Keluarga

Anak Lebih Mandiri Dan Kreatif Dengan Metode Reggio Emilia Approach

Anak Lebih Mandiri Dan Kreatif Dengan Metode Reggio Emilia Approach

Ibu, sudah pernah mendengar tentang Reggio Emilia? Seperti halnya Montessori dan Waldorf, Reggio Emilia adalah, sebuah pendekatan yang diterapkan dalam konteks pendidikan anak usia dini.

Namun, dapat dikatakan bahwa sebenarnya Reggio Emilia bukanlah kurikulum yang diterapkan di sekolah ya, Bu. Lebih tepat dikatakan bahwa, Regio Emilia adalah sebuah pendekatan pendidikan.

Reggio Emilia Approach atau REA berpusat pada anak dan mengedepankan aktivitas bermain, sama seperti Montessori dan Waldorf. Hanya saja prakteknya berbeda dengan kedua pendekatan lainnya. Yuk, kenali lebih jauh tentang Reggia Emilia.

Pendekatan Reggio Emilia


Melansir dari laman Parents, pendekatan ini diutamakan untuk bayi hingga usia pra sekolah. Asal mula dari pendekatan inipun bisa dibilang tidak biasa.

Pendekatan ini bermula dari sebuah kota dengan nama yang sama, Reggio Emilia, di Italia. Pada tahun 1945 usai Perang Dunia II, kota Reggio Emilia mulai menata kembali kehidupannya, termasuk membangun sekolah sekaligus konsep filosofi yang akan digunakan.

Loris Malaguzzi, seorang pendidik yang sekaligus psikolog, berperan dalam perkembangan filosofi Reggio Emilia ini. Ia mempelajari pendekatan pendidikan lain dari belahan dunia lainnya untuk bisa menguatkan pendekatan Reggio Emilia.

Reggio Emilia Approach (REA) berprinsip pada teori konstruktivitis. Teori ini, meyakini bahwa anak sebagai seorang pembelajar menentukan sendiri pengetahuan yang ingin ia ketahui, membangun dan mencari tahu ilmunya, dan bukan hanya sekadar menerima ilmu baru dari orang lain seperti guru atau orang tua.

REA sendiri bukanlah sebuah kurikulum. REA adalah filosofi yang membantu anak mengembangkan dirinya dengan beradaptasi, serta berubah sesuai dunia yang dibentuk anak. 

Bahkan sejatinya, filosofi REA bisa diterapkan sebagai pembelajaran untuk semua usia. Berbeda dengan lingkungan pendidikan tradisional, di mana anak diminta duduk diam mendengarkan guru menerangkan, di lingkungan yang menerapkan Reggio Emilia anak akan dibiarkan menentukan apa yang ingin mereka pelajari. 

Dari pemilihan ini, akan lahir proyek yang dilakukan anak sendiri dan difasilitasi oleh guru dan orang tua. Proyek ini tidak dapat ditentukan akan berlangsung berapa lama. 

Bisa anak selesaikan dalam 1 minggu, namun bisa juga anak selesaikan berbulan-bulan lamanya. Lingkungan sekitar anak yang digunakan untuk bereksplorasi, nantinya akan disediakan oleh guru atau orang tua.

Kemudian anak akan memilih apa yang mereka minati. Inilah yang kemudian akan digunakan anak untuk belajar dan membuat proyek.

Photo source: @bukitaksara.preschool

Sebagai contoh, di @bukitaksara.preschool yang menerapkan filosofi Reggio Emilia, salah satu murid tertarik dengan kain warna-warni yang sudah disediakan sebelumnya oleh guru atau fasilitator. Ketertarikan ini kemudian mencetuskan ide dari anak untuk membuat tenda.

Awalnya eksplorasi anak tersebut masih bermain bebas dengan tenda yang sudah dibuat. Namun minggu berikutnya, anak bisa menentukan tenda warna-warni ini disulap menjadi salon. 

Anak pun mengeksplorasi dirinya dengan bermain peran menjadi pemilik sekaligus hair stylist di salon buatannya. Di @digandbeyond, juga terdapat salah satu kelas bermain Reggio Emilia Jakarta.

Dalam kelas ini, anak akan diajak mendengarkan read aloud buku cerita. Lalu, anak akan dibiarkan bereksplorasi dengan lingkungan yang sudah disediakan serupa dengan isi buku yang dibacakan sebelumnya.

