Keluarga

5 Komentar Ayah yang Sering Bikin Ibu Baru Marah

5 Komentar Ayah yang Sering Bikin Ibu Baru Marah

Saat kondisi kita sedang kurang tidur dan lagi berusaha keras menyesuaikan diri dengan kehadiran bayi baru lahir, hal kecil bisa dengan mudahnya bikin emosi mendidih. Hal-hal sederhana yang mungkin nggak akan kita ambil hati saat lagi “normal” bisa berubah jadi bahan pertengkaran buat orang tua baru. Berikut ini ada beberapa komentar yang sebaiknya dihindari Ayah di bulan-bulan pertama kelahiran si kecil.

  1. “Nih, si adek maunya sama kamu”

    Jika pasangan Anda sering kali meminta Anda menggendong bayi yang sedang rewel, Anda mungkin akan berjuang untuk tidak emosi saat mendengar hal ini. Seorang ibu bercerita, ketika anaknya membutuhkan sesuatu dan mulai menangis, suaminya selalu menyerahkan  kepadanya. Si suami hanya mau menghabiskan waktu bersama bayi ketika bayi sedang gembira.

    Pikirkan sisi positifnya ya Moms. Ingatkan diri Anda bahwa suami tidak sedang melalaikan tugasnya untuk mengasuh si kecil. Sebagian besar Ayah yang dihadapkan pada bayi berpikir kalau, “Saya ingin menenangkan anak saya. Tapi sulit sekali saat ia menangis histeris seolah saya adalah hantu.”

    Bekerjasamalah dengan pasangan untuk menciptakan rutinitas bersama bayi. Lakukan rutinitas untuk mempercayakan si kecil juga ke suami. Jika suami baru saja pulang kerja dan Ibu langsung menyerahkan si kecil padanya, ini tentu tidak akan berhasil. Transisinya terlalu tiba-tiba. Sebaiknya, habiskan waktu dulu bersama. Lalu dengan perlahan, Ibu bisa mulai menyerahkan si kecil ke Ayah. Jika Anda melakukannya dengan teratur, bayi akan belajar untuk beradaptasi.

    Banyak Ayah merasa gendongan atau baby carrier bisa diandalkan untuk menenangkan anak. Tapi pasti ada momen-momen di mana bayi terus menangis meski Ayah sudah mencoba berbagai cara untuk menenangkannya. Ini waktunya Ibu untuk membantu Ayah agar bisa tetap bertahan menenangkan bayi yang menangis. Dengan latihan rutin dalam jangka waktu lama, bayi akan mulai menerima kehadiran sang Ayah sebagai penenangnya.

  2. Bunda bisa tolong bangun buat nenangin si kecil? Ayah lagi capek banget.

    Kehadiran bayi baru lahir membuat waktu tidur sangat mewah. Inilah kenapa orang tua baru harus mendiskusikan bersama bagaimana Ayah dan Ibu harus gantian tidur saat malam ketika bayi terbangun. Meski kadang sudah sepakat dengan sistem tertentu, kenyataannya kita sering kali berdebat tentang siapa yang berhak mendapatkan waktu tidur lebih banyak. Untuk menghindari pertengkaran, cobalah untuk menghindari kata-kata, seperti “Saya lebih lelah dari kamu.”

    Nggak ada yang berhak mengaku lebih lelah dari yang lainnya, karena Ayah dan Ibu pasti sama-sama merasa capek dengan pola hariannya newborn yang masih susah ditebak. Jika Anda berdua merasa lelah, Anda berdua memerlukan bantuan. Bila Anda mampu menyewa pengasuh bayi, pertimbangkan mempekerjakan seseorang untuk waktu yang singkat, agar Anda berdua bisa mendapat istirahat. Atau bisa juga terima bantuan dari anggota keluarga serta teman dekat.

    Tak perlu malu menerima bantuan dari orang lain agar Anda berdua bisa tidur lebih lama. Ini merupakan hal yang baik untuk kesehatan fisik dan mental seluruh anggota keluarga. Untuk menghindari perdebatan mengenai giliran siapa yang begadang, tetapkan jadwal bergadang bersama pasangan. Misalnya, hari Senin, Rabu, Jumat gilirannya Ayah yang harus bangun saat malam. Sisanya adalah gilirannya Ibu. Ini memungkinkan untuk dilakukan jika bayi minum dari botol susu. Kalau si kecil menyusu langsung, Ibu bisa menyusuinya saat ia minta tengah malam, lalu serahkan ke ayah saat sesi menyusu sudah selesai.

    Bila Ayah bekerja dan Ibu setiap hari merawat bayi di rumah, Anda mungkin perlu mengatur agar Ayah bisa mendapat tidur lebih banyak pada hari kerja dan alihkan tugas bergadangnya di akhir pekan. Sedangkan untuk Ibu, pastikan buat tidur siang meski hanya sebentar saat jamnya si kecil tidur siang. Ingat, kekurangan tidur membuat orang depresi, emosi, dan ujungnya adalah pertengkaran. Tidur lebih lama beberapa jam saja bisa bikin suasana hati lebih baik lho.

