Balita

Anak Punya Teman Khayalan, Sebenarnya Normal atau Tidak, Ya?

Anak Punya Teman Khayalan, Sebenarnya Normal atau Tidak, Ya?

Di Indonesia, teman khayalan seringkali dikaitkan dengan hal mistis. Siapa yang tidak merinding saat tiba-tiba anak berbicara atau tertawa sendiri sambil seolah-olah berinteraksi dengan “orang” lain? Atau ketika anak melarang orang tuanya duduk di sudut tertentu karena katanya di situ sedang ada “teman”nya yang menempati? Ibu atau Ayah mungkin pernah mengalami kejadian semacam itu, di mana anak tampak memiliki teman khayalan yang kita sendiri tidak bisa melihatnya.

Siapakah Teman Khayalan Itu?

Dalam lingkungan kita, kebanyakan memang teman khayalan selalu dihubungkan dengan kejadian “horor”. Tak jarang juga orang tua khawatir melihat anaknya yang sering berinteraksi dengan sosok yang entah siapa itu. Namun, sebenarnya teman khayalan tidak melulu tentang hal mistis lho, Bu. Boneka atau bahkan hewan peliharaan yang sering diajak berinteraksi oleh si kecil, juga termasuk dalam kategori “teman khayalan”. Baik boneka, hewan, maupun “sosok” yang tidak terlihat atau yang hanya ada dalam imajinasi anak itu, sama-sama tidak benar-benar bisa diajak berkomunikasi.

Dilansir dari laman Raising Children, teman khayalan adalah sosok teman yang diciptakan sendiri oleh imajinasi anak. Teman khayalan atau teman imajiner ini bisa berupa apa saja. Bentuknya pun beragam, bisa manusia, bisa juga binatang. Mereka biasanya didasarkan pada sosok, seseorang, atau karakter yang sudah dikenal oleh anak. Anak bisa terinspirasi dari karakter di buku cerita, mainan, film, dan lain sebagainya. Tapi terkadang mereka juga murni hasil dari imajinasi si kecil sendiri. Teman khayalan anak bisa muncul kapan saja, kadang hanya di waktu-waktu tertentu, di tempat khusus, dan mereka juga bisa menghilang tanpa alasan yang jelas. Tentunya ini semua tergantung imajinasi anak.

Menariknya, sebuah penelitian seperti dikutip dari Healthline, menunjukkan bahwa 65 persen anak-anak berusia 7 tahun ke atas pernah memiliki teman khayalan. Teman imajiner ini biasanya “muncul” saat usia anak menginjak 2,5 tahun dan bertahan hingga usianya 3 sampai 7 tahun. Teman khayalan dapat muncul melalui imajinasi anak karena di usia-usia itu anak sedang senang-senangnya bermain dan berinteraksi sosial. Sayangnya, ia tidak selalu memiliki teman bicara, yang pada akhirnya memunculkan teman khayalan.

Manfaat Memiliki Teman Khayalan

Dahulu memiliki teman khayalan dianggap ada kaitannya dengan gangguan mental. Namun, seiring berjalannya waktu, para ahli menemukan bahwa kondisi ini sangat normal dialami anak sebagai bagian dari perkembangannya. Bahkan memiliki teman khayalan disebut dapat membawa beragam manfaat bagi tumbuh kembang anak! Apa saja?

1. Mengembangkan imajinasi anak

Memiliki teman khayalan dapat membantu anak berimajinasi. Kita mungkin perlu menyadari bahwa tidak selamanya kehidupan nyata dapat menjawab rasa penasaran anak. Apalagi anak-anak umumnya mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Berinteraksi dengan teman khayalan dapat memberikan kesempatan anak untuk merasakan pengalaman yang tidak bisa ia rasakan di kehidupan nyata. Teman khayalan dapat mengembangkan kemampuan anak berimajinasi dan bereksplorasi.

2. Meningkatkan kreativitas

Imajinasi erat kaitannya dengan kreativitas. Anak yang menggunakan imajinasinya untuk bermain dengan teman khayalan, biasanya juga akan terdorong untuk menggunakan kreativitasnya. Misalnya saat bermain dengan boneka, anak akan menentukan siapa nama bonekanya, kegiatan apa yang ingin dilakukan bersama bonekanya, di sudut rumah mana ia ingin bermain, sampai topik apa yang ingin ia perbincangkan bersama si boneka. Sehingga bisa dikatakan, berinteraksi dengan teman khayalan akan otomatis mendorong si kecil menciptakan skenario dramanya sendiri. Ia lah yang memegang kendali penuh atas jalan ceritanya bersama teman khayalan.

3. Membantu mengelola emosi

Mempunyai teman khayalan juga dapat membantu anak mengelola emosinya. Seperti kita ketahui, perkembangan emosi manusia masih terus berlangsung bahkan ketika ia sudah dewasa sekalipun. Remaja yang usianya 17 tahun saja masih bisa dibilang perkembangan emosinya belum matang, apalagi anak-anak di bawah 10 tahun. Maka wajar kalau mereka masih sulit mengelola emosi. Nah, keberadaan teman khayalan ternyata bisa membantu dalam pengelolaan emosi si kecil, lo. Misalnya saat ia berimajinasi bahwa teman khayalannya tidak datang di hari itu, mungkin ia akan sedih dan berusaha mencari cara bagaimana agar ia bisa senang lagi.

