Anak memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan perasaan marahnya. Ada yang tenang, bereaksi sewajarnya, namun tak sedikit yang meluap-luap tak karuan sehingga orangtua kesal dibuatnya. Apakah anak Anda termasuk tipe si pemarah? Jika ya, jangan panik. Tetaplah tenang dan tersenyum dalam menghadapinya.
Bunda, wajar jika Anda terkejut mengetahui perilaku agresif buah hati Anda. Namun sebenarnya perilaku seperti ini normal dalam perkembangan balita Anda. Pada tahap ini, balita sedang mencoba mengembangkan kemampuannya berbahasa. Mereka juga tengah mengalami gejolak untuk bisa mandiri, sementara kontrol impulsifnya belum berkembang dengan baik. Hal inilah yang mengakibatkan seringnya anak marah atau bahkan melakukan tindakan fisik seperti memukul, menendang, atau menggigit.
Tindakan memukul atau menggigit “sangat normal untuk balita.” Meski begitu, kata Nadine Block, Direktur Eksekutif Center for Effective Discipline di Columbus, Ohio, bukan berarti Anda harus mengabaikannya. “Tentu tidak. Balita juga perlu tahu bahwa perilaku agresif seperti itu tidak benar dan Anda harus menunjukkan bagaimana cara yang tepat mengekspresikan perasaan,” papar Block.
Apakah kemarahan berbahaya bagi anak?
Kemarahan adalah perasaan dasar, utama dan spontan. Biasanya kemarahan dipicu oleh frustrasi dan sering dianggap sebagai kondisi yang tidak menyenangkan. Kemarahan nyata dan kuat, tapi tidak perlu ditakuti, disangkal, atau dianggap buruk.
Yang perlu dipahami, semua manusia mengalami frustrasi, yang mengikuti kemarahan, dan ini normal dan alami. Bila kemarahan diatasi dengan cara yang sehat, tidak ada bahayanya. Tapi sering kali anak kecil mengungkapkan kemarahan dengan cara yang destruktif yang bisa membahayakan teman, interaksi dengan orangtua, hubungan guru dan siswa, bahkan kesehatan jangka panjang.
Apakah masalah dalam mengatasi kemarahan berawal dari masa kecil?
Mengungkapkan kemarahan dengan cara yang sehat sering kali berawal sejak kecil. Beberapa anak belajar dari orang dewasa di sekitarnya kalau perilaku agresi, baik dengan berteriak, mempermalukan orang, atau tindak kekerasan lainnya adalah strategi untuk mengungkapkan kemarahan. Mereka mungkin diajarkan kalau perasaan mereka lebih penting dibanding hak orang lain dan mereka bebas untuk bertindak berdasarkan perasaan, apapun dampaknya.
Kemudian, di rumah, anak sering menerima pesan kalau marah adalah hal buruk dan anak yang baik tidak boleh memberitahu siapapun kalau ia sedang marah. Anak kecil tumbuh di lingkungan yang membatasi emosi ini dan belajar sejak kecil untuk menyembunyikan atau menyangkal perasaan mereka.
Meski menekan kemarahan bisa terlihat lebih baik dibanding berteriak dan melakukan kekerasan, anak yang dipaksa menyamarkan kemarahan bisa mengalami masalah ketika dewasa, karena mereka mengalami depresi akibat kemarahan atau mengalami perilaku agresif pasif untuk menyakiti orang lain dengan cara tersembunyi.
Tips menghadapi anak marah
Jadi, bagaimana sebaiknya Bunda menghadapi anak marah? Perlukah si kecil diberi semacam hukuman? Simak tips berikut.
Mulai dengan diri sendiri
Bila Anda punya kebiasaan berteriak ke anak, berarti Anda mencontohkan perilaku yang anak akan tiru. Bisa sulit menghentikan diri dari berteriak ke anak, tapi bila Anda menyerah, anak akan lebih sulit mengontrol dirinya. Anak belajar dari melihat bagaimana Anda mengatasi konflik.
