan seperti apa yang bisa mendeteksi bayi cacat selain USG, dokter Ivander mengatakan sejauh ini USG tetap jadi modalitas utama yang penting dilakukan oleh dokter untuk memeriksa bayi cacat lahir.

Setidaknya alat ini bisa membantu dokter mendeteksi kelainan bentuk atau morfologi. Menariknya, banyak orang sering salah kaprah mengenai jenis USG yang digunakan. Mereka menganggap USG 4 Dimensi lebih bisa mendeteksi kelainan pada janin dengan jelas.

“USG 3 Dimensi maupun 4 Dimensi tidak mencerminkan bentuk bayi lebih bagus atau jelas. Jadi modalitas utama sebenarnya cukup dengan USG 2 Dimensi,” tambah dokter Ivander.

Pemeriksaan selanjutnya, tergantung dari kecurigaan dokter dengan kondisi bayi. Jadi, nggak selalu memerlukan pemeriksaan yang canggih untuk mendeteksi kecacatan pada bayi (jika ingin mendeteksi kelainan bentuk atau morfologi).

Kadang-kadang kita memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih efektif, namun secara cost mungkin lebih mahal dan nggak semua rumah sakit memiliki fasilitas ini. Ketiga, USG dengan alat doppler merupakan alat yang paling sering digunakan oleh dokter Ivander untuk mendeteksi kelainan pada bayi (melihat blood flow atau aliran darah).

Bisa juga melakukan pemeriksaan sampel jaringan plasenta atau air ketubah untuk mendeteksi adanya kelainan kromosom penyebab cacat janin. Namun, ini merupakan tindakan invasif yang bisa membahayakan kehamilan.

Pada intinya yang jelas, semua pemeriksaan ini nggak ada artinya kalau dokter nggak melihat keluhan dari pasien itu sendiri. Karena terkadang, keluhan pasien juga bisa menandakan adanya masalah pada bayi dalam kandungannya.

Cegah bayi cacat, USG kehamilan harus berapa kali?

  • Trimester pertama: 1-2 minggu sekali, hal ini dilakukan sebab perubahan-perubahan akan terjadi sangat pesat pada trimester awal. Dokter harus memastikan kehamilannya benar ada, kehamilan ada di dalam rahim, serta memastikan adanya detak jantung bayi. Biasanya memerlukan USG Transvaginal agar lebih rinci
  • Di akhir trimester pertama: Screening USG untuk mendeteksi adanya kelainan yang sifatnya kromosomal
  • Awal trimester kedua: Bisa kontrol satu bulan sekali saja, dengan catatan tidak ada keluhan
  • Trimester ketiga: USG 2 minggu sekali dan 1 minggu sekali jelang persalinan.

Tapi yang perlu ditekankan lagi, kadang dokter juga perlu lebih sering memeriksakan kondisi kehamilan Ibu lebih sering atau lebih awal. Contoh di trimester kedua, yang biasanya disarankan kontrol sebulan sekali, dokter mungkin akan menyarankan untuk datang kontrol lebih awal

Terutama jika dokter menemukan ada sesuatu yang abnormal atau dicurigai ada kelainan. Sehingga, diperlukan kerjasama yang baik juga antara dokter dan pasien untuk tertib melakukan pemeriksaan kehamilan.

Bisa dikatakan, tidak ada patokan usia kehamilan berapa dokter bisa mendeteksi adanya kelainan pada janin. Namun, sebagian besar bisa dideteksi di trimester pertama.

Tapi, keterampilan dokter, posisi bayi, alat USG, ukuran bayi, ketebalan perut Ibu, kadang bisa menyulitkan dokter mendeteksi bayi cacat di trimester awal. Sehingga, dokter tetap perlu mengevaluasi lagi ke depannya.

Cara mencegah bayi cacat dalam kandungan


Untuk mencegah kecacatan pada bayi sebenarnya bisa dilakukan di masa pra konsepsi sebelum kehamilan. Tujuannya untuk memperbaiki faktor-faktor yang bisa calon orang tua perbaiki sebelum hamil.

Contohnya, obesitas yang bisa berisiko meningkatkan gangguan kognitif pada kecerdasan otak bayi. Selain itu juga diabetes, karena diabetes sangat erat kaitannya dengan kecacatan pada janin, risiko keguguran dan lainnya.

Selain itu, faktor gaya hidup calon orang tua seperti berhenti merokok juga sangat memengaruhi. Meski begitu dokter Ivander menekankan, ada faktor lain yang nggak bisa diubah maupun diperbaiki

“Misalnya terkait usia Ibu saat hamil dan genetik. Namun ketika calon orang tua sudah menyadari bahwa usianya untuk hamil sangat berisiko, maka sebaiknya perlu perencanaan yang matang dan tidak boleh menunda kehamilan lagi,” tambahnya.

Bolehkah menggugurkan kandungan ketika tahu bayi cacat? 


Ketika calon orang tua telah mengetahui bayi cacat, kira-kira menggugurkan bayi cacat bisa dilakukan? Dokter Ivander pun kembali menekankan, calon orang tua maupun dokter sejatinya tidak boleh merampas hak hidup seorang bayi.

Terkecuali, kelainannya bersifat letal atau tidak ada harapan. Dengan kata lain, kalaupun lahir nggak akan bikin calon buah hati lahir dengan selamat. Contohnya ketika bayi dideteksi tidak memiliki tempurung kepala.

Ini adalah kelainan cacat bayi yang bersifat letal dan tidak memungkinkan bayi bertahan hidup. Sehingga kalau kasusnya seperti ini, maka pasien bisa melakukan terminasi kehamilan atas saran dan pemeriksaan menyeluruh dari dokter.

Asalkan pada prinsip dasarnya baik pasien ataupun dokter tidak merampas hak hidup dari bayi. Dan dokter yang menangani, mau melakukan tindakan tersebut.

“Kalau saya sendiri, jika kelainannya bersifat letal prinsipnya adalah wait and see terlebih dahulu. Kalau memang terminasi ini sudah jalannya Tuhan, bukan karena pasien atau dokter merampas hak hidup sang bayi.” tutup dokter Ivander.