4. Membantu anak beradaptasi

Tak hanya orang dewasa, anak-anak (terutama di periode balita), juga banyak mengalami transisi atau perubahan. Misalnya saat harus mulai tidur sendiri, toilet training, masuk sekolah pertama kali, dan lain sebagainya. Masa-masa ini bisa jadi masa yang berat bagi anak. Memiliki teman khayalan ternyata bisa jadi salah satu cara untuk membantu anak menghadapi berbagai perubahan tersebut. Anak mungkin bisa jadi lebih tenang di sekolah jika ia membawa boneka atau robot kesayangannya. Atau ia jadi bisa tidur nyenyak di kamar barunya bila Ibu mengatakan bahwa “teman”nya akan menemaninya di tempat tidur.

5. Meningkatkan keterampilan problem-solving

Mempunyai teman imajiner juga dapat membantu anak meningkatkan keterampilan menyelesaikan masalah. Saat membuat-buat cerita dramanya sendiri, anak biasanya akan menciptakan masalahnya juga. Nah, saat berimajinasi tentang masalah ini anak akan terdorong memikirkan solusinya pula, yang mana jika terus-menerus berlangsung, keterampilan problem solvingnya akan meningkat.

6. Membantu dalam social skill

Beberapa anak merasa kesulitan saat harus berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang masih baru pertama mereka temui. Hal ini mungkin bisa membuat keterampilan sosialnya terganggu. Memiliki teman khayalan ternyata dapat membantu mengatasi hal ini, karena biasanya si kecil jadi lebih terbuka dan leluasa bercerita atau berinteraksi dengan teman imajinernya. Mungkin ada kalanya ia enggan bercerita tentang harinya di sekolah dan malah bersemangat menceritakannya pada teman khayalannya.

Bagaimana Orang Tua Menyikapi Teman Khayalan Anak?

Setelah mengetahui bahwa anak yang memiliki teman khayalan itu tergolong normal, lalu bagaimana seharusnya orang tua menyikapi teman imajiner anak ini? Haruskah kita ikut “terjun” dalam dunia imajinasi anak?

1. Hargai imajinasi anak dan jangan merendahkan

Bagi kita orang dewasa, memiliki teman khayalan bisa jadi hal yang sangat konyol. Namun, tidak demikian dengan anak-anak. Teman khayalan dapat menjadi “jembatan” bagi anak melewati perkembangan emosional dan sosialnya. Hal pertama yang perlu orang tua lakukan ketika mengetahui anak memiliki teman khayalan adalah menghargainya, tidak merendahkan, atau menertawakan. Ibu dan Ayah justru bisa memanfaatkan momen ini untuk berbincang dengan si kecil dan menanyakan lebih jauh tentang teman khayalannya. Kamu juga dapat sekaligus memahami lebih jauh tentang apa yang jadi ketertarikan atau minat si kecil. Ini karena umumnya, semua tentang teman khayalan adalah cerminan atau pemikiran si anak sendiri.

2. Tidak perlu terlibat dalam dunia imajinasi si kecil

Meski orang tua boleh bertanya tentang teman khayalan anak, misalnya tentang wujudnya, umurnya, jenis kelaminnya, kesukaannya, dan lain sebagainya, namun sebaiknya orang tua tidak terlibat dalam dunia imajinasi si kecil. Salah satu contoh keterlibatan ini adalah dengan mengajak berbicara si teman khayalan. Alasannya karena kebiasaan ini justru bisa memperpanjang hubungan antara anak dengan teman khayalannya, yang mana jika berlangsung terlalu lama justru bisa mengganggu kondisi psikologis anak.

3. Jangan biarkan anak menjadikan teman khayalan sebagai “tameng”

Jika sudah intens berhubungan dengan teman khayalan, beberapa anak mungkin akan menjadikan temannya itu sebagai “tameng” saat ia melakukan kesalahan. Misalnya, saat si kecil tidak sengaja memecahkan gelas, mungkin ia akan menyalahkan teman khayalannya. Orang tua sebaiknya tidak membiarkan ini terjadi, namun hindari juga untuk langsung memarahi anak. Sebaliknya, kamu perlu menjelaskan bahwa teman khayalannya itu tidak mungkin melakukan hal tersebut. Beri pengertian kepada anak bahwa tidak apa-apa mengakui kesalahannya dan belajar untuk lebih hati-hati di kemudian hari. Pastikan semua disampaikan dengan lembut, bukan menghakimi.

