Kesehatan

Mutisme Selektif Pada Anak, Bisa Disembuhkan?

Mutisme Selektif Pada Anak, Bisa Disembuhkan?

Tahukah Ibu bahwa istilah mutisme selektif dekat kaitannya dengan masalah bicara pada anak?

Namun sebelum membahas lebih jauh tentang mutisme selektif pada anak, terlebih dahulu kita bahas soal gangguan bicara pada anak yang bisa menjadi awal mula munculnya mutisme selektif pada si kecil.

Setiap orangtua, pastinya ingin buah hati mereka tumbuh kembang dengan sehat dan lancar. Misalnya, anak mampu duduk tegak tanpa bantuan, anak mampu ‘mengoper’ makanan dari sendok ke mulutnya, anak belajar berjalan, dst. 

Beragam cara akan dilakukan oleh Ibu dan Ayah, agar semua tahapan tumbuh kembang tersebut mampu dilalui dengan baik oleh anak. Ketika ada tanda gangguan atau pun keterlambatan, nah, inilah yang perlu Ibu kenali dan waspadai. Contoh hambatan tumbuh kembang anak yang sering terjadi, misalnya speech delay dan speech disorder

Meski terdengar mirip, namun speech delay dan speech disorder ini sebetulnya berbeda, ya, Bu. Speech delay, adalah kondisi di mana perkembangan bahasa pada anak, berjalan lebih lambat daripada usia seharusnya. Gangguan ini dikatakan mengenai sekitar sepuluh persen anak di usia prasekolah. 

Mengutip dari situs pauddikmasdiy.kemdikbud.go.id, speech delay dibagi ke dalam dua klaster, yaitu fungsional (adalah gangguan bicara dalam kadar ringan, biasa terjadi karena minimnya stimulasi atau pola asuh yang tidak tepat) dan nonfungsional (merupakan dampak dari gangguan bahasa reseptif). Keterlambatan berbicara ini ada banyak pemicunya, di antaranya:

  • Anak terlalu banyak menonton tv atau menggunakan gadget tanpa dampingan orang dewasa, sehingga tidak terjadi interaksi dan komunikasi. 
  • Kurangnya interaksi antara anak dan orangtua (lingkungan sekitar). Contoh, karena Ibu dan Ayah sibuk bekerja, maka waktu untuk anak menjadi terbatas. Yuk, ajak anak mengobrol sesering mungkin, untuk membantunya memperkaya kosakata.
  • Anak yang mengalami gangguan pendengaran, automatis akan memengaruhi kemampuan berbicaranya.
  • Adanya kelainan pada organ bicara juga bisa memengaruhi kemampuan berbicara anak. Contoh, lidah anak pendek (cadel), kelainan pada rahang dan gigi atau bibir sumbing (cleft lip).  

Sedangkan speech disorder, adalah gangguan yang dialami seseorang dalam menciptakan suara untuk membentuk kata. Speech disorder ini ada banyak jenisnya. Baik speech delay atau speech disorder, keduanya membutuhkan perawatan dari terapis untuk mengatasinya.

5 Contoh Gangguan Bicara pada Anak

  1. Apraksia pada Anak
    Adalah gangguan yang terjadi pada syaraf otak anak, yang menyebabkan anak kesulitan mengoordinasikan otot-otot yang fungsinya untuk berbicara. Jadi, anak dengan gangguan bicara apraksia ini, mengerti apa yang ingin mereka katakan, tapi kesulitan untuk menggerakkan lidahnya, rahang serta bibir.
  2. Gangguan artikulasi
    Articulation Disorder atau gangguan pengucapan kata pada anak. Intinya, anak kesulitan menghasilkan suara atau kalimat dengan jelas. Gangguan artikulasi ini merupakan bagian dari speech delay.
  3. Gagap
    Stuttering atau gagap, adalah gangguan dalam pengucapan kata. Ada yang berupa pengulangan, pemanjangan pengucapan kata dan blokade bagian dari sebuah kata. Gagap, seringkali diikuti dengan beberapa gerakan khas, misalnya dahi berkerut-kerut, tangan bergerak di luar kendali, mata berkedip-kedip dan tremor. Biasanya, gagap akan perlahan hilang, dan gagap bisa memburuk ketika penderitanya sedang gugup.
  4. Gangguan bahasa reseptif
    Adalah kesulitan yang dialami anak dalam memahami dan memroses informasi yang disampaikan oleh orang lain. Jenis gangguan bicara pada anak ini, juga bisa dipicu oleh autisme atau ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).
  5. Mutisme selektif
    Kasus ini biasanya terjadi pada usia anak-anak dan remaja. Pada mutisme selektif, anak tidak bisa berbicara (hanya) pada situasi sosial tertentu. Simak informasi tentang mutisme selektif di bawah ini. 