Kondisi tenang, meski ketika marah, membantu anak merasa aman, yang membantunya mengembangkan jalan neural di otak yang menutup respons emosi dan membiarkan frontal cortex untuk mengambil alih. Ini jadi cara bagaimana anak belajar menenangkan diri. Mereka belajar dari cara Anda mengatur kemarahan dan perasaan kesal lainnnya.
Beri konsekuensi logis
Jika si kecil sedang bermain di arena permainan umum (play ground) dan tiba-tiba Bunda melihat dia melempar bola ke arah anak lain, segera bawa keluar. Hal ini tidak boleh dibiarkan karena dapat menyakiti anak lain. Tetapi Bunda tetap harus lembut ketika mengangkatnya keluar dari arena bermain tersebut.
Setelah itu dudukkan dan biarkan si kecil melihat cara anak-anak lain bermain, kemudian jelaskan bahwa dia boleh kembali bermain jika ia sudah siap menikmati permainan dengan fun tanpa menyakiti anak lain, seperti dilakukan anak-anak lainnya.
Hindari pertanyaan seperti “Kira-kira gimana ya rasanya kalau kamu dilempar bola?” Mengapa begitu? Sebab balita belum memiliki kematangan kognitif untuk membayangkan diri mereka berada pada posisi anak lain atau mengubah perilaku mereka berdasarkan alasan verbal. Namun balita sudah bisa memahami konsekuensi.
Tetap tenang, jangan emosi
Berteriak, memukul, atau menyebut anak Anda nakal tidak akan menyelesaikan masalah, ya Bun. Si kecil tidak akan menghentikan perilakunya dan Anda justru makin membuat anak mempelajari hal-hal baru dari Anda. Jika Anda tetap tenang dan sabar, anak akan terbiasa melihat Anda mengontrol diri. Dari sini anak akan belajar tahap awal mengendalikan emosinya, seperti yang ia lihat dari bundanya.
Cara terbaik untuk memberitahu bagaimana mengatasi marah adalah dengan menunjukkan melalui contoh. Anak bisa belajar menenangkan diri ketika marah dengan melihat orang melakukannya. Jadi gunakan kesempatan ini untuk menunjukkan ke anak cara menenangkan diri.
Berikut ini contohnya, misalnya Anda menerima telepon dari seseorang dan marah, anak berdiri di dekat Anda melihat Anda dari dekat. Gunakan kesempatan ini untuk menunjukkan cara mengontrol marah pada anak, jelaskan, “Maaf Bunda lagi sangat marah sekarang.” Lalu tawarkan solusi untuk menenangkan diri, “Bunda akan jalan-jalan sebentar agar bisa tenang.” Apa yang Anda contohkan adalah apa yang akan dilakukan anak.
Buat batasan jelas
Segera respon begitu si kecil mulai berperilaku agresif. Jangan menunggu hingga ia berhasil memukul adiknya. Segera katakan, “Cukup!” sehingga dia tahu bahwa yang dilakukannya salah. Angkat segera si kecil dan berikan time-out singkat sekitar 1-2 menit saja. Ini cara terbaik untuk membuat si anak marah menjadi tenang dan menyadari konsekuensi dari tindakan agresifnya.
Konsisten
Sebisa mungkin setiap kali anak mulai menunjukkan perilaku agresif, Anda mengingatkan akan ada time-out sebagai konsekuensi. “Kalau kamu mukul lagi, artinya ada time-out lagi ya?” Pola seperti ini akan mudah ditebak dan diingat anak setiap kali dia mau melakukan tindakan agresif.
Beri alternatif
Tunggu hingga anak Anda tenang, kemudian pelan-pelan buatlah review akan apa yang terjadi barusan. Tanyakan pada si kecil apakah ia dapat menjelaskan apa pemicu kemarahannya. Beri ia waktu untuk menjelaskan. Setelah itu, tekankan bahwa marah boleh-boleh saja dan wajar namun tidak baik jika diekspresikan dengan menendang, menggigit, atau memukul.
Ajari anak bagaimana cara merespon yang lebih efektif yakni dengan “mengungkapkan isi hatinya.” Misalnya berkata ke temannya, “Tommy, kamu bikin aku marah!” Atau bisa juga dengan meminta bantuan orang dewasa. Pastikan pula anak Anda memahami apa yang harus ia lakukan setelah berlaku agresif terhadap anak lain, salah satunya dengan selalu meminta maaf.