4. Hindari menjadikan teman khayalan sebagai alat untuk memanipulasi anak

Menghargai dan memercayai keberadaan teman khayalan si kecil memang penting, namun jangan sampai “teman” tersebut Ibu jadikan alat untuk memanipulasi anak. Misalnya ketika anak menolak makan, hindari mengatakan, “Temanmu aja mau makan, jadi kamu harus mau juga ya!”. Sejujurnya, di dalam hati anak, ia tahu bahwa “teman”nya itu hanya khayalan dan tidak benar-benar ada. Jadi, akan terasa membingungkan bagi mereka bila Ibu atau Ayah selalu menjadikan teman khayalannya itu sebagai tameng. Bisa jadi suatu saat anak jadi sulit membedakan kenyataan dan khayalan.

Hubungan Teman Khayalan dan Skizofrenia

Imajinasi soal teman khayalan juga seringkali dikaitkan dengan penyakit skizofrenia. Skizofrenia sendiri merupakan gangguan mental yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, kekacauan berpikir, delusi, dan perubahan perilaku. Sebenarnya, memiliki teman khayalan tidak ada hubungannya dengan penyakit skizofrenia. Lagipula, biasanya penderita skizofrenia baru menunjukkan gejala saat usianya antara 16 sampai 30 tahun. Kasus skizofrenia pada anak jarang dan umumnya lebih sulit didiagnosis.

Beberapa gejala skizofrenia seperti halusinasi (sering mendengar atau melihat sesuatu), paranoia, perubahan mood drastis, dan perubahan perilaku mendadak. Anak yang memiliki teman khayalan, selama tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut, orang tua mestinya tidak perlu khawatir. Jika memang terlihat ada tanda-tanda di atas, segera konsultasikan pada dokter, ya!

Keberadaan Teman Khayalan Perlu Dikhawatirkan Jika…

Memiliki teman khayalan bagi anak memang masih bisa dikatakan normal. Bahkan keberadaan teman khayalan ini bisa membantu mendukung tumbuh kembang anak, terutama perkembangan sosial dan emosionalnya. Namun, pada beberapa kasus, kehadiran teman khayalan juga bisa mengkhawatirkan. Ibu dan Ayah perlu berkonsultasi dengan psikolog anak jika anak menunjukkan tanda-tanda berikut ini:

1. Anak terus meminta orang tua melakukan sesuatu untuk teman khayalannya

Ketika anak mengatakan bahwa ia memiliki teman imajiner, mungkin Ibu atau Ayah jadi sering diminta anak melakukan sesuatu untuk teman khayalannya tersebut, seperti membuka pintu, menyiapkan makanan, atau merapikan tempat tidur untuk teman imajiner si kecil. Ketimbang menurutinya terus menerus, dorong anak untuk menahan pintu agar tetap terbuka, menyiapkan tempat untuk “teman”nya saat makan malam, atau merapikan tempat tidurnya sendiri untuk teman imajinernya. Dengan cara ini, kamu tetap dianggap menerima kehadiran teman imajinernya tetapi juga mengambil kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan memupuk kemandirian anak.

2. Melibatkan teman imajiner dalam mengambil setiap keputusan

Memiliki teman imajiner memang menyenangkan bagi anak. Namun, ada kalanya anak menjadi terlalu bergantung dengan teman khayalannya itu, termasuk dalam hal memilih sesuatu. Misalnya, anak hanya mau menentukan suatu hal setelah berkonsultasi dengan “teman”nya. Atau mungkin anak-anak akan meminta orang lain untuk berbicara dengan teman khayalannya, bukan langsung kepada mereka, seperti saat anak diminta saran tentang sesuatu, alih-alih langsung menyampaikannya, ia justru meminta kita menanyakan pada “teman”nya. Jika ini terus menerus dilakukan anak, cobalah untuk mengatakan, “Ibu itu ingin mendengar pendapatmu sendiri, bukan pendapat temanmu itu”.

3. Menyalahkan teman imajiner atas kesalahannya

Terkadang anak-anak akan melakukan atau mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya mereka lakukan dan menyalahkan teman imajiner mereka. Seperti yang sudah disinggung di atas, Ibu atau Ayah dapat menangani hal ini dengan memberi tahu anak dengan jelas bahwa teman imajinernya tidak mungkin melakukan itu. Kemudian tindak lanjuti dengan konsekuensi yang sesuai, seperti menyuruh anak membereskan mainannya (jika ia mengatakan teman khayalannya lah yang membuat mainannya berantakan).

4. Menarik diri dari lingkungan sosial sesungguhnya

Ada kasus-kasus tertentu terkait teman khayalan yang membuat anak justru enggan bersosialisasi langsung dengan lingkungannya. Ia seperti terlalu asyik dengan dunia imajinasinya sendiri dan merasa kebutuhan psikologisnya terjawab hanya lewat interaksinya dengan teman khayalan. Namun, ada juga beberapa kasus di mana anak merasa trauma, ketakutan, khawatir berlebihan atas keberadaan teman khayalannya, misalnya ketika menurut mereka temannya itu sudah menyakitinya, dan lain-lain.

Bila hal-hal seperti di atas terjadi, jangan ragu untuk menghubungi dokter atau psikolog anak untuk dicarikan solusinya, ya, Bu!

Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih