Cara mendidik anak di setiap keluarga bisa jadi berbeda. Kalau zaman dulu, mungkin masih banyak orangtua yang suka menghukum bahkan memukul anaknya ketika berbuat salah. Punggung lebam karena dipukul penggaris, tangan biru karena dicubit, atau paha memar karena dilempar sepatu sudah bukan hal yang tabu. Tak hanya di rumah, cara mendidik anak atau siswa yang diterapkan guru di sekolah pun mungkin tidak jauh berbeda di zaman dulu.
Namun, berbeda dengan cara mendidik anak yang banyak diterapkan orangtua zaman sekarang. Mereka pelan-pelan mulai memutus “rantai” kekerasan pada anak tersebut. Walaupun ada sebagian keluarga yang masih menerapkan hukuman fisik atau hukuman lain yang sifatnya menekan mental, tapi jumlahnya tidak sebanyak dulu. Mungkin karena semakin banyak orangtua yang teredukasi dan memiliki akses terhadap informasi, sehingga para orangtua tidak lagi kesulitan mengakses materi-materi pengasuhan yang banyak seliweran di lini masa. Tentu saja kita patut bersyukur untuk yang satu ini.
Meski saat ini ada beragam teori yang bisa diterapkan untuk mendidik anak-anak kita, namun beberapa cara atau kebiasaan orangtua di belahan dunia lain dalam mendidik anaknya agaknya bisa jadi pertimbangan untuk diadopsi, seperti yang dilakukan keluarga di Jepang. Keluarga di negeri sakura itu kerap mencuri perhatian karena dapat mendidik anak dengan baik sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang sopan, patuh, disiplin, dan bersahabat.
Di Jepang, jarang sekali ada anak yang menangis, tantrum, dan berteriak-teriak di tempat umum. Saat diajak bepergian, mereka selalu santun dan bersikap layaknya orang dewasa. Hal ini tentu tidak lepas dari cara mendidik anak versi orangtua di Jepang, yang mungkin seringkali mengundang tanda tanya bagi banyak orangtua di dunia, apa sih rahasianya? Kok bisa anak-anak di sana begitu santun, tertib, dan mudah diatur?
Cara Mendidik Anak Versi Keluarga Jepang
Memperkuat hubungan antara Ibu dan anak
Di Jepang, memperkuat hubungan antara anak dan Ibu adalah yang utama. Sejak lahir hingga kira-kira berusia 6 tahun, anak akan ikut ke mana pun Ibunya pergi. Para Ibu di Jepang akan menggendong anaknya ke mana saja, tidur pun juga harus bersama. Ibu melihat anaknya sebagai sosok yang sempurna. Ikatan antara mereka begitu kuat.
Ibu dan anak sebenarnya sudah terkoneksi sejak anak masih di dalam kandungan. Koneksi tersebut harus terus dipupuk setelah anak lahir. Membangun hubungan dan ikatan yang kuat dengan anak dapat bermanfaat bagi perkembangan kesehatan mentalnya. Seperti dilansir dari Mom Junction, anak yang dekat dengan Ibunya cenderung dapat membangun hubungan yang sehat dengan lingkungan di sekitarnya. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan ilmuwan Amerika dan Jepang yang dirangkum dalam laman Bright Site juga membuktikan bahwa pola asuh yang menyenangkan akan mengurangi risiko anak berperilaku buruk di kemudian hari.
Selain itu, keluarga di Jepang juga akan mengizinkan anak-anak mereka yang belum mencapai usia 5 tahun untuk melakukan apa pun yang diinginkan. Mungkin orang lain akan melihatnya sebagai sikap yang terlalu memanjakan anak. Tapi, cara mendidik anak yang satu ini justru akan membuat anak belajar dan menjadi paham mana yang menurut mereka baik dan mana yang buruk.
Membangun hubungan yang erat dengan keluarga
Orangtua di Jepang akan membesarkan anaknya dengan sepenuh hati. Mereka rela menghabiskan waktu bersama sampai beberapa tahun setelah anaknya lahir. Anak-anak di Jepang tidak boleh sekolah sebelum umurnya mencapai 3 tahun. Orangtua juga tidak akan menitipkan anak pada kakek-neneknya apalagi sampai menyewa baby sitter.
Meski begitu, anak tetap diajarkan untuk membangun hubungan yang baik dengan anggota keluarga yang lain. Keluarga di Jepang dipenuhi orang-orang yang saling mendukung, mengasihi, dan melindungi satu sama lain. Tak heran jika hubungan yang terbentuk begitu hangat dan nyaman.