Cara ini mengundang anak untuk mencari hal apa yang membuat mereka penasaran dari kisah di buku. Berikutnya anak akan menentukan sendiri eksplorasi yang dipilih, dan belajar dari apa yang dipilihnya, seperti meramu herba, melukis, bersembunyi dalam tenda, dan hal menarik lainnya.

Nilai-nilai dalam Reggio Emilia

Endinda Krista, seorang Early Childhood Educator menjelaskan dalam @reggioinspiredindonesia tentang nilai-nilai yang dianut dalam Reggio Emilia, di antaranya:

1. Image of the child 


Nilai ini adalah tentang bagaimana kita memandang anak. Pandangan kita inilah yang akan memengaruhi sikap kita pada anak.

Bila pandangan kita tentang anak adalah individu yang belum bisa apa-apa, kita akan banyak membantu mereka tanpa memberi kesempatan anak berusaha sendiri. Sebaliknya, bila menurut kita anak adalah pribadi yang mandiri, kita akan lebih banyak meleluasakan anak mencoba berbagai hal, melibatkannya dalam pengambilan keputusan, dan menghargai kegagalannya.

2. Role of adults


Peran orang tua dalam REA adalah mendampingi anak bereksplorasi, belajar bersama anak, menjadi partner terbaik untuk anak, dan bersedia menjadi pendengar setia.

Misalnya, saat bermain biarkan anak menentukan permainan apa yang dimainkan dan apa peran kita dalam permainan ini. Bila ingin membuat aktivtias untuk anak, pertimbangkan keinginan anak dan diskusikan bersama saat memutuskan.

3. Third teacher


Guru ketiga yang dimaksud di sini adalah, lingkungan sekitar. Nggak hanya orang dewasa, anak juga punya perasaan tentang lingkungan yang ia datangi.

Lingkungan yang nyaman akan membuat anak tertarik untuk bereksplorasi sesuai minatnya. Mereka akan tenang, lebih penasaran dan tidak kebingungan dengan sekitar yang berantakan.

4. Hundred languages


Nilai ini bermula dari puisi Loris Malaguzzi tentang seratus bahasa yang dimiliki anak. Bahasa yang dimaksud adalah, bahasa yang digunakan anak untuk mengekspresikan dirinya.

Bisa lewat lukisan, tarian, nyanyian, atau hal lainnya. Jumlahnya tidak benar-benar seratus, ya. Karena ini sebenarnya hanyalah metafora.

REA memfasilitasi ratusan bahasa anak untuk dieksplorasi. Berbeda dengan ketentuan sekolah pada umumnya yang mengharuskan anak mengikuti aktivitas tertentu yang sama, diberikan target pencapaian, bahkan tanpa melihat minat apa yang sedang difokuskan oleh anak.

5. Progettazione


Progettazione atau proyek merupakan proses belajar yang dilakukan anak sebagai wujud eksplorasinya terhadap sesuatu yang ia minati. Berbeda dari prakarya sekolah, proyek dalam REA ditentukan sendiri oleh anak, dilakukan anak karena mereka sangat ingin tahu dan mencoba, namun bukan proyek yang ditentukan oleh orang dewasa.

Misalnya, ketika anak sedang tertarik dengan profesi jurnalis. Anaklah yang menentukan ingin membuat proyek jurnalistik seperti apa.

Bisa dengan membuat mikrofon, laptop dan kamera dari kardus, mewawancarai teman lain, atau mengetik di laptop yang sudah dibuat. Semuanya bermula dari ide anak, dilakukan anak (dibantu orang dewasa untuk membuat alat penunjang), dan berujung pada pemahaman anak pada proyek itu sendiri.

6. Documentation


Dokumentasi di sini bukan hanya berupa foto atau video saja. Bisa juga berupa catatan. Tujuannya juga sangat luas, yakni:

  • Untuk mengetahui progres belajar anak
  • Mengetahui koneksi antar peristiwa, dari sebelum proyek dimulai, sampai proyek selesai
  • Me-review kegiatan yang sudah dilakukan dan membantu merencakan kegiatan berikutnya
  • Mengapresiasi anak secara menyeluruh.

Anak yang belajar dengan filosofi Reggio Emilia tumbuh menjadi anak yang bahagia, mandiri, bisa mengambil keputusannya sendiri, lebih kritis, kreatif dan juga memperkuat hubungan anak dan orang tua. Untuk Ibu dan Ayah yang ingin mencoba aktivitas bermain dengan pendekatan ini, sudah banyak lembaga yang menggunakan filosofi ini dalam pembelajarannya. Tertarik untuk mencoba?

Editor: Aprilia