  3. Ayah tinggal sebentar ya..

    Pernah nggak Ibu ada di situasi ini? “Ayah perlu cek email sebentar di komputer,” kata suami, lalu ia langsung beranjak ke kamar tidur. Ketika ia kembali setelah 45 menit meninggalkan ibu dan si kecil, ia tidak mengerti mengapa Anda sebal sekali.

    Bahkan ada Ibu yang bercerita, suaminya pergi selama berjam-jam untuk membeli sesuatu. Ketika suaminya tidak menemukan barang yang ingin dibeli, ia pergi ke toko lain, dan suaminya selalu pergi di saat si Ibu ini sangat repot dengan anaknya. Akhirnya, kondisi ini terus menjadi bahan pertengkaran di antara mereka

    Disengaja atau tidak, melarikan diri dari bayi sering terjadi ketika orangtua merasa putus asa dengan hilangnya “me time” untuk beberapa jam. Tapi bagi orangtua yang ditinggalkan, hal ini adalah sebuah kesalahan.

    Agar tidak bertengkar, ungkapkan perasaan Anda pada pasangan dengan bahasa yang baik. Misalnya, “Kalau Ayah menghabiskan waktu di depan komputer terus, sedangkan Ibu harus mengurus adek, Ibu merasa ditinggalkan.” Tunjukkan perasaan Anda sebagai masalah yang perlu diselesaikan, daripada menunjukkan kesalahan yang pasangan Anda lakukan. Lalu buat perencanaan bersama agar Anda berdua bisa punya me time untuk diri masing-masing.

  4. “Memangnya Ibu ngapain aja dari tadi?”

    Bayi memang hanya memiliki beberapa kebutuhan dasar, tapi Ibu perlu waktu seharian untuk memenuhi kebutuhan ini. Piring kotor yang menumpuk, cucian kotor yang belum terjamah, bayi kecil yang bisa mengacaukan daily schedule, ini semua menjadi hal sulit untuk Ibu. Sayangnya, Ayah yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di kantor sangat sulit untuk memahami kondisi ini.

    Kalau sepulang kerja Ayah memperhatikan kondisi rumah, protes karena rumah berantakan dengan kalimat menyudutkan, seperti “Kamu ngapain aja dari tadi?”, pasti Ibu kesal sekali kan. Memang benar rumah sangat berantakan, tapi bukan protes seperti itu yang ingin didengar setelah menghabiskan waku 9 jam menenangkan anak yang rewel sambil disambi beresin rumah seadanya.

    Bersikap defensif merupakan respon yang wajar, tapi ini hanya akan membuat situasi menjadi lebih buruk. Lebih baik Anda menghindari menjelaskan alasan mengapa rumah menjadi berantakan. Anda bisa mengatakan pada pasangan tentang apa yang Anda rasakan misalnya, “Ibu tersinggung lho kalau Ayah bilang seperti itu.” Ini bisa membantu meredakan suasana hingga Anda punya waktu untuk bicara. Tunggu hingga anak tertidur dan Anda berdua dalam keadaan tenang untuk berdiskusi mencari solusi.

  5. “Kemarin kan Ayah sudah bersih-bersih!”

    Dengan adanya kehadiran si kecil, itu artinya pekerjaan rumah makin bertambah, mulai dari ganti pokok, menyusui dan lainnya. Bersih-bersih, berbelanja, dan mengurus cucian juga harus lebih sering dilakukan dari biasanya. Merawat bayi baru lahir menciptakan sekitar 350 tugas rumah yang baru setiap minggunya. Tidak heran jika orangtua merasa terbebani dan tidak yakin bisa membagi pekerjaan yang ada dengan cara adil bagi kedua pihak.

    Moms, jangan mengira Ayah bisa baca pikiran ya saat Anda mengharapkannya untuk bersih-bersih rumah. Jelaskan apa yang Anda rasakan dengan menggunakan bahasa yang baik. Misalnya, “Ibu capek banget nih Yah, tapi kerjaan rumah nggak selesai-selesai.” Jelaskan bahwa Anda membutuhkan bantuannya.

    Gunakan kalimat yang spesifik. Bukan dengan mengatakan, “Ayah lebih rajin lagi yaa beres-beres rumahnya,” tapi ungkapkan dengan, “Ibu minta tolong yaa Yah buat cuciin piring, nanti Ibu yang jemur baju.” Membuat sistem aturan untuk tugas rumah bisa menjadi cara efektif. Misalnya Ayah bertugas membersihkan lantai dan perabot kotor, sedangkan Ibu memasak, membersihkan kamar mandi dan cucian kotor anak.

Untuk menjaga hubungan tetap terjalin kuat, sedikit penghargaan akan menjadi sangat berarti. Jadi ungkapkan rasa terima kasih Anda untuk hal yang telah dilakukan pasangan, seperti membuang sampah, membuat bayi tersenyum, atau membelikan Anda cemilan ringan. Ini akan membuatnya merasa nyaman dan memberi efek bumerang yang positif.

(Ismawati & Atalya)