Beri reward
Jika ada time-out untuk si kecil yang berbuat tidak baik, tak ada salahnya memberi reward jika mereka berperilaku baik. Misalnya ketika ia ingin naik ayunan yang masih dipakai temannya, ia tidak mendorong melainkan meminta dengan baik-baik. Beri pujian seperti “Anak Bunda pintar,” atau bisa juga memberi reward dengan mendorong ayunannya saat gilirannya tiba.
Batasi menonton TV
Bunda, kartun dan tayangan TV lain banyak memberi contoh anak untuk berteriak, mengancam, mendorong, dan memukul. Karena itu cobalah mengontrol program yang mereka lihat, terutama yang mengandung muatan kekerasan atau perilaku agresif. Ketika Anda mengizinkan anak menonton TV, ikutlah menonton bersamanya. Namun untuk usia di bawah 2 tahun, American Academy of Pediatrics merekomendasikan anak untuk tidak menonton TV sama sekali.
Alihkan energinya
Jika Anda melihat anak Anda seperti sudah sangat “terbakar,” coba bawa ke ruangan terbuka dan biarkan ia meluapkan emosinya dengan berlari-lari atau apa saja yang bisa membuatnya kembali tenang.
Keluar dan menenangkan diri
Satu bagian paling sulit dari menjadi orangtua adalah ketika anak menunjukkan kemarahan terhadap kita. Bila tidak hati-hati, emosi pada anak tanpa Anda sadari berasal dari diri Anda. Waspada, kemarahan menular. Sebaiknya buat aturan di rumah sejak awal, “Di rumah ini kita cari solusi masalah ketika kita merasa tenang dan terkontrol.” Lalu konsisten menegakkan aturan ini.
Berikut ini contoh yang bisa Anda terapkan. Lain kali ketika akan marah dan ingin solusi cepat, Anda mungkin berkata, “Bunda perlu timeout, kita bicarakan ini lagi nanti.” Lalu keluar ruangan dengan tenang dan jangan menjawab balik. Ada ibu yang hanya bisa mengunci diri di kamar mandi. Anak terus menendang pintu kamar mandi dan berteriak tapi ia tidak keluar hingga merasa tenang. Dan anak mulai belajar kalau ibunya hanya akan membahas masalah ketika ia tenang dan terkontrol.
Ajarkan kosa-kata tentang perasaan
Banyak anak menunjukkan kemarahan karena mereka tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa frustrasi dengan cara lain. Menendang, berteriak, memukul, atau melempar barang bisa jadi satu-satunya cara yang mereka tahu untuk menunjukkan perasaan.
Meminta ke anak untuk memberitahu apa yang ia rasakan adalah sikap tidak realistis, karena ia belum tahu kata untuk memberitahu apa yang ia rasakan. Untuk membantunya mengungkapkan kemarahan, buat bersama poster berisi kata-kata tentang perasaan. Ajak buah hati mempelajari semua kata yang digunakan untuk memberitahu kalau anak marah.
Tuliskan kata-kata ini pada kertas, gantung dan latih penggunaannya. Ketika anak marah, gunakan kata ini agar ia bisa menggunakannya. Lalu terus tambahkan kosa-kata emosi pada daftar ketika ada yang baru.
Poster tentang teknik menenangkan diri
Ada banyak cara untuk membantu anak tenang ketika pertama kali marah. Sayangnya, banyak anak tidak diberi kesempatan untuk berpikir tentang hal ini. Jadi mereka terus mengalami kesulitan karena perilaku satu-satunya yang mereka tahu adalah cara yang tidak tepat untuk mengungkapkan kemarahan.
Jadi bicaralah ke anak tentang perilaku pengganti yang lebih bisa diterima. Anda mungkin perlu membuat poster besar. Berikut ini beberapa idenya: berjalan-jalan, memikirkan tempat yang tenang, berlari, mendengarkan musik, memukul bantal, melempar bola ke keranjang, menggambar, bicara pada seseorang, atau bernyanyi. Setelah anak memilih teknik menenangkan diri, minta anak menggunakan strategi yang sama tiap kali ia mulai marah.