”Kalau di rumah, anakku cerewet sekali. Tapi, kok, kalau bertemu dengan orang lain, dia tidak mau bicara sama sekali. Apa anakku pemalu?”

Mutisme selektif, juga dikenal dengan istilah bisu selektif, adalah kondisi di mana anak tidak mampu berbicara, namun hanya di dalam situasi sosial tertentu atau terhadap orang tertentu. Artinya, anak mampu berbicara dengan normal jika ia merasa aman dan nyaman.

Lebih dari 90 persen anak yang mengalami bisu selektif, juga mengalami fobia sosial (social phobia) atau kecemasan sosial (social anxiety disorder). Gangguan ini dirasakan menyiksa dan menguras tenaga oleh penderitanya. 

Anak (atau pun orang dewasa) yang mengalami hal ini, merasakan ketakutan yang nyata saat harus berbicara atau pun berinteraksi dengan orang lain (yang tidak dekat dengannya). Banyak anak dengan mutisme selektif, kesulitan menanggapi atau memulai interaksi dengan cara nonverbal (gestur). 

Apa Gejala dari Fobia Sosial?


Sekilas mengenai fobia sosial, yaitu gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan rasa takut (cemas) berlebih ketika seseorang berada di keramaian atau harus berinteraksi. Penderitanya merasa takut akan diawasi, dihakimi atau dipermalukan oleh orang lain. 

Jangan anggap enteng, ya, Bu, karena jika nggak segera diatasi, gejala kecemasan sosial ini bisa berimbas pada prestasi anak di sekolah dan bisa berlanjut hingga anak dewasa.

Lanjut pada bahasan bisu selektif, berbeda anak, berbeda pula reaksi yang mungkin muncul. Ada anak yang benar-benar tidak bisa berbicara pada orang lain, ada yang hanya mampu berbisik atau berbicara seadanya, ada yang tiba-tiba menjadi ‘kaku’ dan tidak bisa berekspresi sama sekali. 

Ada anak yang tetap bisa berkomunikasi dengan beberapa orang temannya tapi tidak bisa bicara dengan anak lainnya atau pun gurunya. Ada pula yang berkomunikasi dengan sedikit gerakan, misalnya mengangguk atau menggelengkan kepala. 

Bisu selektif biasanya dimulai pada usia dini, yaitu di sekitar usia dua hingga empat tahun, atau, ketika anak mulai bersekolah dan menjumpai orang lain selain orang-orang yang biasa ia temui di rumah.

Ada beberapa gejala mutisme selektif, yaitu:

  • Anak tiba-tiba tidak bisa berbicara ketika ia seharusnya berkomunikasi dengan orang lain (orang yang dianggap asing) yang ditemuinya;
  • Mendadak tidak bisa berbicara pada orang terdekatnya, jika ada orang asing di sekitarnya;
  • Biasanya, anak tiba-tiba seakan kaku;
  • Merasa gugup dan canggung;
  • Berubah menjadi kasar, cemberut (terlihat tidak senang) dan menunjukkan ketidaktertarikan;
  • Seketika ‘tidak mau lepas’ dari Ibu atau Ayah;
  • Memalingkan wajah atau tidak mau melakukan kontak mata;
  • Menghindar dengan pergi ke tempat lain dan lebih suka bermain sendiri: dan
  • Memain-mainkan atau menggigiti rambut. 

Apa Penyebab Mutisme Selektif pada Anak?

Sayangnya, apa yang menjadi penyebab mutisme selektif pada anak, belum diketahui dengan pasti. Namun, bisu selektif ini diperkirakan ada kaitannya dengan anxiety atau kecemasan. Jadi, sebagian besar anak dengan mutisme selektif ini, memiliki kerentanan secara genetik terhadap kecemasan (anxiety). 

Artinya, mereka memiliki kecenderungan untuk mengalami kecemasan.

Seringkali, mereka menunjukkan gejala kecemasan parah, seperti separation anxiety (takut ketika berpisah dengan seseorang atau sesuatu), sering mengalami tantrum dan menangis, moody, gangguan tidur, dan pemalu pada tingkat yang ekstrem sejak usia dini. Sebagai catatan, mutisme selektif berbeda, ya, dengan ‘pemalu’.

Inhibited temperaments’, juga biasa dialami oleh anak dengan mutisme selektif. Inhibited Temperaments, atau istilah lainnya ‘Behavioral Inhibition’ (BI), ditandai dengan rasa takut, kesulitan atau menarik diri dari situasi atau lingkungan yang baru, juga terhadap seseorang maupun suatu objek. Jadi, ketika dihadapkan dengan hal baru atau seseorang yang tidak dikenalnya, anak seketika menghentikan kegiatannya. 