Memperlakukan semua orang setara
Cara mendidik anak selanjutnya adalah memperlakukan semua orang setara. Di Jepang, tidak ada orang yang lebih tinggi derajatnya dibanding yang lain, sekalipun ia merupakan anggota keluarga kerajaan. Putri Jepang yang bernama Ayako bersekolah di sekolah biasa dan ikut berbagai festival bersama teman-temannya. Ia dianggap setara dengan anak-anak yang lainnya. Perlakuan terhadapnya juga biasa saja, tidak ada yang spesial.
Orang di Jepang hidup dengan nilai-nilai yang menjunjung tinggi kepentingan orang lain. Mereka menganggap bahwa kepentingan pribadi bukanlah yang utama. Tak heran kalau anak-anak di Jepang tumbuh menjadi pribadi yang peduli dan tidak meremehkan orang lain.
Ada 3 fase dalam sistem pengasuhan anak di Jepang. Fase pertama, saat anak berusia 0-5 tahun, mereka akan dianggap sebagai individu yang sempurna. Di fase ini orangtua akan mencurahkan segalanya untuk anak-anak mereka. Fase kedua, saat mereka berusia 5-15 tahun. Di fase ini, anak akan belajar hidup sesuai aturan masyarakat dan dibebaskan menemukan sendiri tujuan mereka ada di dunia ini. Karena memiliki ikatan yang kuat dengan Ibu, mereka akan mencoba melakukan segala cara agar tidak membuat Ibunya kecewa. Sedangkan di fase ketiga, yakni saat usia anak lebih dari 15 tahun, ia baru menjadi anggota masyarakat yang utuh.
Orangtua menjadi role model anak-anaknya
Ada sebuah penelitian yang menunjukkan perbedaan cara mendidik anak di Jepang dan Eropa. Penelitian ini melibatkan sekelompok ibu dan anak yang berasal dari dua wilayah tersebut. Mereka diminta untuk membangun piramida. Ibu-ibu asal Jepang akan membangun piramida itu sendiri sebelum meminta anak-anak mereka menirunya. Jika anak-anaknya gagal, si Ibu akan terus mengulangi membangun piramida lagi sampai anaknya benar-benar berhasil.
Berbeda dengan yang dilakukan kelompok Ibu dari Eropa. Mereka lebih memilih untuk menjelaskan cara membangun piramida dan meminta anak-anak mereka untuk mencobanya. Mereka membiarkan anaknya melakukan semua sendiri tanpa memberi contoh. Di sini jelas sekali terlihat perbedaan cara mendidik anak Ibu asal Jepang dan Eropa. Para Ibu di Jepang tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk melakukan hal-hal yang mereka minta. Jika memang mereka ingin mengajarkan sesuatu kepada anak-anaknya, mereka akan menunjukkan caranya dan memberikan contohnya.
Mengajarkan kepada anak untuk menghargai dan peduli perasaan orang lain
Bagi orangtua di Jepang, penting untuk mengajarkan anak menghargai orang lain dan peduli terhadap perasaan mereka. Nilai ini akan sangat berguna ketika anak sudah benar-benar menjadi bagian dari anggota masyarakat seutuhnya.
Cara orangtua Jepang untuk menumbuhkan nilai ini adalah dengan menjadi role model bagi anak-anaknya. Mereka akan menghargai dan mengakui perasaan si anak. Mereka tidak pernah menekan anak atau membuat mereka malu. Seperti misalnya ketika anak marah di tempat umum, alih-alih memarahi anak saat itu juga, yang mana justru bisa membuat anak malu, mereka lebih memilih menunggu saat yang tepat untuk bicara baik-baik dengan anaknya. Orangtua akan menghargai emosi si anak tersebut.
Hal lain yang membuat cara mendidik anak di Jepang terbilang unik adalah dengan menganggap benda mati juga memiliki perasaan seperti kita. Saat anak berusaha merusak mainannya, mereka akan mengatakan bahwa mainan tersebut akan menangis jika dirusak. Mungkin berbeda dengan kebanyakan orangtua di Indonesia atau di negara barat, di mana anak justru akan diminta berhenti atau bahkan dimarahi.
Walau cara mendidik anak di Jepang terlihat sempurna, orang-orang di sana tidak mengklaim bahwa metode mereka adalah yang terbaik. Mereka pun mengakui kalau metode yang diterapkan di negara barat juga memengaruhi kebiasaan dan tradisi mereka. Namun, konsep utama mendidik anak yang digunakan orang Jepang sejak dulu tidak berubah, tetap tenang dan penuh kasih sayang.
Perlu diketahui bahwa seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, pola pengasuhan anak pun juga bisa berubah. Banyak orangtua yang melakukan mixed parenting system atau menggabungkan pola asuh dari belahan dunia lain dengan mengambil cara mendidik anak yang paling sesuai dengan kondisi dan value keluarga. Tentu kita sebagai orangtua ingin mendidik anak dengan cara yang baik, bukan?
Penulis: Darin Rania
Editor: Dwi Ratih