Mengajarkan tanda awal kemarahan
Jelaskan ke anak kalau kita semua punya tanda yang menjadi peringatan ketika kita marah. Kita perlu dengarkan tanda ini karena bisa membantu kita mengatasi masalah. Selanjutnya, bantu anak mengenali tanda peringatan spesifik yang ia punya yang menandakan ia mulai marah, seperit berbicara lebih keras, pipi memerah, mengepalkan tangan, mulut kering dan bernapas lebih cepat. Anda bisa katakan, “Sepertinya kamu mulai di luar kontrol” atau “Tangan kamu mulai mengepal. Apakah kamu mulai marah?” Semakin kita menolong anak mengenali tanda awal marah, semakin baik ia bisa menenangkan diri. Ini juga jadi waktu yang tepat untuk menerapkan strategi manajemen kemarahan yang efektif.
Ajarkan strategi mengontrol kemarahan
Strategi paling efektif untuk membantu anak tenang disebut “3+10.” Anda perlu cetak rumus ini pada kertas besar dan gantung di dinding rumah. Lalu beritahu anak bagaimana menggunakan pola ini. “Segera setelah kamu merasa tubuh mengirim tanda peringatan kalau kamu hilang kontrol, lakukan dua hal ini. Pertama ambil napas dalam tiga kali dari perut.” Contohkan ini bersama anak. Lalu Anda bisa perlahan menghitung sampai 10.
Mengajarkan ke anak cara baru untuk mengatasi marah tidaklah mudah, terutama bila mereka kesulitan melatih cara untuk mengatasi frustrasi. Penelitian mengatakan mempelajari perilaku baru butuh setidaknya 21 hari pengulangan. Pilih satu kemampuan yang anak butuhkan dan latih tiap hari selama 21 hari. Dengan begitu, kemungkinan anak akan punya kemampuan baru yang lebih kuat, karena dilatih dengan teknik yang sama lagi dan lagi, dan itu memang jadi cara untuk mempelajari skill baru.
Kurangi kemarahan Anda
Anda mungkin bisa tetap tenang ketika semua berjalan baik. Yang paling sulit adalah tetap tenang ketika semua berantakan dan di luar prediksi. Tapi berteriak dan marah ke anak menunjukkan apa yang ia rasakan yang bisa jadi bahaya. Jadi kemarahan Anda hanya akan menambah parah situasi. Tugas Anda adalah bersikap tenang, karena anak hanya akan belajar dan memahami bagaimana bisa lebih baik ketika dalam kondisi tenang.
Semua emosi dibolehkan
Anak perlu tahu kalau Anda memahami kenapa dan betapa kesal dan marahnya ia. Jadi ketika anak marah, cara terbaik yang bisa Anda lakukan adalah mendengarkan. Jadi di momen itu, jangan beritahu anak untuk tenang atau bersikap seperti yang ia inginkan. Ini hanya membuat anak semakin menjadi sebagai usaha agar Anda mau mendengarnya. Sebaiknya buka pintu komunikasi, “Kamu pasti marah banget sampe ngomongnya kaya gitu ke Bunda, sini coba cerita ke Bunda.” Nantinya Anda bisa bicara dengan bahasa dan nada yang sesuai.
Minta bantuan
Beberapa orangtua kewalahan dengan perilaku agresif anak, bahkan ada yang tidak bisa mengendalikannya karena sudah terlalu parah. Jika si kecil tidak biasanya berperilaku agresif lebih dari beberapa pekan, atau jika ia sudah terlalu menyakiti anak lain, menyerang orang dewasa sementara upaya Anda untuk mengurangi perilaku ini tak ada hasil, coba bicarakan dengan DSA Anda. Mungkin dari sini si kecil direkomendasikan untuk menemui konselor atau psikolog.
Tiap orang di usia berapapun bisa belajar mengungkapkan kemarahan dengan tepat. Ketika anak menyadari kalau pilihan mereka menyebabkan hal yang tidak dinginkan seperti hukuman, timeout, serta batasan waktu bermain, mereka sering kali mau belajar lebih baik tentang strategi untuk mengungkapkan perasaan marah.
(Dini & Ismawati)