Situs selectivemutismcenter.org menerangkan, ketika anak berhadapan dengan situasi yang menakutkan, sebuah bagian pada otak anak menerima sinyal adanya potensi bahaya dan mulai membentuk serangkaian reaksi untuk melindungi diri. Pada kasus ini, suatu hal yang menakutkan tersebut bisa berupa kegiatan bersosialisasi biasa, seperti bersekolah, acara ulang tahun dan kumpul bersama keluarga, dst.

Beberapa anak dengan mutisme selektif, juga mengalami Sensory Processing Disorder (SPD). SPD merupakan kondisi di mana otak mengalami kesulitan untuk menerima serta merespon informasi yang diterima oleh indera. 

Anak dengan Sensory Processing Disorder cenderung amat sensitif dengan yang ada di sekitarnya, misalnya suara, cahaya, sentuhan, dst. 20-30 persen anak dengan mutisme selektif, memiliki kelainan berbicara atau berbahasa, misalnya gangguan bahasa reseptif atau gangguan bahasa ekspresif (kondisi anak kesulitan dalam mengungkapkan apa yang mereka ingin katakan).

Nah, beberapa gangguan dan hambatan di atas, bisa memicu anak semakin stress, semakin merasa tidak aman dan tidak nyaman ketika ia diharuskan untuk berbicara.

Penelitian yang dilakukan pada Selective Mutism Anxiety Research and Treatment Center, mengindikasikan kondisi anak dengan mutisme selektif bisa dipicu oleh beberapa hal berikut: 

  • Berasal dari keluarga dengan beragam bahasa (bilingual atau multilingual families);
  • Pernah tinggal di negara asing; dan
  • Terpapar bahasa asing pada masa ‘language development’ atau di sekitar usia dua hingga empat tahun.

Jadi, keharusan anak menggunakan bahasa asing atau pun khawatir akan kemampuannya dalam berbahasa asing, bisa meningkatkan kecemasan.

Informasi Seputar Mutisme Selektif

Ini informasi lainnya tentang mutisme selektif pada anak.

  • Biasanya, tanda-tanda dari mutisme selektif ini, mulai terlihat sejak anak masih bayi;
  • Sembilan puluh persen anak dengan mutisme selektif mengalami gangguan kecemasan;
  • Sebagian besar penderita mutisme selektif tumbuh kembang sesuai target;
  • Tidak menyukai keramaian;
  • Sensitif terhadap cahaya, sentuhan dan suara;
  • Anak ragu dalam memberi respons;
  • Mudah teralihkan (distractibility); dan
  • Kesulitan mengikuti arahan dan kesulitan untuk mengerjakan serta menyelesaikan tugas.
  • Cenderung keras kepala, bossy, bahkan mendominasi ketika ia berada di zona nyamannya (misalnya di rumah).
  • Mungkin juga mengalami OCD (Obsessive Compulsive Disorder), panic disorder (serangan panik secara tiba-tiba), suka menimbun barang (hoarding), sering mencabuti rambut, mencubit kulit, memiliki fobia tertentu, dst.

Cara mengatasi mutisme selektif pada anak, yaitu dimulai dengan menghilangkan kecemasan pada anak. Pastinya, anak dengan mutisme selektif seharusnya mendapatkan perawatan sejak dini, agar hal ini tidak berlangsung selamanya.

Mengkhawatirkan memang, ketika membayangkan anak ketakutan saat berada di sekolah. Tapi, Bu, beri anak waktu untuk belajar dan menyesuaikan diri. Harapannya, secara perlahan, setelah hubungan sosial dibangun, anak mungkin mulai tertarik untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Misalnya, dengan berbisik atau berbicara dengan anak tertentu. 

Bagi Ibu dan Ayah, jika memiliki anak dengan mutisme selektif, cobalah untuk nggak menekan atau memaksa anak untuk berbicara. Buat anak memahami, bahwa Ibu dan Ayah memahami situasi mereka dan akan membantu mereka. Waspadai gejala anak yang enggan berbicara dengan orang-orang yang tidak familiar dengannya. 

Juga, ada baiknya meminta bantuan guru di sekolah anak, agar memerhatikan sekiranya anak mengalami tanda mutisme selektif jika berada di sekolah. 

Mutisme selektif ini, memang bukan sesuatu yang mudah buat dipahami, ya, Bu. Makanya, diperlukan tenaga ahli untuk mengatasi bisu selektif pada anak. 

Editor: Dwi Ratih